Sabtu, 20 April 2024 | 07:35
NEWS

Apresiasi Penyaluran BLT Minyak Goreng, GARPU: Harga Mahal Harus Segera Dikontrol

Apresiasi Penyaluran BLT Minyak Goreng, GARPU: Harga Mahal Harus Segera Dikontrol
Minyak Goreng Curah (Dok Wartabromo)

ASKARA - Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Restorasi Pedagang dan UMKM (GARPU) mengapresiasi upaya Pemerintah Indonesia terkait program distribusi Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng. 

Bantuan yang akan diberikan kepada 20,56 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) imbas langka dan mahalnya minyak goreng itu dinilai akan cukup membantu masyarakat. 

Namun demikian, persoalan masih mahalnya minyak goreng harus sudah dicari jalan keluar agar harganya kembali normal.

“Terlepas dari pro dan kontra soal efektifitas BLT minyak goreng, yang pasti bantuan itu kami nilai akan membantu masyarakat. Namun ini kan sifatnya jangka pendek untuk mendukung sub elemen masyarakat yang terimbas langka dan mahalnya minyak goreng. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan harus mampu segera mengontrol harganya di pasaran. Jangan sampai pasca Idulfitri harganya masih mahal,” terang Ketua Umum DPP GARPU, Jufry Reigen Lumintang dalam siaran persnya, Senin (11/4). 

Berdasar informasi Bidang Penelitian dan Pengembangan DPP GARPU, kata Jufri, saat ini kondisi distribusi minyak goreng di pasaran jauh dari kata normal.

Memang pasca pemerintah mencabut kebijakan minyak goreng dengan Harga Eceran Tertinggi (HET), stok minyak goreng kemasan menjadi melimpah dan tersedia dalam jumlah yang sangat banyak di berbagai swalayan dan pusat perbelanjaan.

Sayangnya dengan melimpahnya stok minyak goreng kemasan, harga yang dijual belum kunjung turun. Hingga 8 April 2022 kemarin sebagaimana data yang dihimpun Tim Litbang DPP GARPU, rata-rata minyak goreng kemasan 2 liter masih dijual seharga Rp45-55 ribu. 

Lain minyak goreng kemasan, lain pula masalah minyak goreng curah. Selain harganya yang sudah naik dan dijual antara Rp19-20 ribu per liter, ketersediaannya di berbagai pasar tradisional sangat terbatas dan tergolong langka. 

Beberapa pedagang yang dimintai catatan oleh Tim Litbang DPP GARPU masih terus mengeluh soal distribusi minyak curah yang dibatasi.

“Itu keluhan pedagang di banyak pasar tradisional yang dicatat oleh Tim Litbang DPP GARPU. Kalau mereka order 70-100 jerigen, adanya Cuma 20-30 jerigen, 2 sampai 4 hari stoknya habis,” jelas Jufry.

Jufry pun mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan segera mencari jalan keluar yang konprehensif. Persoalan minyak goreng yang merupakan salah satu komponen kebutuhan utama masyarakat harusnya dijamin ketersediaannya dan tentunya perlu dipastikan harganya yang ideal.

Sekretaris Jenderal DPP GARPU, Husendro menambahkan, Pemerintah Indonesia harusnya tidak berlama-lama mengulur waktu untuk mengambil alih kontrol harga dan ketersediaan minyak goreng. 

Presiden Jokowi, kata Husendro perlu mengevaluasi seluruh kebijakan yang telah diambil oleh Kemendag sebagai leading sector yang mengurusi persoalan minyak goreng mulai dari hulu hingga ke hilir.

Kata Husendro, harusnya pemberlakuan kewajiban pemenuhan dalam negeri (DMO) dan penetapan kewajiban harga dalam negeri (DPO) bisa menjadi solusi untuk mengatasi kelangkaan dan mahalnya minyak goreng. 

Namun pada prakteknya, kebijakan tersebut tidak disambut baik oleh pengusaha sawit mengingat potensi profit yang diterima bakal lebih kecil karena perbedaan harga CPO global dan domestik cukup signifikan.

“Harga jual global saat ini antara Rp16-18 ribuan per kilogram. Dengan kewajiban DMO dan penetapan DPO, harga jual domestik sekitar Rp9 ribuan per kilogram. Asumsi saya, para pengusaha sawit tidak mau rugi dong. Ya, pasti stok bahan bakunya masih terbatas dan berimbas pada masih langka dan mahalnya minyak goreng dalam negeri,” urainya.

Mau tak mau, Pemerintah Indonesia dituntut lebih radikal dalam menyiapkan strategi penurunan harga minyak goreng. Dalam kacamata Husendro, saat ini solusi jangka panjang penurunan harga minyak goreng hanya ada satu. 

“Ya, solusinya pemerintah harus tegas dengan pengusaha kelapa sawit. Para pelaku bisnis sawit di Indonesia harus dievaluasi dan diaudit perusahaannya. Jangan ada yang bermain-main dengan kebutuhan pokok warga. Karena ini jelas menggangu stabilitas negara. Jadi harus tegas,” pungkas Husendro.

Komentar