Rapor Merah Kebijakan Narkotika Indonesia
ASKARA - Indonesia mendapat nilai rendah dalam hal kebijakan narkotika. Berdasar Indeks Kebijakan Narkoba Global yang dirilis November 2021, Indonesia ada di peringkat ke-28 dari 30 negara yang dinilai.
Dari skala 0 hingga 100, Indonesia mendapat nilai 29. Sementara itu, Norwegia menduduki peringkat terbaik dengan nilai 74 dalam indeks tersebut.
Hal itu terungkap dalam seminar "Sosialisasi Indeks Kebijakan Narkotika Global" yang digelar secara daring oleh Rumah Cemara, Kamis kemarin (18/11).
Indeks Kebijakan Narkotika Global adalah alat ukur yang mendokumentasikan dan membandingkan kebijakan narkotika nasional.
Indeks ini dibuat Konsorsium Harm Reduction. Lewat alat ini, setiap negara diberi nilai dan peringkat yang menunjukkan seberapa selaras kebijakan narkotika dan implementasinya dengan prinsip-prinsip PBB tentang HAM, kesehatan, dan pembangunan.
Terdapat 75 indikator dalam indeks ini dengan 5 variabel yakni, ketiadaan respons penggunaan penghukuman yang ekstrem, proporsionalitas sistem peradilan pidana, kesehatan dan harm reduction (layanan pengurangan dampak buruk konsumsi narkoba), akses obat-obatan, serta pembangunan.
Kuatnya pemidanaan dalam penyelesaian kasus narkotika ditengarai menjadi salah satu faktor yang membuat nilai rapor Indonesia merah dalam indeks tersebut.
Dengan kata lain, dekriminalisasi yang mengacu pada upaya penghapusan hukuman pidana untuk konsumsi narkotika hampir tidak berlangsung di Indonesia. Pemenjaraan masih menjadi pilihan utama bagi penegak hukum.
Padahal, sejumlah negara telah mengalihkan hukuman pidana pada pengguna narkotika seperti dengan sanksi kerja sosial, denda, dan bahkan ada yang tidak menerapkan hukuman sama sekali.
Pakar hukum dan kebijakan narkotika, Asmin Fransiska mengatakan, Indonesia sebenarnya telah melakukan beberapa upaya pengalihan dari kewenangan penegak hukum ke akses kesehatan di Indonesia, seperti melalui putusan rehabilitasi.
“Namun sayangnya, rehabilitasi itu seringkali dianggap sebagai hukuman alias bagian dari pemidanaan. Padahal, di banyak negara yang nilai rapornya bagus, rehabilitasi adalah bagian dari alternatif pemidanaan sehingga pengguna narkotika diperlakukan sebagai pasien, bukan kriminal,” terangnya, dalam keterangan tertulis yang diterima Askara, Jumat (19/11).
Menurut dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya ini, hasil yang ditunjukkan dalam indeks ini sangat bermanfaat jika Indonesia mau memperbaiki kebijakan narkotika dan implementasinya.
Dikatakan, indeks ini hasil dari kajian bertahun-tahun berdasarkan bukti dan metode ilmiah. Prosesnya tidak hanya melalui penelusuran atau pengumpulan data, melainkan juga dengan konfirmasi ke berbagai pihak, termasuk pakar, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah untuk melihat berbagai dokumennya.
“Indeks ini bukan sekadar angka karena jadi gambaran yang sangat nyata bagaimana posisi kebijakan narkotika dan implementasinya di Indonesia saat ini. Terutama tentang HAM dan kesehatan. Ini jadi masukan yang komprehensif,” jelas Asmin.
Asmin Fransiska mengakui, indeks ini memang menjadi cermin yang buruk tentang wajah kebijakan narkotika di Indonesia. Namun, indeks ini sangat baik dan berguna untuk memastikan apakah program kebijakan sudah mengikuti standar yang ada.
“Indeks ini penting untuk dilihat karena kita jadi sadar bahwa pendekatan dalam kebijakan narkotika yang serba menghukum, kerap kali tidak peduli HAM, tidak berorientasi pada masyarakat yang terdampak, perlu segera ditinjau,” ujarnya.
Selain Asmin Fransiska, seminar ini juga menghadirkan dua pembicara lain yakni Aditia Taslim (International Network of People who Use Drugs) dan Putri Tanjung (Women and Harm Reduction International Network).
Komentar