Lagi-lagi Kemendikbud
BELUM seminggu membuat kegaduhan dengan menghapuskan mata pelajaran Pancasila dari Standar Nasional Pendidikan (PP Nomor 57/2021), kini lagi-lagi Kemendikbud membuat gaduh dengan menghilangkan KH. Hasyim Asyari dari Kamus Sejarah Indonesia Jilid-I.
Kedua kegaduhan di atas tidak bisa dianggap sebagai kekeliruan belaka yang kemudian dengan mudahnya direvisi. Tindakan atau perbuatan tersebut harus dilihat dari sudut motivasi yang melatarbelakangi dan sudut dampak serta akibatnya terhadap bangsa dan negara kalau berjalan terus karena tidak diprotes oleh warga masyarakat.
Penghilangan mata pelajaran Pancasila dan event sejarah, apakah itu penghilangan kejadian ataupun penghilangan figur/tokohnya mungkin saja dilatarbelakangi motivasi untuk mengaburkan event sejarah tersebut dalam keterkaitannya dengan kehidupan bangsa dan negara yang bersangkutan serta pada gilirannya akan berdampak pada hilangnya identitas negara dan bangsa tersebut. Sehingga generasi berikutnya dari bangsa tersebut tidak mengenal lagi jati dirinya sebagai sebuah bangsa. Sejarah merupakan unsur penting di dalam proses pelembagaan (institutionalization) nilai-nilai kebangsaan, karena itulah Bung Karno berulang kali menegaskan: JASMERAH (Jangan sekali-kali Melupakan sejarah).
Generasi suatu bangsa yang tidak mengenal jati diri bangsanya akan sangat mudah diombang ambingkan, dibelokkan pandangan hidup bangsanya, bahkan lebih jauh bisa dirubah menjadi sebuah bangsa yang baru. Jika bangsanya telah berubah jati dirinya maka dengan mudah pula negaranya diambil alih ataupun dirubah.
Dari sisi ini apa yang terjadi atau dilakukan oleh pejabat-pejabat di Kemendikbud dapat berpotensi melahirkan dugaan sebagai kejahatan terhadap negara, sehingga sudah sepatutnya bila aparat penegak hukum (dalam hal ini kepolisian) mengusut dan menyidik kedua peristiwa di atas agar masyarakat memperoleh kejelasan yang lengkap, bukan hanya dari pihak Kemendikbud menyatakan bahwa kejadian penghilangan nama tokoh sejarah tersebut bukan terjadi di masa Nadiem Makarim menjabat sebagai Mendikbud tetapi sudah terjadi sejak tahun 2017. Sebuah pernyataan pembelaan diri yang lucu dan konyol.
Menanggapi pembelaan diri tersebut dapat dipertanyakan lagi sebagai berikut: "Mengapa pada masa jabatan Nadiem Makarim hal seperti ini masih bisa terjadi?"
Jawabannya mungkin adalah: "Karena Nadiem Makarim tidak paham atau mengerti fungsinya sebagai Mendikbud." Padahal konstitusi (Penjelasan UUD 1945) bahwa Menteri adalah para pemimpin yang ahli dibidang pekerjaannya sebagai Menteri. Nadiem Makarim memang seorang pengusaha muda yang sukses di bidang usahanya (Gojek) tetapi apakah dia mempunyai keahlian di bidang pendidikan?
Pendidikan dan pengajaran merupakan salah satu bidang kehidupan yang kompleks yang memerlukan ilmu pengetahuan khusus yaitu ilmu keguruan dan Ilmu Pendidikan. Untuk itulah didirikan perguruan tinggi yang bernama IKIP (sekarang sudah diubah menjadi univesitas). Selain perlu dibekali pendidikan yang terkait maka untuk menggeluti bidang pendidikan dibutuhkan pula "panggilan jiwa".
Seorang pengusaha tentunya tidak dengan mudahnya dapat merubah panggilan jiwanya untuk menjadi pendidik. Selain itu agak sulit dibayangkan bagaimana situasinya ketika Nadiem Makaraim sebagai Mendikbud berinteraksi dengan para guru besar yang mengajar di perguruan tinggi, bahkan lebih lama dari umurnya sang Menteri sendiri.
Bertitik tolak dari tulisan singkat di atas kiranya dapat disimpulkan:
1. Penghilangan mata pelajaran Pancaila dan penghilangan nama KH Hasyim Asyari pada Kamus Sejarah Indonesia Jilid I harus disidik secara hukum oleh polisi.
2. Mengusulkan kepada Presiden Jokowi agar mereposisikan Nadiem Makarim ke posisi menteri yang sesuai dengan keahliannya.
Jakarta, 21 April 2021
Muchyar Yara
(Mantan Dosen Hukum Tata Negara FH UI)
Komentar