Jumat, 19 April 2024 | 00:22
OPINI

Selamat Tinggal Politik Dinasti

Selamat Tinggal Politik Dinasti
SBY (Dok Jaya Suprana)

Di masa kolonial lalu, seorang petani sehabis panen, menjemur gabahnya di halaman rumahnya. Tiba-tiba datang serombongan ayam memakan gabah tersebut. Tetangganya yang melihat kejadian itu kemudian datang dengan membawa sapu lidi guna mengusir ayam-ayam tersebut, tetapi sang petani (pemilik gabah) berteriak: Mas, ayam yang putih dan yang belang itu jangan diusir! Itu ayamnya ndoro regent (regent atau Bupati adalah pangkat tertinggi bagi pribumi dimasa penjajahan Kolonial).  

Begitulah gambaran kondisi feodalisme, di mana seorang pejabat/pamong demikian dihormatinya, bahkan ayamnya pun tidak boleh diusir.

Kondisi feodalisme itu ternyata masih terus berlangsung di masa pasca kemerdekaan. Seseorang pejabat akan sangat dihormati oleh orang-orang di lingkungannya, termasuk semua yang terkait dengan pejabat tersebut, apakah itu isterinya, anak2nya. 

Seorang pejabat, selama dia masih menduduki jabatannya tidak boleh disalahkan, tidak boleh ditegur apalagi dilawan, termasuk istri dan anak-anaknya. Tetapi begitu yang bersangkutan tidak lagi menjabat, maka orang-orang di sekelilingnya yang bisanya menghormatinya dan bahkan mengelukannya, akan menghilang dari lingkungannya bahkan secara terang-terangan berani bersikap melawannya. 

Bahkan jika berpapasan di jalanan orang itu dengan sengaja akan membuang mukanya (tidak mau terlihat oleh matan pejabat tersebut). Itulah karakter manusia feodal yang ternyata masih melekat pada komunitas politik di Indonesia.

Itulah yang kini terjadi pada diri (Pak) SBY, ketika beliau masih menjabat sebagai Presiden, apapun yang dilakukannya berkaitan dengan Partai Demokrat (disingkat PD) termasuk mengangkat anaknya pada posisi penting pada struktur kepengurusan PD, semuanya diam bahkan mengacungkan dua jempol. 

Tetapi ketika SBY mengangkat AHY (anaknya) menjadi Ketua Umum PD (meskipun formalnya melalui pemilihan di kongres, tetapi semua juga tahu bahwa pengaruh SBY sangat lekat untuk memuluskan terpilihnya AHY). 

Maka SBY pun dituduh oleh orang-orang yang semula berada di lingkungannya sebagai melakukan praktek politik Dinasti di PD, dan kemudian mereka mulai melakukan upaya-upaya guna merebut jabatan ketua Umum PD dari AHY melalui penyelenggaraan Kongres Luar biasa (KLB) dengan mengundang figur eksternal yang bukan anggota PD tetapi menduduki jabatan penting di pemerintahan.

Sehingga masalah di PD yang semula berdimensi internal berubah menjadi berdimensi eksternal.

Orang-orang yang menggerakan KLB sebelumnya dikenal sangat dekat dengan SBY di PD, dan mereka itu sebelum kemunculan SBY sebagai Presiden dan sekaligus membesarkan PD yang merupakan partai politik baru, tidak dikenal di dalam panggung politik nasional. 

Kalaupun ada di antara mereka pernah aktif di beberapa parpol lainnya, tetapi posisinya hanyalah sebagai kader kelas bawahan saja. Mereka baru muncul sebagai tokoh-tokoh politik di tingkat nasioanal setelah terpilih menjadi anggota parlemen melalui PD. 

Saya yakin seandainya SBY masih menduduki jabatannya sebagai Presiden tidaklah mungkin orang-orang tersebut akan berani mencoba merebut jabatan AHY sebagai Ketua Umum PD, karena bukankah AHY adalah anak dari SBY?
 
Namun nampaknya SBY, ketika secara langsung maupun tidak langsung menempatkan anaknya (AHY) sebagai Ketua Umum PD, lupa bahwa dia sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden, dan sekaligus SBY lupa akan ketentuan hukum alam bahwa segala sesuatu di dunia ini pasti akan mengalir (mengalami perubahan), hanya satu yang tidak berubah yaitu perubahan itu sendiri (selain Tuhan YME tentunya), itulah Panta Rei!.

Termasuk sikap orang-orang yang dulu sangat dekat dan sangat patuh serta sangat menghormatinya akan berubah melawannya.

Di media sosial tersebar foto-foto tokoh eksternal yang tampil di KLB PD untuk merebut posisi AHY sebagai Ketum PD di mana terlihat tokoh tersebut dengan hikmatnya mencium tangan SBY (yang pada saat itu masih menjabat sebagai Presiden. 

Tetapi kini ketika SBY yang sedang emosi karena anaknya “diganggu” mengeluarkan pernyataan yang bernada keras terhadap tokoh tersebut, tokoh itu kemudian malah mengatakan: “Jangan coba tekan-tekan saya”, ucapan ini tentunya tidak mungkin dia ucapkan apabila SBY masih menjabat sebagai Presiden.

Terlepas dari karakter komunitas politik Indonesia yang diuraikan di atas, maka jika merujuk pada susunan pengurus PD, di mana Ketua Majelis Tinggi (yang kekuasaannya sangat besar di lingkungan PD) dijabat oleh SBY, lalu wakil ketua Majelis tinggi dijabat ex-officio oleh Ketua Umum PD yang tidak lain adalah AHY (anaknya SBY) dan Wakil ketua Umum dijabat oleh Ibas (anaknya SBY juga), maka agak sulit dipungkiri bahwa SBY telah menerapkan politik dinasti di PD.
 
Mudah-mudahan kejadian “pembangkangan” oleh orang-orang yang pernah sangat dengan dengan SBY dengan menyelenggarakan KLB di Sibolangit membawa hikmah kepada SBY untuk meninjau kembali tindakannya melakukan politik dinasti di PD serta mengubahnya dengan menerapkan Merrit System di lingkungan PD, sehingga ke depannya diharapkan PD akan menjadi partai politik yang terbuka dan modern.
 
Akhirnya juga tulisan ini dimaksudkan untuk sekadar mengingat kepada yang masih menduduki jabatannya (termasuk Presiden yang saat ini menjabat) bahwa sangat besar kemungkinannya orang-orang yang berada dekat di sekitar Anda saat menjabat ini, pada suatu saat nanti (setelah Anda tidak lagi menjabat) justru akan menjadi penentang dan pengkhianat terhadap diri Anda dan anak-anak Anda, dan semakin dekat orang tersebut semakin mungkin hal ini terjadi, karena bukankah orang yang terdekat adalah orang yang paling mengenal dan mengetahui kelemahan-kelemahan Anda?

Dan akhirnya, dengan kejadian pada SBY dan PD ini semoga komunitas politik Indonesia meninggalkan budaya feodal yang menghormati secara berlebihan terhadap seorang pejabat, serta mengucapkan "Selamat Tinggal politik Dinasti!!

 

Jakarta, 23 Maret 2021

Oleh: Muchyar Yara
Aktivis mahasiswa 77-78/
Eks Tahanan Politik Kampus Kuning

 

 

Komentar