Jumat, 10 Mei 2024 | 00:55
NEWS

FPI Tidak Berhak Ganti Rugi Jika Lahan Ponpes Agrokultural Diambil PTPN

FPI Tidak Berhak Ganti Rugi Jika Lahan Ponpes Agrokultural Diambil PTPN
Ilustrasi. (Tribunnews)

ASKARA - Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin angkat bicara terkait konflik PT Perkebunan Nusantara VIII dengan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah DPP FPI di Megamendung, Kabupaten Bogor. 

Iwan Nurdin menilai, FPI tidak berhak mendapat ganti rugi jika lahan pesantren diambil kembali oleh PTPN VIII. FPI dan para pihak yang bertanggung jawab pada penguasaan lahan milik PTPN VIII bisa dipenjara hingga empat tahun dan denda hingga Rp 4 miliar. 

Dia mengatakan, dugaan penyerobotan lahan PTPN VIII oleh FPI adalah kasus lama. Kasus itu dilaporkan ke Polda Jawa Barat beberapa tahun lalu. 

"Kemudian kasus ini menghilang dan sekarang mencuat lagi," ujar Iwan Nurdin, Selasa (5/1).

Berdasarkan pernyataan Rizieq dan sejumlah pihak di FPI menyebut bahwa FPI mengakui lahan yang dikuasainya milik PTPN. 

"Lahan itu digarap oleh orang perorang lalu dibeli FPI atau MRS," ujar Iwan Nurdin. 

Akad itu, menurutnya, tidak dapat dibenarkan dalam hukum Indonesia. Sebab, pemegang hak atas tanah adalah PTPN VIII. Dengan demikian, akad terkait lahan harus dilakukan oleh PTPN VIII.

Alasan FPI bahwa akadnya hanya pengalihan penggarapan juga tidak bisa diterima. Sebab, fakta di lapangan menunjukkan FPI tidak hanya menanami lahan dengan aneka tumbuhan. FPI membuat aneka bangunan.

Padahal, jelas sertipikat Hak Guna Usaha (HGU) diberikan karena lahannya dipakai untuk usaha perkebunan, pertanian, peternakan, tambak perikanan. Sementara untuk bangunan maka sertipikat dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB).

Iwan Nurdin menyarankan agar PTPN VIII segera menunjukkan batas-batas lahan yang dikuasakan kepada perusahaan itu. Badan Pertanahan Nasional juga dapat membantu menjelaskan hal itu.

Jika benar ada HGU, maka pihak yang melanggar bisa dikenai sanksi sebagaimana diatur oleh Perpu Nomor 51 Tahun 1960. 

Dalam Perppu itu jelas diatur denda Rp 4 miliar dan penjara empat tahun kepada siapapun yang mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan; mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan; melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan. 

Selanjutnya, KUHP pasal 385 ayat 1 KUHP, jika seseorang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak (secara tidak sah) menjual, menukar, atau menjadikan tanggungan utang hak orang lain untuk memakai tanah negara, maka dapat dihukum penjara selama empat tahun penjara. (jpnn)

Komentar