Meratap Vs Mensyukuri
Lebih dari 55 tahun lamanya saya adalah penyembah uang, sehingga memiliki sifat yang sangat egois dan jauh lebih mementingkan diri sendiri. Namun setelah melepaskan kemelekatan saya terhadap uang, mulai saat itu pula pola pikir saya berbalik total, sehingga lebih bisa merasakan rasa damai.
Tidak bisa dipungkiri pada saat pandemi corona ini banyak sekali orang kehilangan, mulai dari kehilangan harta, kesehatan sampai kehilangan orang yang mereka kasihi.
Ketika di Jerman saya kehilangan mobil BMW yg baru saja dibeli satu bulan. Awalnya saya merasa shock bahkan sewot dan meratap karena kehilangan BMW tersebut. Namun setelah saya bawakan dalam doa, saya baru sadar, buat apa saya meratap, karena hanya sekedar kehilangan benda!
Bahkan seharusnya saya mensyukuri, karena dengan demikian saya telah bisa beramal bahkan mendapatkan pahala. Karena telah mampu memberikan mobil kepada mereka yang jauh lebih membutuhkannya daripada saya. Disamping merasa diberi kesempatan untuk berolah raga lagi dengan naik sepeda setiap hari.
Saya pernah kehilangan kerajaan maupun tahta dari raja berubah turun drastis jadi pidana dan dipenjara. A inipun saya tidak meratap, bahkan mensyukuri. Sehingga akhirnya mendapatkan kesempatan sebagai orang yang terpilih untuk mengabdikan diri melayani bagi Allah - jadi Koster (Jongos) tukang sapu dI Gereja,
Jadi bukanya berdiri di atas mimbar sebagai Pendeta; melainkan jongos tukang sapu dan ngepel di bawah mimbar. Saya melayani dan mensyukuri dengan penuh rasa sukacita selama lebih dari empat tahun.
Begitu juga sebelum saya menikah dengan Mbak Wied; saya kehilangan calon istri saya karena mati ditabrak, tepatnya sebulan sebelum pernikahan kami. Saat itu saya tidak meratap berlarut-larut, karena saya menilai bahwa Allah akan memberikan pasangan yang jauh lebih baik dan lebih cocok lagi untuk saya.vHal ini terbuktikan dimana saya diberi anugerah, sehingga bisa mempersunting Mbak Wied.
Pada saat pandemi corona ini banyak orang yg kehilangan kesehatannya. Menurut pendapat saya daripada meratap lebih baik mensyukuri, sebab anda masih diberi kesempatan untuk bisa hidup jauh lebih lama lagi. Bagaimana dengan mereka yang kehilangan job karena di phk?
Untuk inipun anda tidak perlu meratap, karena tidak akan bisa memutar balikan fakta maupun waktu. Bahkan dengan meratap hanya akan menambah stres maupun depresi anda saja, sehingga akhirnya kehilangan pede Anda.
Saya punya keyakinan penuh apabila satu pintu ditutup berati Allah akan membuka sepuluh pintu lainnya yang jauh lebih indah dan jauh lebih besar. Hal ini telah terbuktikan dimana banyak pengusaha besar dan berhasil, karena awalnya mereka dipecat (phk). Namun mereka tidak meratap terus menerus melainkan bangkit kembali sambil mensyukuri.
Saat itu pintu saya ditutup selama empat tahun jadi Jongos Gereja, namun akhirnya dinobatkan jadi Penasehat Menteri Belanda. Sama seperti petinju pada saat ia dipukul jatuh di atas ring, bukannya untuk meratap ataupun berbaring terus sehingga akhirnya di nyatakan keok, melainkan untuk mensyukuri, karena tidak ditonjok sampai KO; sehingga akhirnya masih bisa bangkit danvfight terus.
Saya menulis tulisan ini sambil mendengarkan lagu: We Are The Champion dari Queen, "Well keep on fighting til the end. We are the champions No time for losers" (meratap). Mang Ucup seorang kakek gaek 78 tahun namun masih memiliki jiwa fight yang menggebu-ngebu dan pantang meratap. Maklum bagi saya meratap itu hukumnya haram !
Apakah Anda sependapat dengan saya? Maturnuwun sanget berkah dalem.
Mang Ucup
Menetap di Amsterdam, Belanda
Komentar