Selasa, 23 April 2024 | 13:58
OPINI

Kementerian BUMN Melanggar UU 46 Tahun 2009

Kementerian BUMN Melanggar UU 46 Tahun 2009
(Dok. Katadata)

Publik kembali dicengangkan oleh ulah Kementerian BUMN. Setelah sebelumnya mengangkat perwira aktif dari unsur TNI/Polri sebagai komisaris di BUMN dan merekrut warga negara asing menjadi direksi BUMN, kini Kementerian BUMN mengangkat seorang hakim ad hoc Tipikor bernama Anwar yang bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadi Komisaris di Patra Niaga (anak usaha Pertamina).

Dari catatan rekam jejak bahwa Saudara Anwar sebagai hakim ad hoc Tipikor pernah menangani sejumlah kasus besar, di antaranya kasus traveller cheque, penyalahgunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), e-KTP, dan juga perkara korupsi Jiwasraya yang merugikan uang negara Rp 17 triliun. Dan perlu diketahui bahwa Saudara Anwar pernah membuat kontroversi dengan mengajukan putusan berbeda (dissenting opinion) atas terdakwa Karen Agustiawan mantan dirut Pertamina dalam kasus korupsi yang merugikan negara Rp 568 miliar. Ia juga menjadi hakim dalam kasus suap PLTU Riau yang memvonis bebas mantan dirut PLN Sofyan Basir.

Saudara Anwar ini juga pernah pernah menghebohkan dunia peradilan karena ulahnya bersama hakim lainnya berpose foto dua jari yang menjadi viral karena dilakukan saat tahapan pilpres. Di mana pose dua jari tersebut identik dengan dukungan terhadap salah satu capres dan akibat pose tersebut para hakim ini diperiksa oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung.

Kendati menurut keterangan Humas PN Jakarta Pusat mengklarifikasi bahwa yang bersangkutan sudah mundur sebagai hakim sejak RUPS di Patra Niaga yang telah mengangkatnya sebagai komisaris tanggal 12 Juni 2020 maka sejak tanggal 12 Juni itu juga dirinya telah mengajukan pengunduran diri sebagai hakim ad hoc Tipikor melalui ketua pengadilan negeri. 

Berdasarkan pernyataan klarifikasi di atas maka saya dapat mengatakan dalam hal ini Kementerian BUMN dan Saudara Anwar ini patut diduga secara bersama-sama melanggar peraturan perundang-undangan dan mencoreng wajah profesi mulia hakim karena bisa dipastikan saat ditetapkan sebagai komisaris dalam RUPS Patra Niaga Saudara Anwar masih berstatus sebagai hakim ad hoc. Seharusnya Kementerian BUMN meminta dan memeriksa terlebih dahulu surat resmi keputusan pemberhentian Saudara Anwar sebagai hakim barulah bisa menetapkan Saudara Anwar sebagai komisaris di Patra Niaga.

Karena sahnya pengunduran diri hakim ad hoc itu juga ada aturan dan mekanisme formil yang wajib dipenuhi yakni pemberhentian seorang hakim haruslah dengan keputusan presiden atas usul ketua Mahkamah Agung sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pasal 10 ayat 4.

Jadi di sini dapat disimpulkan. Pertama, Saudara Anwar sebagai hakim ad hoc telah melakukan "rangkap jabatan" dan itu melanggar ketentuan yang ditetapkan dalam UU Pengadilan Tipikor pasal 15 dan Kode Etik serta Pedoman Prilaku Hakim. Maka sudah semestinya sesuai sanksi yang diatur Mahkamah Agung/Komisi Yudisial segera memberhentikan dengan tidak hormat yang bersangkutan sebagai hakim karena melakukan tindakan rangkap jabatan.

Kedua, Kementerian BUMN yang dipimpin oleh Erick Thohir harus membatalkan Keputusan RUPS Patra Niaga yang mengangkat Saudara Anwar sebagai Komisaris karena melanggar ketentuan Peraturan Menteri BUMN 03/MBU/2012 tentang pedoman pengangkatan anggota direksi dan anggota komisaris anak perusahaan BUMN yang mensyaratkan calon komisaris tidak sedang menduduki jabatan yang secara peraturan perundang-undangan yang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan dewan komisaris.

Keberanian membatalkan pengangkatan Hakim Anwar sebagai komisaris Pertamina Patra Niaga merupakan kepatuhan terhadap Undang-Undang dan membuktikan bahwa pengangkatan itu tidak terkait dengan aroma "imbal jasa" atas kasus-kasus korupsi para dirut BUMN yang dahulu pernah ditanganinya di Pengadilan Tipikor.

Akhir kata saya mengingatkan kepada menteri BUMN untuk tidak ugal-ugalan dalam mengambil suatu keputusan, sebab segala seusuatu tindakan keputusan pejabat negara ada aturan main. Jika tidak paham sebaiknya belajar dan bertanya dulu sebelum membuat keputusan.

Jeppri F. Silalahi
(Direktur Eksekutif Indonesia Law Reform Institute/ILRINS) 

Komentar