Senin, 20 Mei 2024 | 01:30
OPINI

Nihilis Kah Aku?

Nihilis Kah Aku?
Ilustrasi corona virus (Foto/iStockphoto)

Sepanjang hidup, baru kali ini aku tertawa paling geli. Menyaksikan diri di hadapan situasi. Mungkin naif. Mungkin nihilis.

Begitulah aku sebagai manusia. Penggila rasionalitas yang selalu menuntut penjelasan paling rasional; mengapa sesuatu terjadi, mengapa ini dan itu dilakukan. Padahal jika pun mampu terjawab, hidup tak juga menjadi sempurna.

Seperti situasi hari ini. Menghadapi sebuah hal baru yang krusial dan mencekam, aku sibuk dengan pertanyaan dan jawaban yang mengaburkan. Dari manakah Virus Corona bermula? Bagaimana Virus Corona mewabah? Bagaimana pula penyebarannya? 

Politisi dunia menyebut virus ini buatan manusia. Mencurigainya sebagai bom biologi. Menuding laboratorium itu sebagai sarangnya. Menyudutkan negara ini sebagai biang keladinya. Lalu teori konspirasi disusun sebagai cerita rasionalnya. Ujungnya, dideklarasikan lah nanti siapa penyelamat dunia dan siapa penjahat yang harus dihakimi bersama.

Para ahli kesehatan bersikukuh bahwa virus ini bukanlah buatan manusia. Dia menular dari hewan ke manusia, mewabah dari manusia ke manusia. Lalu sejumlah teori dikeluarkan sebagai penjelasan rasionalnya. Hingga muncul hegemoni kebenaran teori. Kemudian ada yang berebut kompetensi, antara dokter hewan, dokter manusia, ahli mikrobiologi, virologi dan ahli laboratorium. Beberapa mengklaim menemukan vaksin sebagai obat saktinya. Sementara di luar sana terdengar orang ribut; ada yang menimbun masker, ada mafia dan monopoli bisnis obat-obatan juga alat kesehatan.

Adakah yang berbeda ketika manusia menghadapi situasi yang tak biasa ini? Tak ada yang berbeda. Sama jeleknya. Ada pandemi atau tidak ada pandemi; keserakahan, keangkuhan dan kelicikan, tetap  sama saja. Sudah jadi kebiasaan manusia.

Jika begitu, kita selamatkan diri kita sendiri saja. Dengan apa? Memborong hand-sanitizer, vitamin C juga Sembako dengan kalapnya?

Dengan rasionaltas kita pun menyusun protokol kesehatan diri sendiri. Menjaga stamina tubuh, rajin mencuci tangan, gunakan masker, physical distancing, social distancing.

Tetapi ada yang bersuara lantang; Lockdown!.. 

Jangan. Lockdown membuat kehidupan menjadi beku. Aktivitas ekonomi akan berhenti total. Kita masih butuh penghasilan. Kita masih butuh makan. Tak ada negara yang mampu memberi makan rakyatnya cuma-cuma untuk batas waktu yang tak bisa ditentukan.

Jalan komprominya adalah PSBB. Pembatasan Sosial Berskala Besar. Aktifitas ekonomi tak mati total. Meski akan mengalami penurunan yang signifikan. 

Akhirnya anggaran subsidi kebutuhan pokok pun dihitung, dialokasikan lalu dimandatkan untuk didistribusikan.

Betul saja. Ketika PSBB diumumkan, penghasilan mulai berkurang. Sejumlah pekerja dirumahkan. Ruang gerak dibatasi. Sebagian besar aktifitas sosial berhenti. Tak perlu menunggu malam untuk melihat jalan-jalan makin sepi.

Ketika PSBB baru saja dilaksanakan, muncul teriakan. Ada yang kelaparan. Distribusi salah alamat. Jumlah bantuannya pun disunat. Ada juga yang tak perduli. Ada yang merasa kalah total dan nekat mudik. Ada yang marah karena kehilangan kebebasan dan kesenangan.

Sungguh semerawut reaksi manusia dihadapan musibah. Sebenarnya mau kita ini apa? Takut pada kematian, atau takut kehilangan kesenangan dunia?

Apapun itu, pandemi ini tetap saja berjalan dengan kemauannya yang merdeka. Dia hanya terikat dengan hukumnya sendiri. Lepas apakah diberlakukan lockdown atau tidak lockdown, PSBB atau tidak PSBB. Angka manusia yang positif terjangkit makin bertambah, angka mortalita makin bertambah. Dan aku masih sibuk mengotak-atik langkah dengan rasionalitasku sendiri.

Cukup intens rupanya aku bercermin. Kupikir sudah cukup rapih aku menyisir rambut dan merias wajah. Tapi, bajingan, sikap dan tindakanku rupanya justru menelanjangi diri.

Pandemi yang menimpa umat manusia ini, tak juga membuat kita bergandeng tangan dengan sesama. Hubungan antar bangsa dan negara, tak makin harmoni. Bahkan saling curiga. Dan ilmu pengetahuan ini, mengapa digunakan hanya untuk memvonis manusia terjangkit Corona lalu mengisolasinya. 

Dalam situasi mondial yang mencekam, di luar kesadaran kita takluk mengakui Iptek menjadi hal utama penentu siapa penyelamat dunia dan berhak atas kekuasaan dunia ke depan. 

Entah dari mana postulat itu. Padahal kenyataan hari ini, betapa kita dibuat takut, kalut dan kalang kabut hanya oleh benda seukuran nano bernama Covid-19.

Di tengah malam, di balik jendela kamar, kita murung meratapi sepinya jalan di seberang halaman. Membayangkan keriaan bersama rekan-rekan di cafe-cafe, keriuhan kita di mall-mall, guyub kita di simpang jalan, juga gairah aktifitas kerja kita di ruang-ruang kewibawaan yang kini tercerabut sekonyong-konyong.

Kita geragap mencari pegangan pada kekuatan yang Maha Kuat. Kekuasaan yang Maha Kuasa. Seolah bertaubat, kita pun menghibur diri menyampaikan sisi positifnya situasi, bahwa pandemi ini ada baiknya bagi perbaikan bumi. Cerobong asap pabrik berhenti. Langit biru, lapisan ozon pulih, udara pun bersih. Kita tinggal berharap keadaan bisa kembali normal seperti awal.

Lucunya diri kita ini. Apakah yang disebut keadaan normal itu? Apakah keadaan di mana sebelum terjadinya pandemi ini yang disebut normal? Sebenarnya seberapa sempurna kita mengenali alam semesta ini? Apakah dengan Iptek hari ini kita sudah sempurna mengusai alam semesta, sehingga kita tahu persis bagaimana ukuran yang disebut normal itu? Ilusi.

Sejujurnya hingga hari ini kita masih melakukan pencarian dan pengenalan alam. Entah untuk apa. Terserah targetnya masing-masing. Yang jelas, kita masih jauh dari cukup untuk mengenali alam semesta. Selalu saja ada hal baru yang akan kita temui. Contohnya adalah Virus Corona ini.

Virus Corona sesungguhnya sudah ada seiring terciptanya manusia. Kita hanya baru mengenalinya dan kini mengetahui aksinya terhadap manusia. Dan sejujurnya kita gagap menghadapinya.

Jika demikian, apakah yang dimaksud keadaan normal itu adalah ketika kita mampu memusnahkan virus tersebut?

Sesungguhnya kita tak mungkin bisa memusnahkan unsur material yang sudah diciptakan Tuhan kecuali Sang Pencipta itu sendiri yang memusnahkannya. Seperti kata Isaac Newton tentang hukum kekekalan energi.

Patut disadari, bahwa keadaan normal itu adalah justru ketika kita mampu beradaptasi menggauli semua hal baru. Bukan malah usaha sia-sia untuk memusnahkan kenyataan. Termasuk terhadap Virus Corona ini.

Jadi, bersiaplah kita untuk berakrab ria dengan Virus Corona untuk waktu yang lama sekali. Seperti kita akrab dengan Sampar, Pes, Cacar, Kolera, Pholio, TBC, bahkan influenza yang hingga kini tak pernah ada obatnya.

Dalam sejarah kita tahu, betapa Sampar dan Pes di abad terdahulu sempat menjadi pandemi yang membunuh 50 hingga 75 juta manusia di daratan Eropa. Sejarah mencatatnya sebagai The Great Mortality atau lebih dikenal sebagai Black Death.

Semua virus dan bakteri itu hingga kini masih ada. Tidak pernah musnah. Hanya manusia sudah mampu menggaulinya.

Kini, kita hanya diminta arif dalam membangun kebudayaan dan peradabannya. Membangun keselarasan antara kerja manusia dan alam semesta. Menjalin harmoni dalam membangun hubungan antar bangsa dan negara. Mengentalkan solidaritas antar kehidupan manusia. Itu saja.

Naif kah aku? Nihilis kah aku?

 

Smile Arif Suryopranoto
Pengamat Sosial dan Budaya

Komentar