Selasa, 30 April 2024 | 18:22
NEWS

Lebih Baik Fokus Tangani Corona, AJI dan IJTI Minta Pembahasan RUU KUHP Ditunda

Lebih Baik Fokus Tangani Corona, AJI dan IJTI Minta Pembahasan RUU KUHP Ditunda
AJI dan IJTI (aji.or.id)

ASKARA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengkritik langkah DPR dan pemerintah yang diwakili Menkumham Yasonna Laoly yang tetap membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dalam rapat kerja yang digelar, Rabu (4/4) lalu. 

"AJI bersama IJTI menyoroti itu di tengah pandemi Covid-19. Sebab, banyak pembatasan di tengah pandemi menyulitkan masyarakat sipil, termasuk kami pers, memberikan masukan secara maksimal dalam pembahasannya," kata Ketua AJI Indonesia, Abdul Manan, dalam siaran persnya, Kamis (9/4).

Menurut AJI dan IJTI, setidaknya ada 10 pasal dalam draft RUU KUHP tertanggal 28 Agustus 2019 yang bisa mengkriminalkan jurnalis dalam menjalankan fungsinya. Untuk itu, AJI dan IJTI mendesak untuk dilakukan penundaan pembahasan.

"Membahas RUU yang bermasalah di tengah pandemi Covid-19 hanya akan membuat energi bangsa ini terpecah dan melemahkan penanganan yang dapat memicu dampak lebih luas di masyarakat," ujar Manan.

AJI dan IJTI juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk tidak menerbitkan surat presiden baru yang dapat menjadi dasar kelanjutkan pembahasan RUU KUHP ini.

"Kami meminta agar pemerintah dan DPR fokus pada penanganan Covid-19 yang telah menelan korban jiwa dan berdampak besar pada perekonomian nasional ini," kata  Manan.

Selain desakan menunda pembahasan RUU KUHP, AJI dan IJTI juga meminta penunda pembahasan untuk RUU-RUU lainnya yang bermasalah seperti RUU Cipta Lapangan Kerja.

AJI dan IJTI menilai, jauh lebih baik bila pemerintah dan DPR fokus terhadap pandemi Covid-19 yang sudah menelan korban hingga 221 orang per Selasa 7 April 2020. Sedangkan total yang positif sebanyak 2.738 orang dan sembuh 204 orang.

RUU KUHP merupakan satu dari sejumlah RUU yang gagal disahkan pada penghujung masa kerja DPR periode 2014-2019 setelah mendapatkan protes besar dari mahasiswa dan masyarakat sipil, September tahun lalu.

Protes tersebut memicu protes luas masyarakat, di Jakarta dan sejumlah daerah di Indonesia, dan menyebabkan setikdanya 5 mahasiswa meninggal dunia.

Protes besar ini setidaknya berasal dari 10 pasal yang dinilai akan memiliki hak absolut kepada penguasa dan memberangus kebebasan sipil berpendapat, khususnya kritik dari insan pers. Seperti Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden; Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa.

Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong; Pasal 263 tentang berita tidak pasti; Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan; Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama; Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara; Pasal 440 tentang pencemaran nama baik; Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.

Komentar