Keangkuhan Trump Atas Langit Iran Diantara Teknologi Persenjataan dan Takdir

Oleh: Agusto Sulistio *)
ASKARA - Dalam dunia peperangan modern, teknologi adalah segalanya. Rudal presisi, drone bersenjata, sistem satelit, dan radar ultra-canggih menjadi simbol kekuasaan dan dominasi militer sebuah negara. Namun sejarah, dan bahkan kitab-kitab suci, berkali-kali mengingatkan bahwa di balik kecanggihan teknologi dan kehebatan strategi, ada kekuatan yang jauh lebih menentukan: keberuntungan yang digariskan oleh Tuhan.
Baru-baru ini, mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mencuri perhatian dengan pernyataan provokatifnya di media sosial, “Kami sekarang memiliki kendali penuh langit Iran.”* Pernyataan ini dilontarkan di tengah ketegangan tinggi antara Iran dan Israel. Trump, seperti biasa, berbicara penuh percaya diri, seolah kekuatan militer AS adalah satu-satunya penentu dalam konflik global.
Ia menambahkan, “Iran punya perlengkapan pertahanan yang bagus, tapi tidak bisa dibandingkan dengan peralatan buatan Amerika. Tak ada yang menandingi AS.” Ucapan ini mencerminkan keangkuhan khas manusia yang terlalu percaya diri pada kekuatan lahiriahnya, lupa bahwa dalam banyak peristiwa sejarah, yang menentukan bukan hanya senjata atau strategi, tapi juga takdir, sesuatu yang berada di luar kendali manusia.
Sejarah mencatat tragedi besar yang menimpa AS sendiri saat tengah percaya diri penuh dengan kekuatan teknologinya. Pada 8 Juni 1967, kapal intelijen militer USS *Liberty* diserang habis-habisan oleh sekutunya sendiri, Israel, dalam Perang Enam Hari. Kesalahan identifikasi, komunikasi tertutup, dan asumsi yang keliru membuat kapal itu dihujani tembakan jet tempur dan torpedo, menewaskan 34 prajurit AS dan melukai puluhan lainnya. Ironisnya, semua itu terjadi bukan karena lemahnya sistem atau lambatnya reaksi, tapi karena kesalahan manusia dan—tak kalah penting—nasib buruk yang tak bisa dihindari.
Padahal AS saat itu tak kekurangan teknologi, radar mereka aktif, komunikasi berlapis, dan sistem tempur mereka tergolong canggih untuk masanya. Namun keberuntungan tidak berpihak.
Inilah momen ketika teknologi paling mutakhir pun tak mampu menandingi satu hal yang tak kasatmata: takdir yang digariskan oleh Tuhan.
Alquran dengan tegas mengingatkan manusia tentang keterbatasannya. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 286, Allah SWT berfirman:
"Laa yukallifullahu nafsan illa wus'ahaa..."
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Ayat ini mengingatkan bahwa kekuatan dan hasil akhir tak sepenuhnya berada di tangan manusia. Sebesar apa pun kemampuan dan usaha, hasil akhirnya tetap dalam kuasa Allah SWT.
Injil, dalam Lukas 1:52 tertulis:
"Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah.”
Ayat-ayat ini berbicara jelas bahwa kesombongan manusia baik individu maupun bangsa, akan selalu berhadapan dengan kuasa yang lebih tinggi, kuasa yang tak bisa dipetakan oleh radar, dan tak bisa dijangkau oleh satelit: kehendak Ilahi.
Kini, ketika ketegangan Israel dan Iran mencapai titik genting di bulan Juni 2025, dunia menyaksikan bagaimana rudal saling diluncurkan, sistem pertahanan udara dikerahkan, dan propaganda saling ditebar. Di tengah kecanggihan itu, tidak ada pihak yang benar-benar bisa mengklaim kontrol penuh atas langit atau nasib.
Pernyataan seperti Trump, yang menyiratkan dominasi mutlak, justru menegaskan betapa rapuhnya kesadaran manusia terhadap batas kemampuannya sendiri. Apalagi, pengalaman seperti USS Liberty menunjukkan bahwa kadang bahaya datang bukan dari musuh, melainkan dari keliru membaca keadaan.
Kekuatan boleh direncanakan, teknologi bisa diciptakan, strategi bisa disempurnakan. Tapi keberuntungan, atau lebih tepatnya kehendak Tuhan, adalah faktor yang tidak bisa diukur atau dikendalikan.
Maka siapa pun yang merasa paling kuat, paling modern, atau paling unggul, baik itu negara atau pemimpin, seharusnya mengingat bahwa langit dan bumi bukanlah milik manusia. Dan dalam banyak kasus, justru yang selamat adalah mereka yang tidak sombong, tidak ceroboh, dan tidak lupa untuk rendah hati di hadapan Sang Pencipta.
Langit, betapapun diklaim telah dikuasai sepenuhnya, tetap memiliki misteri yang hanya Tuhan Yang Maha Esa yang tahu.
*) Pendiri The Activist Cyber, aktif di Indonesia Demokrasi Monitor (InDemo).
Komentar