Ketika Tuhan Dijadikan Angan-Angan Mentah

ASKARA - Di era ketika ruang publik dibanjiri klaim intelektualisme murahan yang membungkus penghinaan atas keyakinan umat, muncul pernyataan menyayat akal dan nurani. Sebuah unggahan sembrono tentang Tuhan oleh seorang kader partai justru mencerminkan keangkuhan berpikir yang berbahaya dan melukai sensitivitas masyarakat luas, lalu buru-buru diselamatkan lewat klarifikasi yang lebih mirip satire kelembagaan.
Dunia sedang tidak baik-baik saja ketika Tuhan dijadikan obyek percobaan imajinasi oleh manusia yang merasa telah naik kasta menjadi nabi modern versi diri sendiri. Begitu kira-kira rasa getir yang tertinggal dari unggahan Dedy Nur Palakka seorang politisi dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menyebut bahwa Allah, Tuhan yang diyakini umat Islam, hanyalah "angan-angan" yang dibangun oleh nabi akhir zaman.
Betapa ironis. Di tengah semangat toleransi yang gencar digaungkan partainya, justru keluar pernyataan yang menusuk jantung keimanan umat dengan pisau filsafat murahan. Lebih dari sekadar blunder, unggahan tersebut adalah bentuk kesombongan intelektual yang dibungkus dalam gaya skeptisisme populer, yang berujung pada pengabaian terhadap sensitivitas jutaan manusia yang menjadikan nama Allah sebagai napas hidup mereka.
Kalimat "Allah yang selama ini dipercaya oleh umat muslim sebenarnya cuma angan-angan" adalah bentuk penghinaan intelektual yang tidak cerdas. Itu bukan sekadar skeptis, tetapi sinis dan nihilistik. Ia seolah memosisikan diri sebagai pencari kebenaran murni, padahal sedang menari-nari di atas bara keyakinan orang lain.
Bukan hanya tidak peka, tetapi juga tidak bijak.
Apakah ini bagian dari ‘kebebasan berpikir’? Jika iya, maka kita harus bersiap hidup di dunia yang bebas dari sopan santun spiritual. Dunia di mana nama Tuhan bebas digugat tanpa etika. Dunia di mana para politisi merasa punya hak mutlak untuk mendefinisikan ulang doktrin umat demi sekadar terlihat edgy dan relevan.
Yang lebih memilukan adalah ketika klarifikasi datang dengan gaya PR khas politisi: penuh frasa lembut tapi hampa makna. Dedy Nur menyatakan bahwa ucapannya adalah "pandangan pribadi" dan "tidak mewakili sikap resmi PSI secara kelembagaan". Betapa klasik. Sebuah jurus klise untuk mencuci tangan atas gelombang kemarahan publik.
Bagaimana bisa seorang kader partai yang membawa nama, platform, dan pengaruh publik berujar seenaknya di ruang publik digital lalu berlindung di balik tameng ‘pribadi’? Jika ucapannya tidak merepresentasikan lembaga, mengapa lembaga yang bersangkutan tidak sejak awal membina standar komunikasi politik yang lebih manusiawi, lebih berempati?
Pernyataan Dedy kemudian dicabut, konon demi "ruang dialog publik yang sehat". Tapi, apa yang sehat dari awalnya menyulut api lalu pura-pura menjadi pemadam? Permintaan maaf disampaikan dengan kata-kata yang manis, tetapi tercium aroma keterpaksaan yang menyengat. Permintaan maaf itu tidak datang dari kesadaran spiritual, tapi dari tekanan publik dan mekanisme teguran partai.
Ini bukan tentang semata-mata agama, tapi tentang etika komunikasi dan integritas berpendapat.
Jika seseorang merasa sah menggugat keberadaan Tuhan sebagai bentuk eksperimen berpikir, maka ia harus pula bersedia menerima risiko sosial, politik, dan moral yang menyertainya. Tidak bisa mendadak menjadi manusia paling sadar setelah menciptakan luka yang mendalam.
Yang terjadi adalah: Dedy sedang menari di atas jurang kebebasan berpendapat yang tidak dilandasi tanggung jawab. Ia memainkan kata-kata seolah-olah sedang mengajar filsafat eksistensial, padahal ia sedang mempermainkan perasaan kolektif umat.
Umat beragama, terutama umat Islam, bukanlah kumpulan orang yang alergi kritik. Namun, membantah eksistensi Tuhan mereka dengan menyebutnya "angan-angan" adalah bukan kritik. Itu adalah penistaan yang dibungkus dengan senyum kebebasan ekspresi. Itu adalah perampokan atas ruang iman yang paling suci.
Di tengah dunia yang makin riuh oleh debat identitas dan spiritualitas, kita tidak membutuhkan provokator yang berpura-pura jadi intelektual. Kita butuh negarawan, pemikir, dan politisi yang bisa menuntun ruang publik ke arah yang sehat, bukan sekadar memantik konflik demi algoritma dan sorotan media.
Sayangnya, hari ini yang kita dapat justru kebalikannya: kata “Allah” diobrak-abrik oleh orang yang lebih suka jadi filsuf gagal daripada menjadi pemimpin yang berempati.
Dan lebih menyedihkan lagi, mereka masih bisa tersenyum sambil berkata: "Itu hanya pendapat pribadi."
Pendapat pribadi yang diposting di ruang publik, dibaca oleh ribuan orang, dan memantik luka sosial yang nyata. Pendapat pribadi yang bertabrakan dengan etika publik, tetapi tetap dianggap sah karena dibungkus dengan embel-embel demokrasi dan kebebasan.
Demokrasi bukan kebun binatang. Ia tidak seharusnya membiarkan siapa pun mencabik-cabik nilai sakral agama hanya karena ingin tampil ‘berani’. Demokrasi bukan tempat untuk menggugat Tuhan hanya demi terlihat intelek. Demokrasi yang sehat justru tumbuh di atas penghormatan terhadap keyakinan orang lain, bukan dengan menganggap Tuhan mereka sebagai “angan-angan”.
Tuhan bukan wacana. Tuhan adalah keimanan. Dan keimanan bukanlah materi percobaan siapa pun, termasuk Dedy Nur Palakka.
Jika ingin berdialog soal Tuhan, mari duduk dengan etika. Bukan dengan serangan verbal yang menusuk. Jika ingin mengkritisi agama, lakukan dengan ketulusan, bukan dengan sinisme berkedok akademik.
Karena bila kita terus membiarkan ruang publik dirusak oleh unggahan-unggahan sembrono yang berbahaya seperti ini, maka tak lama lagi, kita akan hidup dalam masyarakat tanpa adab. Masyarakat yang kehilangan kepekaan atas apa yang suci. Masyarakat yang lebih menghormati sarkasme ketimbang spiritualitas.
Dan ketika itu terjadi, bukan cuma Tuhan yang dianggap angan-angan tetapi juga kebaikan, ketulusan, dan kemanusiaan.(Dwi Taufan Hidayat)
Komentar