Kamis, 17 Juli 2025 | 04:43
OPINI

Raja Ampat Bukan Milik Investor, Ketika Negara Membiarkan Alam Dikorbankan

Raja Ampat Bukan Milik Investor, Ketika Negara Membiarkan Alam Dikorbankan
Hutan yang dibabat demi kepentingan bisnis (Dok Ist)

ASKARA - Pernyataan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyebut tidak ada masalah dalam aktivitas tambang nikel di Raja Ampat bukan hanya mengecewakan, tapi juga mengkhawatirkan. Di tengah krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang kian mengancam, negara justru tampak membela kepentingan industri tambang dengan cara yang nyaris membabi butaa, tanpa empati, tanpa kehati-hatian, dan tanpa kejujuran ekologis.

Raja Ampat bukan hanya gugusan pulau indah untuk dijual dalam brosur wisata. Ia adalah rumah bagi ratusan spesies langka, kampung bagi masyarakat adat, dan wilayah suci bagi warisan ekologi dunia. Ketika wilayah seistimewa ini dijadikan lokasi tambang nikel, maka pertanyaannya bukan sekadar soal prosedur perizinan, tapi tentang ke mana arah moral pembangunan bangsa ini.

Dari Freeport di Papua hingga tambang batubara di Kalimantan, kisahnya hampir selalu sama: tanah digerus, air dicemari, udara dikotori, dan rakyat di sekeliling tambang tetap hidup miskin. Kekayaan alam yang diangkut berton-ton setiap hari itu tidak pernah benar-benar memberi kesejahteraan kepada pemilik sejatinya: rakyat.

Kini, Raja Ampat tampaknya sedang berada dalam babak yang sama. Atas nama “tak ada masalah”, negara memilih melihat dari udara, bukan dari tanah di mana lumpur mengendap dan biota laut mati pelan-pelan. Negara memilih mendengar suara pengusaha, bukan jeritan sunyi nelayan yang kehilangan ikan.

Tambang bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan keadilan dan etika. Apa gunanya pertumbuhan ekonomi jika ia dibangun di atas kerusakan lingkungan dan penderitaan komunitas lokal? Apa makna pembangunan jika ia meninggalkan kuburan ekologis dan kemiskinan yang diwariskan lintas generasi?

Negara seharusnya hadir sebagai penjaga, bukan penjual. Ketika tanah, laut, dan udara dijadikan komoditas untuk segelintir orang, maka kita sedang bergerak mundur dari cita-cita kemerdekaan. Bukankah alam Indonesia seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat?

Raja Ampat tidak boleh menjadi korban berikutnya. Bukan karena ia terkenal atau eksotis, tapi karena setiap jengkal tanah dan lautnya adalah amanah yang harus dijaga. Bukan dijual.

 

 

Komentar