Senin, 21 April 2025 | 11:34
OPINI

Dua Anak Penguasa

Antara Anak Mulyono dan Anak Jenderal, Siapa yang Lebih Memberi Arti?

Antara Anak Mulyono dan Anak Jenderal, Siapa yang Lebih Memberi Arti?
Ilustrasi dua anak pemimpin (Dok Askara)

ASKARA - Di satu panggung, ada anak sulung dari Mulyono yang tak asing bagi rakyat. Di panggung lain, ada putra semata wayang dari seorang jenderal yang kini jadi orang nomor satu di negeri Konoha. Keduanya anak tokoh besar, tumbuh dalam lingkaran elite, dan hidup dalam sorotan. Tapi di sanalah letak perbedaannya: satu dipoles untuk tampil, satu memilih untuk tetap tersembunyi.

Anak Mulyono bukan orator. Ia bukan pembicara ulung, apalagi pemikir publik. Kata-katanya pendek, nadanya datar, mimik wajah nyaris tak berubah. Tapi justru di situlah ia menjadi viral. Bukan karena kecerdasan argumen, tapi karena publik bertanya-tanya: “Benarkah ini calon pemimpin masa depan?”

Ia menjawab pertanyaan dengan gaya yang dingin, kadang tak sopan, kadang lucu, tapi jarang mengandung substansi. Ia tidak tampak sebagai intelektual. Tapi jangan salah, dalam dunia politik hari ini, substansi bukan lagi prasyarat. Yang penting: loyal, dikenal, dan punya nama keluarga.

Anak Mulyono adalah simbol zaman ini—ketika kecepatan dan citra mengalahkan kedalaman dan ide. Ia tidak sedang membangun gagasan besar, ia sedang mendayung dalam arus besar. Mungkin ia sadar, mungkin tidak. Tapi mesin di belakangnya bekerja dengan sangat rapi.

Lalu lihatlah anak Jenderal. Ia jarang tampil di forum politik. Lebih suka berbicara lewat desain, kain, dan budaya. Ia bukan produk dari dunia politik praktis, tapi dari dunia yang lebih tenang: seni dan estetika.

Tiap kali ia bicara, tutur katanya halus, pilihan katanya tertata, dan gaya bicaranya mencerminkan ruang baca yang luas. Ia bukan anak muda yang mengejar jabatan, tapi menghadirkan kelas. Sebuah keanggunan intelektual yang kini mulai langka dalam politik kita.

Dia adalah simbol kebangsawanan intelektual yang memilih berada di balik layar. Tidak perlu panggung, karena pikirannya sudah cukup bicara. Ia bukan penguasa, tapi tak perlu jadi penguasa untuk dihormati.

Kita hidup di era yang absurd. Ketika pemimpin bisa dibentuk dalam semalam. Ketika debat bukan lagi ruang adu gagasan, tapi adu "gaya ngegas". Ketika publik lebih tergoda oleh viral daripada nilai.

Antara anak Mulyono dan anak Jenderal, publik bisa menilai: siapa yang menonjol karena pencitraan, siapa yang kuat karena pemikiran. Anak Mulyono memantapkan langkah di jalur kekuasaan. Anak Jenderal tetap melangkah tenang di jalur peradaban.

Tapi pertanyaan pentingnya:
Apakah bangsa ini akan terus memilih mereka yang ramai tapi hampa, dan melupakan mereka yang diam tapi dalam?

 

 

Komentar