Kamis, 05 Desember 2024 | 20:21
OPINI

Pemberantasan Korupsi: Antara Ilusi dengan Integritas dalam Keadilan dan Kemakmuran

Pemberantasan Korupsi: Antara Ilusi dengan Integritas dalam Keadilan dan Kemakmuran
Ilustrasi pemberantasan korupsi, antara ilusi dengan integritas dalam keadilan dan kemakmuran (Dok S Turnip)

Oleh: Saur S. Turnip (mantan auditor internal BUMN)

ASKARA - Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa selama lima bulan pertama tahun 2024, sekitar 100 orang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, termasuk pejabat tinggi pemerintah. Namun, upaya penegakan hukum terhadap kasus-kasus ini menghadapi tantangan besar, terutama karena kebijakan dari Kejaksaan dan Kepolisian yang menghindari penanganan kasus menjelang pemilu untuk mengurangi politisasi.

Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada tahun 2023 menunjukkan skor stagnan di angka 34 dari 100, menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara. Hal ini mencerminkan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi dan perlindungan hak asasi manusia, dengan indikasi bahwa pemilu dimanfaatkan oleh politisi untuk memperkaya diri melalui praktik korupsi.

Atmosfer ini menciptakan kondisi di mana korupsi sulit diungkap, terutama ketika ada konflik internal di KPK dan terbatasnya komitmen untuk mengatasi masalah ini secara efektif. Hal ini membuat publik skeptis terhadap kemampuan lembaga-lembaga tersebut dalam menangani korupsi secara transparan dan adil.

A. Pengertian Korupsi
Korupsi merupakan penyakit yang merusak integritas pemerintahan dan menghambat kemajuan sosial serta ekonomi suatu bangsa. Menurut Robert Klitgaard, korupsi dapat didefinisikan dengan rumus C = M + D – A, yang berarti korupsi (C) muncul dari monopoli kekuasaan (M), kebebasan bertindak (D), dan kurangnya akuntabilitas (A). Syed Hussein Alatas menambahkan bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi, sebuah pengkhianatan terhadap publik. Transparency International juga menyatakan bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, yang merusak kepercayaan masyarakat. Dari perspektif ini, jelas bahwa korupsi adalah masalah moralitas dan etika, bukan hanya legalitas.

B. Profil dan Alasan Pelaku
Pelaku korupsi berasal dari berbagai latar belakang. Alasan utama mereka meliputi desakan ekonomi, kurangnya pengawasan, dan akuntabilitas dalam institusi pemerintah. Profil pelaku korupsi umumnya melibatkan pejabat pemerintah, politikus, dan pengusaha yang memiliki akses terhadap pengambilan keputusan strategis.

C. Album Korupsi
Sejak 2013, kerugian negara akibat korupsi di Indonesia terus meningkat. Misalnya, pada 2021, kerugian negara mencapai Rp 62,93 triliun. Kasus besar seperti penyerobotan lahan oleh Grup Duta Palma dan pengolahan kondensat ilegal di kilang Tuban adalah contoh nyata dari dampak korupsi yang merugikan ekonomi negara. Pada 2024, beberapa kasus korupsi melibatkan aparat penegak hukum Indonesia, termasuk hakim, jaksa, dan pejabat lembaga pemerintah.

D. Korban Korupsi
Kerugian akibat korupsi memiliki dampak luas pada berbagai sektor, termasuk pembangunan, perekonomian, layanan kesehatan dan pendidikan, kesejahteraan masyarakat, keamanan, kewajiban luar negeri, dan investasi. Berikut adalah dampak utama korupsi:

1. Pembangunan: Korupsi menyebabkan alokasi dana yang salah, menghasilkan infrastruktur berkualitas rendah dan merugikan masyarakat.

2. Perekonomian: Korupsi menghambat investasi dan merugikan pelaku usaha.

3. Layanan Publik: Korupsi dalam sektor kesehatan dan pendidikan merusak kualitas layanan.

4. Kesejahteraan Masyarakat: Korupsi memperparah kesenjangan sosial dan ekonomi.

5. Keamanan: Korupsi berpotensi mengganggu stabilitas sosial dan politik.

6. Kewajiban Luar Negeri: Negara dengan tingkat korupsi tinggi kesulitan menjalin kerja sama internasional.

7. Investasi: Korupsi menurunkan minat investor asing, yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

E. Integritas Negara dalam Memberantas Korupsi
Beberapa negara berhasil mengurangi korupsi melalui kebijakan hukum ketat, seperti Singapura dan Denmark. Singapura memiliki Biro Investigasi Praktik Korupsi (CPIB) yang kuat dalam menangani kasus korupsi, sementara Denmark memiliki lembaga ombudsman yang independen sejak 1955 untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas.

Keberhasilan negara-negara ini menunjukkan pentingnya kebijakan hukum yang tegas, lembaga independen yang kuat, dan budaya anti-korupsi yang dijalankan secara konsisten.

F. Perenungan Pemerintahan Prabowo
Pemerintahan Prabowo Subianto menegaskan komitmen untuk memperkuat pemberantasan korupsi dengan berfokus pada reformasi politik dan hukum. Program ini mendapat dukungan penuh dari KPK dan bertujuan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran serta proyek publik. Namun, pengamat mengingatkan bahwa kesuksesan program ini bergantung pada pengembalian independensi KPK dan pemberlakuan hukuman tegas bagi pelaku korupsi. Transparansi dalam perekrutan pejabat dan reformasi di Polri serta Kejaksaan sangat krusial agar pemberantasan korupsi berjalan efektif.

Korupsi di Indonesia merupakan masalah serius yang membutuhkan perhatian mendalam dari seluruh elemen masyarakat. Dengan pemahaman mengenai definisi, faktor penyebab, dampak, dan komitmen untuk memberantas korupsi, kita dapat bersama-sama menuju pemerintahan yang bersih, adil, dan berintegritas.

 

 

Komentar