Senin, 20 Mei 2024 | 12:48
NEWS

FGD Badan PPD Prov. Lampung: Prof. Rokhmin Dahuri Ungkap Strategi Pengelolaan Sumber Daya Lobster Berkelanjutan

FGD Badan PPD Prov. Lampung: Prof. Rokhmin Dahuri Ungkap Strategi Pengelolaan Sumber Daya Lobster Berkelanjutan
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS memaparkan tentang Strategi Pengelolaan Sumber Daya Lobster Berkelanjutan di Indonesia.

ASKARA – Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Prov. Lampung mengelar Focus Group Discussion (FGD) "Optimalisasi Potensi Lobster Berbasis Blue Economy Menuju Lampung Sentra Lobster“ di Hotel Novotel, Senin, 30 oktober 2023.

Sebagai narasumber utama, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS memaparkan tentang  Strategi Pengelolaan Sumber Daya Lobster Berkelanjutan di Indonesia.

Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan potensi pasar lobster sangat menjanjikan. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dunia dan Indonesia, serta semakin bertambahnya penduduk kelas menengah ke atas (consuming class),  maka, permintaan akan komdoitas maupun produk olahan lobster akan terus meningkat.

“Potensi produksi lobster Indonesia juga dinilai sangat besar. Sebagai negara dengan luasan ekosistem terumbu karang (habitat utama lobster) terluas kedua di dunia dan paling tinggi biodiversity-nya,  Indonesia memiliki potensi Benih Lobster (BL) untuk dibudidayakan dan lobster dewasa (ukuran konsumsi) yang bisa dipanen dari alam (laut) salah satu terbesar di dunia,” paparnya.

Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan landasan kebijakan dan regulasi sektor kelautan dan perikanan. Antara lain: Pertama, Ilmu pengetahuan (science-based policies); Kedua, Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development): “peningkatan pertumbuhan ekonomi inklusif untuk mensejahterakn seluruh rakyat secara berkeadilan, dan secara simultan memelihara kualitas dan keberlanjutan ekosistem alam”.

Ketiga, Misi (tugas dan fungsi) KKP: (1) mengatasi permasalahan internal sektor KP; (2) berkontribusi signifikan dalam mengatasi permasalahan bangsa (nasional); dan (3) mendayagunakan seluruh potensi pembangunan KP secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan guna mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri membahas status  dan permasalahan pembangunan Indonesia dan Lampung. Ia mengungkapkan, status pembangunan beberapa negara asia berdasarkan GNI (Gross National Income) Per Kapita (Dolar AS) pada 2022. Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. "Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020)," katanya.

Maka, mengutip Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022, kata Prof. Rokhmin Dahuri, atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi memenuhi biaya tersebut. “Saya tidak habis pikir kalau pejabat Negara bisa tidur dengan data ini,” tandas Penasehat Gubernur Bidang Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung 2019-2024 itu.

Lalu, ia menuturkan, ada 10 Permasalahan & Tantangan Pembangunan Indonesia. Yakni: 1. laju pertumbuhan ekonomi rendah (< 7% per tahun); 2. Pengangguran & Kemiskinan; 3. Ketimpangan Ekonomi Terburuk Ke-3 Di Dunia; 4. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah; 5. Fragmentasi Sosial-Politik Yang Mengancam Persatuan Dan Kesatuan Bangsa; Selanjutnya, 6. Deindustrialisasi; 7. Kedaulatan Pangan, Farmasi, Dan Energi Rendah; 8. Inovasi, Daya Saing & IPM Rendah; 9. Kerusakan Lingkungan & SDA; 10. Volatilitas & Disrupsi.

Perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2023), yakni pengeluaran Rp 580.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan. Menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2,5 dolar AS/orang/hari atau 75 dolar AS/orang/bulan (Rp 1.125.000)/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2023 sebesar 111 juta jiwa (37% total penduduk)

Yang sangat mencemaskan adalah bahwa 21,4% anak-anak kita mengalami stunting (tengkes), 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). “Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation,” tuturnya.

Prof. Rokhmin Dahuri yang juga sebagai Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia tersebut menjelaskan, resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. Padahal, sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80 (UNDP, 2021). Ironisnya, dengan status masih sebagai negara berpendapatan menengah.

Tingginya angka kemiskinan, dan rendahnya IPM berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, tembaga, hutan, dan ikan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi. Indonesia pun merupakan salah satu negara yang mengalami kerusakan lingkungan yang parah di dunia (UNEP, WWF; 2020).

Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020).

Atas dasar perhitungan tersebut, menurut Litbang Kompas, ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut. Dari 65 juta rumah tangga, masih 61,7 persen rumah tidak layak huni. “Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” ujarnya.

Hingga 2019, Prof Rokhmin Dahuri menambahkan, Hingga 2021, Indonesia berada diurutan ke-114 dari 191 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN. Hingga 2022, tingkat kemiskinan Provinsi Lampung sebesar 11,57% (Urutan ke-12 dari 34 Provinsi di Indonesia).

Hingga 2022, Koefisien Gini Provinsi Lampung sebesar 0,314 (Peringkat ke-25 dari 34 Provinsi di Indonesia). Gini rasio tertinggi berada di Bandar Lampung sebesar 0,34 (tahun 2021). Hingga 2022, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Lampung sebesar 70,45% (Urutan ke-24 dari 34 Provinsi di Indonesia). IPM tertinggi berada di Bandar Lampung sebesar 78,01% (tahun 2022). Gini rasio tertinggi berada di Bandar Lampung sebesar 0,34 (tahun 2021).

Hingga 2022, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Lampung sebesar 70,45% (Urutan ke-24 dari 34 Provinsi di Indonesia). IPM tertinggi berada di Bandar Lampung sebesar 78,01% (tahun 2022). Hingga 2022, Gini Ratio Provinsi Lampung sebesar 0,31 (Urutan ke-26 dari 34 Provinsi di Indonesia).

Pada 2021, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Prov. Lampung berada diurutan ke-11, Pada 2022, PDRB Prov. Lampung berada diurutan ke-11, sementara PDRB per kapita ke-25 dari 34 Provinsi di Indonesia. Pada tahun 2021, PDRB tertinggi adalah Lampung Tengah dan PDRB/kapita tertinggi berada di Tulang Bawang.

Tingkat kemiskinan tertinggi berada di Lampung Utara sebesar 19,63% (tahun 2021). Hingga 2022, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Lampung sebesar 4,31% (Urutan ke-22 dari 34 Provinsi di Indonesia). TPT tertinggi berada di Bandar Lampung sebesar 8,85% (tahun 2021).

Kendati sejak merdeka 17 – 8 – 1945 Indonesia banyak mengalami kemajuan, namun, sudah 77 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai negara-berpendapatan menengah bawah dengan GNI perkapita US$ 4.140, angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, gizi buruk, dan IPM yang belum setingkat negara maju (IPM > 80).

Atas dasar angka kemiskinan, PDRB perkapita, dan IPM pada 2022; pencapaian pembangunan Provinsi Lampung masih di bawah pencapaian Nasional.  Maka, PR (Pekerjaan Rumah) Provinsi Lampung lebih berat ketimbang Nasional. “Oleh karenanya, seluruh komponen pembangunan Prov. Lampung harus berekerja lebih cerdas, keras, kolaboratif, dan ikhlas lagi,” ujar Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, Lampung masuk dalam lima besar provinsi paling banyak produksi budidaya udang. Produksi terbesar budidaya laut berasal dari Kabupaten Lampung Selatan (63,74%). Produksi terbesar budidaya air tawar berasal dari Kabupaten Lampung Selatan (62,51%).

Jumlah pembudidaya terbanyak berada di Kabupaten Tulang Bawang (37,55%). Ekspor produk perikanan Lampung dominan komoditas Udang (82% total volume dan 36% total nilai). Baik di eksosistem laut maupun ekosistem payau dan darat, tingkat pemanfaatan perikanan budidaya pada umumnya masih jauh lebih rendah ketimbang potensi produksi lestarinya.

Maka, katanya, peningkatan produktivitas dan produksi perikanan budidaya memberikan masih terbuka lebar. Mayoritas pembudidaya perikanan, khususnya yang skala Mikro dan Kecil (tradisional), masih miskin (pendapatan < US$ 375 (Rp 5,625 juta)/bulan/orang) (Bank Dunia, 2022).

Sebagian besar unit bisnis (usaha) perikanan budidaya tradisional tidak menerapkan: (1) Economy of Scale (Skala Ekonomi); (2) Integrated Supply Chain Management System (Hulu – Hilir); (3) Best Aquaculture Practices (Cara Budidaya Terbaik); (4) Teknologi Mutakhir (Blue Economy, Industry 4.0 Technology) pada setiap mata rantai pasok; dan (5) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

“Sayangnya, kurang produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan pembudidaya miskin dan kontribusi sektor Perikanan Budidaya (Aquaculture) bagi perekonomian Prov. Lampung (PDRB, ekspor, dan PAD) rendah,” ujar Ketua Umum GANTI (Gerakan Nelayan Tani Indonesia)

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045 mau tidak mau harus menggunakan Pendekatan Sistem untuk Mewujudkan Indonesia Emas (Maju, Adil-Makmur, Dan Berdaulat) pada 2045.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, persyaratan dari Negara Middle-Income menjadi Negara Maju, Adil-Makmur dan Berdaulat, yaitu: Pertama, pertumbuhan ekonomi berkualitas rata-rata 7% per tahun selama 10 tahun. Kedua, I + E > K + Im. Ketiga, Koefisien Gini < 0,3 (inklusif). Keempat, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Sedangkan dinamika perkembangan pengelolaan lobster di dunia dan Indonesia, yakni dua kelompok utama lobster laut: Clawed Lobster (30 spesies) dan Spiny Lobster (49 spesies). Di perairan Indo-Pasific Barat terdapat 11 spesies, dan 6 diantaranya terdapat di perairan Indonesia (Moosa & Aswandy, 1984).

Produksi lobster global berdasarkan jenisnya, 2000 – 2020 Produksi lobster global didominasi oleh penangkapan lobster Amerika (Homarus americanus) di sepanjang pantai Atlantik Kanada dan timur laut Amerika Serikat. Wilayah yang relatif kecil ini menyumbang lebih dari 60% produksi lobster global dan menyumbang seluruh pertumbuhan yang diamati selama periode waktu yang lama.

Sekitar 99,3% total produksi lobster dunia (2010 – 2018) berasal dari perikanan tangkap. Sementara dari budidaya hanya menyumbang sekitar 0,7%.

Sebaran Jenis Lobster di Indonesia

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, ada 6 Jenis Lobster Di Indonesia yaitu: Lobster Batik/Kipas, Lobster Pasir, Lobster Bambu, Lobster Batu, Lobster Pakistan, Lobster Mutiara. Lampung di urutan dua puluh provinsi paling banyak produksi Lobster. Sedankan produksi Lobster perikanan tangkap laut terbesar berasal dari sulawesi tenggara yaitu 669,14 ton (18% dari total produksi lobster tangkap laut nasional)

Terkait perkembangan Budidaya Lobster di Indonesia, Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang membeberkan, antara lain:

1990-1997 -  Sebagian kecil nelayan mulai membesarkan lobster di KJA sebagai pekerjaan sampingan di Desa Telong Elong dan  Ekas, Lombok

1998 - ADB melalui Proyek Co-Fish memprakarsai budidaya lobster di Desa Telong Elong dan Teluk Ekas, Lombok

2001–2007 - Sekitar 400-500 nelayan  menangkap ±250.000 puerulus/tahun di tiga sentra puerulus Lombok (Teluk Gerupuk, Bumbang dan Awang)

Pembesaran lobster dilakukan di Desa Telong Elong dan Teluk Ekas dengan jumlah pembudidaya pembesaran ±500 dan produksi mencapai 50–80 ton P. homarus/tahun

Pada 2007 - The Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) membantu pengembangan budidaya lobster di Indonesia

2008–2012 - Melalui proyek ACIAR jumlah puerulus yang ditangkap meningkat dari 250.000 menjadi 600.000/tahun; produksi lobster mencapai 80-160 ton/tahun di 1.000 KJA

2013-2014 - Transfer teknologi pengumpulan puerulus dari Vietnam ke Indonesia melalui proyek ACIAR meningkatkan tangkapan puerulus dari 600.000 menjadi sekitar 3 juta puerulus/tahun

Penjualan puerulus meningkatkan permintaan pasar internasional sehingga harga puerulus naik, dan kemudian menurunkan usaha pembesaran lokal.

2015-2019 - Penangkapan puerulus dilarang baik untuk ekspor maupun budidaya di wilayah NKRI

Kebijakan Pengelolaan Lobster  

Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2001-2004 itu menyebutkan beberapa permasalahan dan tantangan budidaya lobster di Indonesia. Pertama,  masa transisi, dari larangan budidaya lobster sejak awal 1990-an hingga 2014 (Permen KP No.1/2015 dan Permen KP No.56/2016) ke dibolehkan dan didorong untuk budidaya lobster di dalam negeri (Permen KP No. 12/2020).

“Sejatinya kapasitas IPTEK budidaya lobster bangsa Indonesia terus membaik. Salah satu buktinya adalah SR (Survival Rate) pembesaran lobster dari sebelumnya < 30%, pada akhir 2019 – awal 2020 sudah mencapai 51% (Andi Sunadim, 2020),” terangnya.

Disisi lain, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, jumlah peneliti/ahli, praktisi, dan perusahaan budidaya lobster Indonesia semakin banyak. Contoh: Prof. Ketut Sugama, Dr. Bayu Priambodo, Dr. Ilham, Dr. Irzal Effendi (Peneliti), Effendy Wong, Arie Nanda Djausal, Didi Supardi, Haji Vylma, Muhibidin Koto (Pengusaha), PT. Aquatec, dan PT. Gold Star (Perusahaan).

Kedua, kinerja usaha budidaya (pembesaran) masih rendah dibandingkan Vietnam (SR rendah atau < 50%, pertumbuhan lambat, FCR tinggi, efisiensi pakan rendah), sehingga daya saing  budidaya relatif rendah. SR di Vietnam > 70%.

Ketiga, pakan buatan belum berkembang, masih berbasis pakan ikan rucah yang musiman, mutu tidak standar dan pembawa penyakit (pathogen carrier).

Keempat, masyarakat lebih memilih menangkap BL untuk diekspor (karena harganya jauh lebih tinggi) dibandingkan dijual di dalam negeri untuk budidaya.

Kelima, sebagai pesaing Indonesia, Vietnam mampu mengembangkan budidaya lobster yang berdaya saing tinggi, meskipun dengan harga benih lobster yang jauh lebih tinggi (dari Indonesia).

Berdasarkan PERMEN KP No. 1/2015 Jo. PERMEN KP NO. 56 TAHUN 2016 Tentang Larangan Penangkapan Dan/Atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), Dan Rajungan (Portunus spp.) Dari Wilayah Negara Republik Indonesia, antara lain:

Lobster, Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), dari wilayah Negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ketentuan: tidak dalam kondisi bertelur, ukuran panjang karapas diatas 8 cm atau berat diatas 200 gram per ekor, Setiap orang dilarang menangkap benih lobster untuk ekspor maupun budidaya.

Kepiting, penangkapan dan/atau Pengeluaran Kepiting (Scylla spp.), dari wilayah Negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ketentuan: ukuran lebar karapas diatas 15 cm atau berat diatas 200 gram per ekor.

Rajungan, Penangkapan dan/atau Pengeluaran Rajungan (Portunus spp.), dari wilayah Negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dalam kondisi tidak bertelur dan ukuran lebar karapas diatas 10 cm atau berat diatas 60 gram per ekor.

Mengapa Kebijakan Stop Total Ekspor Benih Bening Lobster Gagal? 

Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, sejak 2015 – sekarang, harga jual BBL ekspor jauh lebih mahal (5 - 10 kali lipat) dari pada harga jual kepada pembudidaya di dalam negeri, maka kebijakan larangan penangkapan BBL baik untuk ekspor maupun budidaya (Permen KP No. 56/2016) telah mengakibatkan marak dan masifnya ekspor BBL illegal, yang merugikan negara trilyunan rupiah per tahun. 

Harga jual BBL untuk ekspor ke Vietnam jauh lebih tinggi ketimbang harga jual kepada pembudidaya BBL di dalam negeri, karena kapasitas pembudidaya Vietnam lebih baik, dengan Survival Rate 70% (dari BBL sampai lobster ukuran konsumsi, sekitar 300 gram/ekor). Dari pada pembudidaya Indonesia,  dengan Survival Rate < 30%.

“Oleh sebab itu, kebijakan stop ekspor BBL hanya akan berhasil, bila kita (KKP, Ditjen. Bea dan Cukai, POLRI, TNI, dan aparat penegak hukum lainnya) solid, kerja cerdas, keras dan ikhlas untuk tidak memberi celah sedikitpun bagi para penyelundup ekspor BBL,” ujar Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.

Selain itu pemerintah harus secepat mungkin (paling lambat 3 tahun) meningkatkan kapasitas (survival rate) pembudidaya lobster Indonesia, sehingga sama dengan kapasitas pembudidaya lobster di Vietnam. Harga jual BBL dalam negeri sama dengan harga ekspor.

Kemudian pengelolaan Sumber Daya Lobster berkelanjutan, yaitu: Pertama, Menjaga agar ekosistem perairan laut yang menjadi habitat (tempat) seluruh siklus hidupnya tetap sehat, tehidar dari pencemaran, dan jenis-jenis perusakan lingkungan lainnya; Kedua, Restocking.

Ketiga, Penangkapan BBL dan lobster ukuran konsumsi secara bertanggung jawab dan berkelanjutan (sustainable); Keempat, Pengembangan budidaya lobster secara berkelanjutan; Kelima, Ekspor BBL secara ketat, terkendali dan terbatas; Keenam, Pengembangan ekosistem ISCMS (Integrated Supply Chain Management System).

Perbandingan Opsi Pengelolaan Benih Lobster

1. Dipelihara Alam. Setiap 1.000.000 ekor BL, SR 0.1% = 1.000 ekor. Nelayan  menangkap 50%nya = 500 ekor uk. 500g = 250kg x 50$/kg = $$12.500, bermanfaat  untuk 2 nelayan (125kg per nelayan).

2. Restocking saja. Setiap 1.000.000 ekor BL, SR 1% = 10.000 ekor. Nelayan  menangkap 50%nya = 5.000 ekor uk. 500g = 2.500kg x $50/kg = $125.000,  bermanfaat untuk 25 nelayan (100kg per nelayan).

3. Aquaculture saja. Membudidaya 1.000.000 BL, SR 50% = 500.000 ekor uk. 300g =  150,000kg x $50/kg = $7.500.000, bermanfaat utk 1.000 KK pembudidaya (150 kg  per pembudidaya)

4. Kombinasi R&A. Sama dgn No.2 tapi kembalikan ke alam 10,000 ekor (1%) setelah  berukuran 50 g/ekor seperti No. 1. Bermanfaat pada 25 nelayan dan 1.000 KK  pembudidaya. Manfaat economi $125.000 (perikanan tangkap) PLUS 490,000 ekor  (500,000 ekor dari budidaya dikurangi 10,000ekor utk restocking) = $7,350,000.

Budidaya lobster masih menghadapi tantangan antara lain: 1. Kesulitan mendapatkan BBL akibat ekspor ilegal BBL, dan lemahnya sistem logistic, 2. Terbatasnya ketersediaan pakan untuk budidaya lobster (kekerangan dan ikan rucah segar).  Indonesia belum memiliki sentra penghasil kekerangan, dan ketersediaan ikan rucah pun bersifat musiman, 3. Wabah penyakit.

4. Keterbatasan SARPRAS budidaya lobster, 5. Kapasitas teknologi budidaya dan kualitas SDM masih relatif rendah, 6. Kebijakan pemerintah yang belum kondusif, dan sering berubah.

Penyakit Pada Lobster Budidaya

Penyakit yang biasa muncul  pada lobster budidaya: Red-body disease (a); MILKY DISEASE (b); Black gill disease (c); Big head syndrome (d); Separate head syndrome (e). Semua penyakit dan isu kesehatan berhubungan erat  dengan nutrisi dan praktek pemeliharaan.

Teknologi dan Manajemen Usaha Budidaya Lobster Berkelanjutan, antara lain:  1. Memilih lokasi budidaya yang secara biofisik (ekologis) sesuai (suitable) dengan persyaratan hidup lobster dan peluang keberhasilannya tinggi: kualitas airnya very good - excellent (baik - sangat baik) atau sesuai dengan RZWP3K dan RTRW.

2. Menerapkan Best Aquaculture Practices (Cara-cara Budidaya Terbaik), 3. Menggunakan teknologi mutakhir, seperti teknologi Industry 4.0 (IoT, AI, Blockchain, dan otomatisasi) dan genetic engineering, 4. Menggunakan infrastruktur budidaya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, kolam budidaya terkontrol, dan sistem filtrasi yang baik untuk menjaga kualitas air.

5. Intensitas (laju) budidaya tidak melampaui Daya Dukung Lingkungan, 6. Mempromosikan produk budidaya lobster berkelanjutan yang mengikuti praktik-praktik yang ramah lingkungan kepada konsumen.

7. Melakukan R&D (Penelitian dan Pengembangan) untuk pengembangan bibit dan benih unggul (hatchery), pakan berkualitas (alami maupun pellet), pengendalian hama & penyakit, dan aquaculture engineering (material, desain, dan tata letak KJA, dll).

8. Melibatkan komunitas lokal dalam budidaya lobster, memberikan pelatihan, dan membagikan manfaat ekonomi untuk mendukung keberlanjutan ekonomi lokal.

9. Bekerjasama dengan pemerintah dalam pembuatan regulasi yang mendukung pengelolaan budidaya lobster berkelanjutan, 10. Melakukan MONEV rutin terhadap keberlanjutan budidaya lobster berdasarkan kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Penangkapan Lobster Berkelanjutan

1. Menetapkan musim penangkapan, musim larangan penangkapan (closed season), dan kawasan lindung (protected areas) untuk lobster ukuran konsumsi (> 150 gram/ekor) maupun BBL berdasarkan penelitian ilmiah untuk memastikan bahwa lobster dapat berkembang biak dan populasinya dapat dipertahankan secara berkelanjutan.

2. Menetapkan kuota penangkapan tahunan untuk lobster ukuran konsumsi (LUK) maupun BBL, yakni sebesar 50% - 80% MSY ( Maximum Sustainable Yield) stok lobster.

3. Penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan untuk menangkap LUK maupun BBL.

4. Melarang penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan (destructive fishing gears), baik untuk menangkap LUK maupun BBL.

5. Menetapkan ukuran minimum LUK yang boleh ditangkap, yakni lobster yang sudah memijahkan (mengeluarkan) telurnya.

6. Menerapkan skala ekonomi usaha (economy of scale), ISCMS (Integrated Supply Chain Management System), dan teknologi penangkapan lobster mutakhir yang efisien dan ramah lingkungan.  Dalam hal ini, tugas utama nelayan adalah melakukan penangkapan ikan secara produktif, efisien, dan ramah lingkungan. Sementara, urusan industri hulunya yakni penyediaan sarana produksi (alat tangkap, rumpon, BBM, dan perbekalan melaut); dan industri pasca panen (industri hilir) dan pemasaran adalah tanggung jawab pemerintah berkolaborasi dengan swasta dan/atau BUMN.

7. Melindungi ekosistem terumbu karang, padang lamun (seagrass bed), dan ekosistem pesisir – laut lainnya yang menjadi habitat, daerah pemijahan (spawning grounds), dan daerah asuhan (nursery grounds) lobster dari pencemaran (pollution), perusakan secara fisik, dampak negatip akibat Perubahan Iklim Global, dan perusakan lingkungan lainnya.

8. Pemanfaatan dan pengolahan limbah (kepala dan cangkang) lobster menjadi produk yang bermanfaat, seperti Chitin dan Chitosan, sehingga tanpa limbah (zero-waste industry) sesuai dengan prinsip-prinsip Blue Economy.

9. Melakukan MCS (Monitoring, Controlling, and Surveillance) dengan teknologi mutakhir seperti GPS, RFID (Radio-Frequency Identification), dan drone;  dan penegakkan hukum (law enforcement) yang adil dan berwibawa untuk memastikan bahwa semua regulasi, peraturan dan perundangan terkait dengan pengeloaan penangkapan lobster berkelanjutan dipatuhi oleh setiap nelayan dan stakeholders lainnya.

10. Melibatkan nelayan dan komunitas lokal dalam pengelolaan sumber daya lobster, dan memastikan bahwa mereka mendapatkan manfaat dari penangkapan yang berkelanjutan.

11. Memberikan DIKLATLUH (Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan) secara reguler dan berkesinambungan kepada nelayan tentang praktek (teknik) penangkapan lobster yang berkelanjutan, penanganan lobster hasil tangkapannya yang terbaik (Best Handling Practices), dan pemeliharaan ekosistem alam (konservasi).

12. Melakukan evaluasi dan pembaruan teratur terhadap strategi penangkapan berkelanjutan berdasarkan data dan penelitian terbaru.

Regulasi BBL secara Ketat, Terkendali, dan Terbatas

1. Pemegang kuota ekspor BBL harus membuktikan telah atau akan melakukan usaha budidaya (pembesaran) lobster di wilayah perairan NKRI.

2. Stop penangkapan lobster muda (jangkrik, untuk sekitar 20 – 50 gram per ekor) untuk dibudidayakan (pembesaran).  Budidaya lobster harus dari BBL.

3. Penerapan harga dasar dan harga maksimum BBL di tingkat nelayan, dan para eskportir BBL dan pembudidaya lobster harus beli langsung BBL dari nelayan.  Kalaupun perlu Pedagang Perantara (Pengepul), profit margin nya maksimum 25%.

4. Pemegang kuota ekspor harus menjual minimal 10% total BBL ekspor kepada pembudidaya di NKRI dengan harga sesuai kemampuan pembudidaya NKRI (DMO = Domestic Market Obligation).

5. Jasa transportasi dan cargo jangan dimonopoli, biaya harus sesuai harga pasar (Rp 200/ekor BBL, bukan seperti kemarin Rp 1.800/ekor BBL).

6. Pintu ekspor jangan hanya Bandara Soetta, tetapi bandara lain yang dekat dengan sentra produksi BBL.

7. Bangun kerjasama Pemerintah RI dengan Vietnam tentang trading BBL, investasi budidaya investor Vietnam di NKRI, dan transfer teknologi.

8. Penggunaan Big Data dan precision logistics untuk ISCMS lobster.

9. Perlu perbaikan Juknis yang sudah dikeluarkan oleh Dirjen. Perikanan Tangkap, Dirjen. Perikanan Budidaya, Dirjen. PRL, dan Kepala BKIPM.

 

Komentar