Minggu, 28 April 2024 | 01:21
COMMUNITY

Etika Nyapres Perlu Diatur Secara Tegas dalam Sebuah Norma

Etika Nyapres Perlu Diatur Secara Tegas dalam Sebuah Norma
Tim kuasa hukum, Donny Tri Istikomah mengajukan gugatan ke MK (Dok Askara)

ASKARA - Aturan mengenai batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden serta keikutsertaan kandidat di Pilpres digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (21/8).

Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk segera memutuskan bahwa batas usia calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) adalah 21 - 65 tahun, dan seseorang hanya boleh mencalonkan diri maksimal sebanyak 2 kali.

Pihak pemohon ialah Gulfino Guevarrato berusia 33 tahun. Gulfino mengajukan permohonan itu melalui sejumlah kuasa hukumnya, yaitu Donny Try Istikomah, M. Aksonul Huda, Magdalena Anastasia Pontoh, Handrey Mantiri, Irwan Gustaf Lalegit, dan Kenny Yulandy Bawole.

Pemohon ingin menguji Pasal 169 huruf n dan huruf q Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) terhadap Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28J ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tim kuasa hukum, Donny Tri Istikomah mengatakan pihaknya sudah mengajukan gugatan ke MK pada siang ini.

Donny mengatakan pihaknya ingin ada kepastian soal batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Kemudian, pihaknya juga ingin MK memberikan kepastian berapa kali warga negara itu bisa maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.

"Bahwa jika dikaitkan dengan batasan usia terendah jabatan di lembaga-lembaga tinggi negara lainnya seharusnya batas usia produktif yang dianggap cakap untuk calon presiden dan wakil presiden adalah 21 tahun, sebagaimana yang menjadi batasan terendah calon anggota DPD atau calon anggota DPR," kata Donny.

Untuk batas maksimal capres dan cawapres, menurut Donny, bisa menggunakan usia 65 tahun, sebagaimana yang menjadi batasan tertinggi calon hakim konstitusi.

Donny sebagai praktisi tata negara ini merasa gelisah sehingga penting bagi pihaknya untuk membuat uji materi tandingan. Tujuannya untuk meluruskan agar pembatasan usia calon presiden tidak liar tetapi tertib berdasarkan hukum sesuai dengan Pasal 28 J ayat 2 UUD dan tentunya pembatasan yang tidak diskriminatif.

Menurut Donny, pihaknya tidak bermaksud untuk mengimbangi uji materi yang diajukan sejumlah elemen ke MK, melainkan ingin meluruskan simpang-siur konstitusi melalui kajian hukum.

Terlepas dari batas usia calon presiden dan calon wakil presiden, Donny mengatakan pihaknya juga ingin MK memberikan kepastian mengenai batasan warga negara bisa mengikuti kontestasi di Pilpres.

Menurut Donny, tidak adanya batasan warga negara mengikuti Pilpres tentu akan melanggar hak asasi manusia (HAM) warga negara lainnya. Donny mengatakan pihaknya merasa dirugikan secara konstitusional akibat Pasal 169 huruf n UU Pemilu yang tidak mengatur hal tersebut.

"Bahwa Pasal 169 huruf n UU Pemilu terkait syarat calon presiden dan wakil presiden menyatakan belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama," kata dia.

"Bahwa pembatasan dalam Pasal 169 huruf n UU Pemilu belum memberikan pembatasan yang dapat melindungi hak konstitusional pemohon secara utuh, khususnya hak untuk memperoleh penghormatan hak asasi manusia dari orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai bagian dari hak kolektif warga negara yang diatur pada Pasal 22J ayat (1) UUD NRI 1945."

"Sebab yang dibatasi hanya tentang jumlah berapa kali seorang warga negara dapat menjabat sebagai presiden dan wakil presiden, belum ikut membatasi tentang berapa kali seorang warga negara dapat mencalonkan dirinya sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden," kata Donny.

Donny menilai perlunya pembatasan pencalonan presiden dan wakil presiden dalam rangka melindungi hak konstitusional warga negara. Setiap calon presiden dan wakil presiden menggunakan etika politik dan sifat kenegarawanan dalam pencalonannya, di mana apabila yang bersangkutan telah mencalonkan dirinya sebagai calon presiden atau wakil presiden sebanyak dua kali dan apabila tetap tidak terpilih, seharusnya yang bersangkutan secara etik tidak mencalonkan dirinya lagi pada Pemilu berikutnya.

"Hal ini untuk memberikan kesempatan kepada pemohon dan warga negara lainnya yang belum pernah mencalonkan diri," kata Donny.

Dia menilai hal ini pernah terjadi dalam praktik. Etika politik, dan sifat kenegarawanan pada pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tersebut pernah ditunjukkan oleh Hillary Clinton pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat.

Di mana awalnya Clinton kalah melawan Barack Obama dalam konvensi Partai Demokrat 2007. Lalu pada Pemilihan Presiden 2016, Clinton kembali kalah melawan Donald Trump.

Menghadapi dua kali kekalahan tersebut, Hillary Clinton tidak mencalonkan dirinya pada Pilpres berikutnya dan memberikan tersebut kepada Joe Biden. Contoh praktik etika politik sifat kenegarawanan demikian juga pernah terjadi di Indonesia.

Hal itu ditunjukkan Megawati Soekarnoputri setelah mengikuti dua kali Pilpres pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Megawati lalu memutuskan untuk tidak lagi mencalonkan dirinya pada Pemilu berikutnya. "Suatu keputusan dan sifat kenegarawanan yang patut dipuji dan dibanggakan," kata dia.

Namun karena etika politik dan sifat kenegarawanan dalam pencalonan presiden dan wakil presiden saat ini belum diatur secara tegas ke dalam sebuah norma, maka calon dapat secara bebas menggunakan haknya berkali-kali di Pilpres.

Pihaknya menuntut Pasal 169 huruf n UU Pemilu harus membatasi pencalonan presiden dan wakil presiden paling banyak dua kali. Apabila tidak, Donny menyatakan kliennya sebagai pemohon mengalami kerugian konstitusional.

"Di mana pemohon akan sulit menggunakan haknya untuk mencalonkan diri sebagai calon Presiden karena warga negara lainnya masih bisa menggunakan haknya untuk mencalonkan diri," kata Donny.

Komentar