Akankah KKN di Thailand dan Indonesia terjadi People Power?*

Oleh: Agusto Sulistio, Pegiat Sosmed, Pendiri The Activist Cyber
ASKARA - Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan permasalahan yang serius dan dapat memicu reaksi masyarakat secara luas dan besar.
Sejarah telah menunjukkan di Bangkok, Thailand tahun 2006 dan 2014 terjadi aksi protes massa terkait isu KKN.
Seiring dengan semakin terbukanya akses informasi dan meningkatnya kesadaran masyarakat, di Indonesia pun terjadi protes massa besar dengan munculnya aksi 411, 212, tolak RUU UU Omnibuslaw dll yang berawal dari isu2 KKN. Ini meruoakan bukti bahwa masyarakat Indonesia memiliki kesadaran yang semakin tinggi terhadap isu-isu politik dan korupsi.
Ada beberapa faktor yang membedakan antara Thailand dan Indonesia dalam perspektif KKN, yakni sistem politik dan budayanya.
Indonesia memiliki sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis, budaya yang lebih spontan dan eksplisit. Sedangkan Thailand memiliki budaya yang lebih menghargai kesopanan dan keteraturan, sehingga menyebabkan respon terhadap isu KKN agak tersendat.
Mengutip dari berbagai sumber terpercaya di Google, bahwa data terkait isu KKN dikedua negara (terlampir) merupakan hasil yang dapat diambil kesimpulan sementara, antara lain:
Pertama, data Indeks Persepsi Korupsi "Coruption index Perseption" (CPI) dari Transparency International. CPI merupakan salah satu indeks yang digunakan untuk membandingkan tingkat korupsi di berbagai negara. Menurut data CPI tahun 2021, Indonesia berada di peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei. Sementara Thailand berada di peringkat ke-104.
Sayangnya data yang di miliki CPI tidak mencakup semua aspek KKN, melainkan hanya persepsi korupsi di sektor publik.
Kedua, data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia, sejak 2004 - 2021 telah menangani 4.908 kasus korupsi, 719 orang yang telah divonis oleh pengadilan.
Ketiga, data Komisi Anti-Korupsi Thailand (NACC), terdapat 26.927 kasus korupsi yang dilaporkan dari tahun 2014 hingga 2021, 4.769 orang telah diadili.
Aksi protes di Thailand
Protes besar di Thailand yang terjadi pada tahun 2020-2021 tidak hanya berkaitan dengan isu korupsi Thaksin Shinawatra, tetapi juga berbagai masalah lainnya seperti sistem politik, demokrasi, hak asasi manusia, dan ekonomi.
Thaksin Shinawatra dan kelompok politiknya memang memiliki peran penting dalam konteks politik Thailand dan menjadi salah satu isu yang diprotes oleh sebagian besar peserta aksi.
Kekuasaan Thaksin tak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai seorang politikus dan pengusaha Thailand yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dari tahun 2001 hingga 2006.
Akan tetapi selama pemerintahannya, ia dituduh melakukan praktik korupsi dan nepotisme yang merugikan negara dan membuatnya mendapatkan keuntungan pribadi.
Puncak protes atas isu korupsi Thaksin terjadi pada tahun 2006, ia digulingkan dalam kudeta militer dan melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari penuntutan hukum.
Meskipun Thaksin telah berada di pengasingan selama beberapa tahun, ia tetap menjadi tokoh penting dalam politik Thailand. Kelompok politiknya, yaitu Partai Pheu Thai, masih memiliki pengaruh dan dukungan yang kuat dari masyarakat Thailand, terutama di daerah-daerah pedesaan. Beberapa pihak menyatakan bahwa Thaksin dan kelompok politiknya masih terlibat dalam praktek korupsi dan penggunaan kekuasaan yang tidak sah.
Pemerintahan Jokowi, KKN dan penegakan hukum
Meski tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki rekam jejak kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) seperti Thaksin Shinawatra di Thailand.
Namun praktik korupsi di Indonesia masih menjadi masalah serius. Beberapa kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah atau pengusaha terus terjadi di Indonesia. Sehingga ada tanggapan skeptis bahwa dibalik kesuksesan pembangunan pembangunan Jokowi menyisakan isu KKN yang kian lebar dan menjadi sorotan media dan masyarakat.
Meski secara latar belakang, jauh Jokowi sebelum menjadi presiden dirinya sebagai seorang pengusaha sukses dan kemudian menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta sebelum akhirnya terpilih sebagai Presiden pada tahun 2014, tak memiliki rekam jejak korupsi, Jokowi memiliki beberapa catatan dugaan KKN.
Munculnya Gibran Rakabuming Raka, anak dari Presiden Joko Widodo, sebagai Walikota Solo dan Bobby Nasution, menantu Jokowi, sebagai Walikota Medan telah menuai kontroversi di kalangan masyarakat.
Meski dalam konteks pemilu Gibran maupun Bobby telah memenangkan Pilkada secara demokratis, terbuka dan adil, dengan memperoleh dukungan dari partai politik dan masyarakat. Namun hal ini tak otomatis dapat melihat hal ini sebagai bentuk nepotisme atau politik dinasti, yang memanfaatkan posisi dan pengaruh yang dimiliki oleh keluarga terkait untuk memperoleh keuntungan politik.
Kekhawatiran terhadap nepotisme dan politik dinasti tetap ada dan membutuhkan komitmen yang serius dari penyelenggara pemerintahan untuk menghilangkan praktek politik dinasti.
Disektor lain soal penegakkan hukum pun menjadi salah satu faktor yang turut menyumbang persoalan munculnya kemarahan massa. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan atau koruptor. Masalah ini kerap terjadi, di mana pelaku kejahatan atau koruptor dapat dengan mudah lolos dari hukuman atau mendapatkan hukuman yang ringan.
2. Keterbatasan akses masyarakat terhadap informasi dan penegakan hukum. Masih terdapat banyak masyarakat Indonesia yang tidak memiliki akses atau keterbatasan akses terhadap informasi tentang hukum dan penegakan hukum. Selain itu, penegakan hukum di Indonesia juga masih terkendala oleh banyaknya birokrasi dan prosedur yang rumit, sehingga masyarakat merasa sulit untuk memperoleh keadilan.
3. Keterbatasan kapasitas dan keterampilan penegak hukum. Meskipun Indonesia memiliki banyak penegak hukum yang berkualitas, namun masih terdapat masalah dalam keterampilan dan kapasitas mereka untuk menangani kasus yang kompleks atau besar.
Akibatnya dapat kita lihat pada penyelesaian hukum kasus pembunuhan Brigadir J yang dilakukan oleh Jenderal Bintang Dua Polisi, Ferdy Sambo.
Kasus Sambo yang terungkap di media beberapa waktu lalu menunjukkan betapa lemahnya penegakan hukum di Indonesia dan membuat banyak rakyat kehilangan kepercayaan terhadap aparat penegak hukum.
Kasus tersebutmerupakan salah satu contoh nyata dari praktek KKN yang terjadi di Indonesia. Hal ini membuat masyarakat merasa bahwa aparat penegak hukum tidak bisa dipercaya dan dapat dimanipulasi oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Kemudian banyaknya kasus-kasus korupsi dan kejahatan lain yang tidak ditindaklanjuti atau tidak transparan dalam penanganannya.
Meskipun kasus-kasus kejahatan dan korupsi seringkali terbongkar di media, namun masih banyak pelaku kejahatan yang dapat dengan mudah lolos dari hukuman atau mendapatkan hukuman yang ringan. Hal ini membuat masyarakat merasa bahwa hukuman tidak memadai dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan.
Untuk memperbaiki masalah ini, aparat penegak hukum perlu melakukan perbaikan sistem dan menjalankan tugasnya secara profesional dan transparan. Perbaikan tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan keterbukaan dan akuntabilitas aparat penegak hukum, menghilangkan praktek KKN, serta memberikan sanksi yang tegas dan efektif bagi pelaku kejahatan. Dengan demikian, diharapkan dapat membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum di Indonesia.
Termasuk meninjau ulang posisi Polri yang berada dibawah kekuasaan presiden adalah merupakan bagian terpenting dan strategis guna mengembalikan citra dan fungsi polri menjaga stabilitas keamanan masyarakat.
Komentar