Tolak Pengesahan RKUHP Bermasalah, Masyarakat Gelar Aksi Tabur Bunga di Depan Kompleks Parlemen
ASKARA – Masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menggelar aksi simbolik tabur bunga dan membakar kitab Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHP) di depan gedung DPR sebagai tanda atas kematian demokrasi di Indonesia.
Aksi ini dilakukan setelah pemerintah dan DPR RI berencana mengesahkan RKUHP dalam rapat paripurna yang rencananya diselenggarakan pada Selasa (6/12) meski aturan ini ditolak oleh masyarakat.
Menurut Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur, RKUHP merupakan produk hukum negara yang lagi-lagi dibentuk oleh pemerintah dan DPR RI dengan tidak partisipatif dan tidak transparan.
"Bahkan draf terbaru dari rancangan aturan ini baru dipublikasi pada tanggal 30 November 2022 dan masih memuat sederet pasal bermasalah yang selama ini ditentang oleh publik karena akan membawa masyarakat Indonesia masuk ke masa penjajahan oleh pemerintah sendiri," kata Isnur saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/12).
Berdasarkan pemantauan sementara Aliansi Nasional Reformasi KUHP, lanjut Isnur, pasal-pasal yang terkandung dalam draf akhir RKUHP masih memuat pasal-pasal anti demokrasi, melanggengkan korupsi di Indonesia, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, mengatur ruang privat seluruh masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan masyarakat adat, dan memiskinkan rakyat.
"Aturan ini lagi-lagi menjadi aturan yang tajam ke bawah, tumpul ke atas karena mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melanggar hak masyarakat dan pekerja," jelas Isnur.
Isnur sendiri menguraikan alasan penolakan pengesahan draf akhir RKUHP bermasalah
Yang pertama, kata Isnur, terdapat pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat.
"Aturan ini merampas kedaulatan masyarakat adat, frasa “hukum yang hidup di masyarakat” berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu," ujar Isnur.
Selain itu, tutur Isnur, keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim. Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri.
"Selain mengancam masyarakat adat, aturan ini juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya. Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia masih ada ratusan Perda diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya," ingat Isnur.
Kedua, sebut Isnur, pasal terkait pidana mati.
Isnur menyebut, banyak negara di dunia telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara.
Selain itu, ungkap Isnur, banyak kasus telah terjadi dalam pidana mati yakni kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui ketika korban telah dieksekusi.
"Keberadaan pasal terkait pidana mati di RKUHP juga mendapat sorotan Internasional. Dalam Universal Periodic Review (UPR) setidaknya terdapat 69 rekomendasi dari 44 negara baik secara langsung maupun tidak langsung menentang rencana pemerintah Indonesia untuk mengesahkan RKUHP, salah satunya rekomendasi soal moratorium atau penghapusan hukuman mati," ulas Isnur.
Ketiga, beber Isnur, menambahan pemidanaan larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum.
"Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru," tegas Isnur.
Keempat, tukas Isnur, penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.
"Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet dan menjadi pasal anti demokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata “penghinaan”. Pasal ini bisa membungkam berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara," jelas Isnur.
Kelima, terang Isnur, mengenai contempt of court.
"Tidak ada penjelasan yang terang mengenai frasa “penegak hukum” sehingga pasal ini berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa," tukas Isnur.
Sebagaimana diketahui, sambung Isnur, terjadi banyak kasus di persidangan yang menunjukkan bahwa hakim berpihak kepada penguasa.
"Selain itu, pasal ini juga mengekang kebebasan pers karena larangan mempublikasi proses persidangan secara langsung," terang Isnur.
Keenam, ucap Isnur, kohabitasi atau hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan.
"Tidak ada penjelasan terkait “hidup bersama sebagai suami istri”. Pasal ini berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat," sesal Isnur.
Ketujuh, ujar Isnur, penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE.
"Seharusnya yang dilakukan adalah mencabut seluruh ketentuan pidana dalam UU ITE yang duplikasi dalam RKUHP, tidak hanya pada Pasal 27 ayat(1), 27 ayat (2), dan 28 ayat (2) UU ITE seperti (a) Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU ITE; (b) Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE; (c) Pasal 29 UU ITE," imbau Isnur.
"Selain itu, frasa “melakukan melalui sarana teknologi” sebagai pemberat menjadikan hal ini berbahaya karena misalnya, seseorang yang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana dengan adanya frasa ini," ingat Isnur.
Kedelapan, cetus Isnur, larangan unjuk rasa.
"Pasal ini seharusnya memuat definisi yang lebih ketat terkait 'kepentingan umum', karena frasa ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mempidana masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya," ingat Isnur.
"Selain itu, frasa 'pemberitahuan' seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang dan tidak ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah," tambah Isnur.
Kesembilan, Isnur mengingatkan adanya upaya memutihkan dosa negara dengan penghapusan unsur retroaktif pada pelanggaran HAM berat.
"Dalam naskah terakhir dari RKUHP, negara menerapkan asas non-retroaktif, artinya kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru ini," ingat Isnur.
Dengan diaturnya pelanggaran HAM berat di RKUHP, yakin Isnur, hal ini menandakan segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya RKUHP tidak dapat diadili.
"Selain itu, masa daluarsa yang diatur di RKUHP juga terlalu singkat, padahal pelanggaran HAM berat mustahil untuk diselesaikan dalam waktu yang sebentar, apalagi para pelakunyamerupakan orang yang memiliki kuasa dan sumberdaya lebih untuk menghambat proses hukum," urai Isnur.
Kesepuluh, tukas Isnur, mempidana korban kekerasan seksual.
"Adanya pasal yang mengatur kohabitasi berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual," sebut Isnur.
Kesebelas, tutur Isnur, meringankan ancaman bagi koruptor.
"Dalam draf RKUHP terakhir, ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor yang dimana tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang berdampak luas bagi masyarakat," beber Isnur.
Kedua belas, papar Isnur, Korporasi sebagai entitas sulit dijerat.
"Draft RKUHP terakhir telah menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi," ucap Isnur.
Namun, tambah Isnur, pertanggungjawaban korporasi masih dibebankan kepada pengurus.
Isnur berpendapat, kecil kemungkinan korporasi dapat bertanggungjawab sebagai entitas.
"Pengaturan seperti ini justru rentan mengkriminalisasi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi dan pengurus dapat dikenakan atau diganti hukuman badan," cetus Isnur.
"Pengaturan ini juga rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi," pungkas Muhammad Isnur.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP sendiri merupakan organisasi yang menolak pengesahan RKUHP bermasalah. Aliansi ini sendiri terdiri atas 151 anggota organisasi lembaga hukum, lembaga anti korupsi, serikat pekerja, lembaga pers, dan lain sebagainya.
Seratus lima puluh satu anggota dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP, antara lain: YLBHI, KontraS, AJI, Walhi, Amnesty Internasional Indonesia, Transparency International Indonesia, KPBI, dan lain-lain.
Komentar