Jumat, 18 April 2025 | 22:53
NEWS

Prof. Rokhmin Dahuri: Jangan Sepelekan Sumber Daya Kelautan Indonesia

Prof. Rokhmin Dahuri: Jangan Sepelekan Sumber Daya Kelautan Indonesia
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS (ist)

ASKARA - Sumber daya laut Indonesia masih dianggap enteng. Kontribusi semua sektor yang terkait dengan ekonomi maritim terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hanya 22%. Jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara yang wilayah maritimnya lebih kecil dari Indonesia, seperti Thailand, Jepang, Korea Selatan, China, Islandia, dan Norwegia, yang kontribusi ekonomi maritimnya berkisar antara 30%-60% dari PDB masing-masing.

“Padahal, sebelum era kolonial, Indonesia telah menjadi negara maritim yang disegani dunia. Kejayaan kerajaan Tarumanagara, Sriwijaya, dan Majapahit adalah bukti bahwa nenek moyang kita telah menaklukkan lautan. Dominasi Majapahit dan Sriwijaya diikuti oleh Kerajaan Islam yang tersebar di sebagian besar Nusantara sejak abad ke-13 Masehi,” ujar Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University,  Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, baru-baru ini.

Meski berakar sebagai bangsa pelaut, terangnya, kebijakan pembangunan selama ini bersifat sentris daratan yang berlanjut dari Orde Lama, Orde Baru, dan awal Era Reformasi (1998). Baru pada bulan September 1999, di bawah Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, Presiden KH Abdurrahman Wahid membentuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Dewan Maritim Indonesia (DMI) sebagai salah satu wujud dari munculnya kesadaran bahwa konsep ekonomi biru sedang penting bagi kemajuan, kemakmuran, dan kedaulatan bangsa.

Namun, sampai saat ini kontribusi sektor terkait maritim terhadap pertumbuhan ekonomi nasional (seperti PDB, ekspor, dan penyediaan tenaga kerja) jauh lebih kecil dari potensinya, dan jauh lebih rendah daripada yang dicapai oleh negara lain dengan sumber daya laut yang lebih rendah. “Daya saing produk dan jasa maritim Indonesia secara umum masih kalah dibandingkan produk dan jasa sejenis dari negara lain,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan sektor maritim hanya dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat Indonesia dan asing yang terlibat dalam berbagai kegiatan ekonomi kelautan modern. Sementara itu, sebagian besar penduduk, terutama nelayan, pedagang ikan tradisional, penumpang dan awak kapal niaga, serta pengusaha pelayaran tradisional masih bergelimang kemiskinan.

Selain itu, pencemaran air, degradasi fisik ekosistem pesisir (seperti mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan muara), abrasi, erosi keanekaragaman hayati, perusakan spesies, dan kerusakan lingkungan lainnya yang meluas dan masif. Padahal, di wilayah pesisir yang berpenduduk padat dan/atau berintensitas tinggi dalam pembangunan (seperti Jakarta dan kota-kota di pesisir utara lainnya), kecepatan kerusakan lingkungan telah mendekati atau bahkan melampaui daya dukung lingkungan dan kelestariannya. wilayah pesisir untuk menopang kegiatan pembangunan di masa depan.

“Kami berharap perkembangan ekonomi biru di Indonesia bisa seperti di Singapura, Langkawi, General Santos City di Filipina yang dikenal dunia sebagai 'Tuna City', Xiamen, Sidney Harbour City, Abu Dhabi, dan pulau-pulau wisata di Maladewa dimana pertumbuhan ekonomi relatif tinggi, masyarakat lokal sejahtera, kaya dengan kehidupan yang damai, namun lingkungan bersih, asri dan lestari,” ujarnya.

Potensi besar

Potensi ekonomi sumber daya kelautan Indonesia diperkirakan mampu menghasilkan nilai US$ 1,2 triliun per tahun. Sementara itu, lowongan pekerjaan yang disediakan dari sektor ini bisa mencapai sekitar 40 juta orang. Oleh karena itu, jika kita mampu mendayagunakan potensi ekonomi maritim secara produktif, efisien, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan, maka masalah pengangguran dan kemiskinan akan teratasi dengan sendirinya.

“Kami tidak perlu mengirim tenaga kerja ke luar negeri,” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia, dengan 13.466 pulau di laut seluas 5,8 juta km2, termasuk ZEEI dan dikelilingi oleh garis pantai sepanjang 95.181 km, terpanjang kedua di dunia setelah Kanada; Indonesia memiliki kekayaan dan keanekaragaman laut yang sangat besar, baik berupa sumber daya alam yang terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, lamun, dan produk bioteknologi); sumber daya alam yang tidak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi laut; dan jasa lingkungan laut seperti wisata bahari dan transportasi laut.

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, potensi perikanan yang melimpah di Indonesia ini masih minim dimanfaatkan. Potensi sumber daya laut di Indonesia masih 20% dimanfaatkan dalam perikanan tangkap. Hal ini menyebabkan terjadinya illegal fishing oleh kapal asing.

Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru akan mengurangi dominasi Jawa (60%) dan Sumatera (20%). Fakta menunjukkan bahwa di luar Jawa dengan potensi sumber daya alam yang relatif tinggi tidak dikelola secara optimal. Kontribusi di Sulawesi dan Kalimantan masing-masing hanya 6% dan 8% dari gros

Saatnya Fokus pada Ekonomi Kelautan

Sejak zaman penjajahan hingga sekarang, pembangunan Indonesia masih berorientasi pada daratan. Padahal, sebagian besar wilayah Indonesia adalah perairan, mencapai 75% dari total luas wilayah. Sudah saatnya Indonesia fokus pada pembangunan ekonomi kelautan untuk menciptakan bangsa yang besar.

Hingga saat ini, Indonesia masih merupakan negara berkembang dengan pendapatan per kapita US$5.400. Dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan yang sumber daya alamnya terbatas, mereka mampu menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita lebih dari US$30.000.

“Kami menempati peringkat keenam di ASEAN untuk HDI (Human Development Index),” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia  ini.

Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, sebenarnya Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjadi negara maju. Pertama, jumlah penduduk yang besar, yakni 250 juta orang dengan usia produktif lebih banyak daripada usia nonproduktif (bonus demografi). "Ini adalah pasar yang luar biasa besar," tambahnya. Apalagi jumlah kelas menengah terus bertambah.

Kedua, sumber daya alam yang melimpah, baik di darat maupun di laut. Ketiga, posisi geoekonomi yang sangat strategis, di jantung perdagangan global.

Sekitar 45% dari seluruh komoditas dan barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai US$1.500 triliun per tahun diangkut melalui perairan Indonesia.

Sayangnya, sejak 1987 hingga sekarang, devisa Indonesia terus terbuang rata-rata US$16 miliar per tahun untuk membayar jasa kapal asing yang mengangkut barang ekspor dan impor serta kapal asing yang beroperasi antar pulau di Indonesia.

Namun, pemerintah belum secara optimal memanfaatkan potensi perairan Indonesia. Selama 10 tahun terakhir, sebagian besar (sekitar 70%) pertumbuhan ekonomi Indonesia dihasilkan oleh sektor konsumsi, ekspor komoditas mentah (seperti batu bara, mineral, kelapa sawit, udang, tuna, dan rumput laut), jasa keuangan, dan sektor riil yang tidak dapat diperdagangkan, seperti hotel, apartemen, pusat perbelanjaan, hiburan, gedung, dan jasa transportasi. Sektor-sektor tersebut umumnya berada di daerah perkotaan, dan menyerap tenaga kerja lebih sedikit, sekitar 40.000 hingga 150.000 orang per 1% pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) ini menyarankan agar agenda pembangunan ekonomi adalah mengembangkan sektor-sektor (kegiatan ekonomi) yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan dalam jumlah besar dan memberikan pendapatan yang dapat meningkatkan taraf hidup baik masyarakat maupun usaha secara merata dan berkelanjutan sehingga setiap warga negara minimal dapat memenuhi enam kebutuhan pokok. kebutuhan yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Selain itu, sektor tersebut juga harus mampu menghasilkan devisa yang signifikan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 7% per tahun) secara berkesinambungan.

Prof. Rokhmin Dahuri menambahkan, pembangunan ekonomi tersebut dapat dipenuhi oleh ekonomi berbasis kelautan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan jasa lingkungan di wilayah pesisir dan laut. Kegiatan ekonomi tersebut dapat berlangsung di wilayah pesisir dan laut, atau mendapatkan sumber daya alam dan bahan baku dari pesisir dan lautan untuk kemudian diolah di wilayah dataran tinggi.

Menurut Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu, Indonesia setidaknya memiliki sebelas sektor ekonomi kelautan, yaitu: (1) perikanan, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan ikan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) kehutanan pesisir, (6) wisata bahari., (7) energi, (8) transportasi laut, (9) jasa industri dan maritim, dan (10) sumber daya alam dan jasa lingkungan seperti hidrat gas laut non-konvensional, bioenergi dari rumput laut, industri air laut dalam, energi kelautan ( gelombang, pasang surut dan OTEC atau Ocean Thermal Energy Conversion), dan benda berharga dari kapal kargo yang tenggelam (harta karun di dasar laut), dan (11) sumber daya pulau-pulau kecil.

 

Komentar