Jumat, 19 April 2024 | 20:11
OPINI

Nama Baru Ibu Kota Negara Pengkerdilan Sejarah dan Mimpi Besar Bangsa

Nama Baru Ibu Kota Negara Pengkerdilan Sejarah dan Mimpi Besar Bangsa
Desain Istana Presiden di Ibu Kota Baru (Dok Instagram)

Nama ibu kota negara yang baru dan terletak di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur telah resmi diputuskan. Melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, Presiden Jokowi menetapkan nama “Nusantara” sebagai nama baru ibu kota yang rencananya akan mulai difungsikan pada Semester 1 tahun 2024.

Bukan hanya itu, aturan perundang-undangan yang akan melatari segala hal berkenaan dengan ibu kota baru telah ditetapkan sebagai Undang-undang oleh DPR melalui rapat paripurna yang digelar pada Selasa, 18 Februari 2022. Dengan demikian, polemik dan lalu lintas pendapat mengenai rencana pembentukan, perpindahan dan pendayagunaan ibu kota baru sebagai pengganti Jakarta dipuncaki dengan peralihan RUU Ibu Kota Negara menjadi UU. 

Saya tidak ingin mempersoalkan diputuskannya UU IKN, alasan pemindahan ibu kota, serta pertimbangan ilmiah dan rasional mengenai pemilihan tempatnya. Di kesempatan ini, saya juga menghindari perbincangan mengenai ekses yang dimungkinan terjadi akibat dialihkannya kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara, perwakilan negara-negara asing dan kantor perwakilan lembaga internasional ke daerah yang semula tak diperhitungkan dan merupakan Kabupaten termuda kedua di Provinsi Kalimantan Timur itu.

Saya justru terusik dengan pemilihan Nusantara sebagai nama ibu kota negara. Di depan sidang umum DPR, Suharso Monoarfa mengatakan bahwa alasan Presiden memberikan nama itu adalah karena “sudah sangat dikenal sejak dahulu di mata internasional” dan “nama Nusantara itu mudah dan menggambarkan kenusantaraan bangsa Indonesia”. Alasan ini seperti apapun kualitas argumentasinya sah-sah saja dijadikan landasan berpikir oleh Presiden. Namun demikian, sebagaimana dinamika kehidupan berpikir kita, segera lahir anti tesa sekejap setelah lahir tesa.

Ada beberapa alasan yang hendak saya sampaikan menyangkut pemberian nama ini. Pertama, Nusantara terlalu besar untuk digunakan sebagai hanya nama kota. Dari kitab Pararaton kita mengenal kata Nusantara yang disebut oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa-nya. Bila dilihat dari sisi hermeneutika, kata Nusantara yang diucapkan Gajah Mada mensyiratkan makna bahwa kata itu adalah penyebutan kawasan archipelago yang biasa digunakan di era Majapahit. Meski masih bisa ditambahkan bahwa pada kurun waktu sebelumnya—di masa keemasan Singosari--lebih dikenal istilah Dwipantara.

Penyebutan ini merujuk pada satu kawasan yang jauh lebih luas dari apa yang sekarang kita sebut sebagai “dari Sabang sampai Merauke”. Bahwa kemudian kawasan ini pada akhirnya berhasil termaktub dalam rengkuhan emporium Majapahit dengan berbagai macam cara, bukan saatnya kita bahas di sini. Yang lebih penting adalah kenyataan dimana kata Nusantara secara denotatif mengarah pada kawasan pulau-pulau di Asia Tenggara yang pernah menyatu dalam satu tata kelola kenegaraan leluhur kita semua. Ia adalah produk sejarah sangat berharga sekaligus genuine dari kakek dan nenek moyang bangsa Indonesia.

Merupakan satu ironi bila nama besar iti kemudian hanya menjadi satu nama kota. Apa yang selama ini kita bayangkan sebagai warisan kejayaan dan sejarah kegemilangan bangsa tiba-tiba menjadi begitu remeh temehnya karena dimampat-paksakan untuk menjadi nama ibu kota baru.

Pada saat yang sama, ada baiknya kita coba rengkuh suara-suara kejernihan yang memimpikan sebuah keadaan kembali bersinarnya kejayaan bangsa sebagaimana leluhur kita pernah secara valid melakukan kreasi dan mewujudkannya. Lebih jauh, alih-alih menganugerahkan nama ibu kota baru dengan Nusantara, akan lebih baik bila kita canangkan sebuah mega proyek nation building untuk kembali menghadirkan kebesaran Nusantara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita di Indonesia.

Berikutnya, disebutkan bahwa nama ini sudah dikenal sejak dahulu di mata internasional. Saya menyangsikan bahwa kalimat ini murni keluar dari Pak Jokowi yang keuletannya untuk bertahan percaya diri dan tegar di tengah kepungan potensi agresi dan ekspansi negara-negara miskin sumber daya. Bagaimana mungkin seorang Presiden yang ditunggu kehadirannya dan dipuji oleh pemimpin negara-negara dalam sebuah pertemuan global memutuskan untuk memberi nama ibu kota baru yang lahir dari kecemerlangan gagasannya hanya karena alasan nama itu sudah dikenal luas sejak lama.

Merancang lahirnya sebuah ibu kota tentu saja berbeda dengan medesain satu consumable product. Ia tidak untuk dijajakan, ditawar-tawarkan agar calon “konsumen” menaruh minat untuk kemudia membelinya. Ia adalah sebuah ruang tamu yang kita persiapkan dengan sangat matang agar siapapun yang bertandang ke rumah kita nyaman di dalamnya. Artinya, nama ibu kota negara tidak harus sudah dikenal dan menjadi semacam top of mind bagi bangsa-bangsa manca. Aapapun namanya, bila tata ruang serta tradisi gupuh, lungguh, suguh-nya kita kelola dengan baik, percayalah, ia akan menjadi buah bibir dan mengundang tetamu untuk datang kembali dan mengajak sanak kerabat mereka.

Yang terakhir, ijinikan saya punya bayang kelam mengenai keindonesiaan kita ke depannya. Sejarah kita sebagai satu bangsa dan kemudian negara mengajarkan betapa limpahan kekayaan yang mak bedunduk ada di hamparan sabuk khatulistiwa ini telah sedang dan masih akan terus mengundang hadirnya anasir imperalis.

Jangan pernah bayangkan mereka datang dengan sejumlah armada laut dan skuadron udara laksana sepasukan kabilah Viking dalam cerita-cerita. Mereka datang dalam satu pasukan tempur yang tidak kentara dengan penyamaran super canggih yang mampu menjelma apa saja. Dari calon investor, wisatawan asing, peneliti, kunjungan budaya sampai ke literasi, film, lagu-lagu, dan gaya hidup yang bisa begitu halusnya.

Kalau saja, entah bagaimana dan melalui mekanisme tertentu kita sampai pada episode sejarah dimana Indoensia tinggallah sebagian Jawa maka ke sebuah kota bernama Nusantara-lah kita bisa menangkap kenangan tentang apa yang disebut oleh Ben Anderson sebagai imagined communities. Serangkai ingatan yang bernada sesal “ah, andai saja…”. 

Kita tentu sepakat mutlak bahwa tidak untuk itu diberikan nama Nusantara kepada calon ibu kota negara.

 

Oleh: Rio NS  
Pegiat Literasi dan Peternak Ayam di Blitar

Komentar