Rabu, 24 April 2024 | 16:21
OPINI

Tuwan Kolem atau Sunan Kulon

Tuwan Kolem atau Sunan Kulon
Raymond Valiant di Jombang (Dok pribadi)

Mantra yang lazim dibaca seorang peranakan Indo-Eropa bernama Coenraad Laurents Coolen ketika menaiki bajak untuk mengolah tanah pada awal musim tanam, tita-tiba melintas di ingatan saya. 

Gunung Semeru kang winarni, tètengèr tanah Pulau Jawi. Tinetepna anggen kawula tetani. Singkal kang kinarya pembikaké siti. Siti ginawe pera. Buntutan kinarya penggukuh, cacadan angandoli. Raden pancurat kang duwé kwasa. Pecut njeplake rajakaya, jaka galeng kang borehi, mbok randha garu kang ngasta, yaiku karemané Mbok Sri-Sedana kang warni pari, kaidenan Gusti Yesus kang luwih kwasa.

Hari itu, matahari bersinar cerah, saya berdiri di dekat makam tokoh ini, membayangkan bagaimana setelah Coolen membajak maka orang-orang lain pun segera menyusul, membajak sambil menyanyikan senandung yang sama di sawah-sawah sekeliling Ngoro. Pria peranakan Indo-Eropa ini yang juga dipanggil Tuwan Kolem, atau bahkan Sunan Kulon, oleh para pengikutnya. Ia dikenal karena pada 1827 mendirikan Ngoro, yang kini menjadi salahsatu kecamatan di Jombang.

Ngoro –uniknya– pernah memiliki peran penting dalam sejarah kekristenan di antara orang Jawa, karena dari sinilah persekutuan orang Kristen Jawa pertama kali terbentuk, jauh sebelum gerakan misionaris dimulai orang Belanda di Jawa. Siang itu di tepi jalan raya ke arah Kandangan, Kediri, saya menatap makam tokoh ini di sebuah kompleks pemakaman di Ngoro, Jombang, Jawa Timur.

Coolen dilahirkan 1773 di Semarang dan meninggal di Ngoro dalam usia mendekati seabad. Ayahnya seorang Rusia dan ibunya seorang ningrat Jawa dari wangsa Kajoran. Adapun wangsa ini keturunan Kiai Giring –yang pernah bersekutu dengan Kiai Pemanahan ketika mendirikan Kerajaan Mataram. Keduanya belakangan malah berseteru, dan bahkan setelah Senopati Ing-alaga, anak Kiai Pemanahan, berhasil menundukkan Kiai Giring, keturunan mereka tetap bermusuhan.

Coolen menyelesaikan sekolah di Semarang dan karena berbakat menggambar, diterima bekerja pada Jawatan Topografi Hindia Belanda. Sebagai ahli gambar, ia ikut memetakan sejumlah peninggalan candi Hindu-Siwa di Jawa Tengah. 

Ketertarikannya pada sejarah bersemi karena sejak kecil dikenalkan budaya Jawa lewat ibunya. Oleh karena pergaulan di antara para bangsawan Jawa, ia juga tertarik akan mistik, sampai akhirnya mundur dari Jawatan Topografi dan pergi mendalami apa yang diminatinya yakni mempelajari aspek supranatural; berlatih batin dalam suasana asketis.

Ia sempat berganti-ganti pekerjaan, antara lain menjadi juru peta pada angkatan bersenjata Hindia Belanda di mana ia ditempatkan di Surabaya, dan kemudian pindah menjadi pengawas hutan yang ditempatkan di Wirosobo, yang pada saat itu masuk Kabupaten Jombang di bawah Keresidenan Surabaya. Ia tetap saja tak betah, dan memutuskan membuka sebuah komunitas spiritual. Izin membuka hutan diurus pada pemerintahan Hindia Belanda, dan pada tanggal 3 Juli 1827, pria Indo-Eropa ini mendapat hak membuka tanah di hutan Ngoro seluas 2.000 bouw atau 1.420 hektar untuk jangka waktu sewa 25 tahun.

Ia beserta keluarga dan sejumlah pengiring, seperti Poncolaku, Pedot, Donopati dan Trunodongso, kemudian pindah menetap ke hutan tersebut. Perang Jawa saat itu masih berlangsung namun tidak mengubah tekad para perintis ini. Mereka pertama-tama mendirikan gubuk di Kesamben, pinggir hutan Ngoro, dan kemudian masuk ke pedalaman hutan membuka lahan untuk tegal, sawah dan permukiman. Inilah awal dari komunitas spiritual yang kemudian berkembang luas pada paruh pertama abad ke 19 Masehi di sekitar Ngoro. Coolen menjadi guru kebatinan, yang menyatukan ajaran kristiani –yang dikenalnya dengan baik sebagai seorang penganut Kristen Protestan– dengan mistisme Jawa.

Sistem persewaan tanah yang dipakai di Ngoro ketika itu sangat menarik. Selama lima tahun pertama penyewa tidak perlu membayar sewa, setelah lima tahun, barulah penyewa menyerahkan sepertiga hasil bumi yang didapatnya selama 6 tahun. Setelah masa itu, separuhnya. Praktek sewa dengan sistem bagi hasil ini jelas menarik, sebab pada 1834 sudah ada 101 laki-laki di pemukiman Ngoro, 122 perempuan dan 28 anak.

Periode 1840 sampai 1845 merupakan masa-masa paling makmur bagi Ngoro. Pada titik ini, desa itu menjadi buah bibir banyak orang, dan keberhasilan Ngoro membuat Coolen sendiri tersohor sebagai guru supranatural yang kondang karena bijaksana dan kaya. Kekayaan berupa emas dan perhiasan tersimpan dalam setidaknya 4 peti kayu berukuran besar di rumahnya yang berdinding bambu. Ia pun memiliki hubungan kerja yang baik sekali dengan para penyewa, pemukim maupun orang luar. Sawah yang berada di persil miliknya memberi hasil yang menguntungkan sehingga pada puncak kejayaan Ngoro ada sekitar 7 lumbung besar untuk menampung bagian Coolen dari hasil panen padi.

Sayang sekali, nasib akhir dari Coolen tidak sebagus di awal kisahnya membuka Ngoro. Sekitar tahun 1850 ia berseteru dengan Pemerintah Hindia Belanda dan akibatnya Residen Surabaya menolak perpanjangan sewa tanah yang ia ajukan pada 1852. Apalagi, kewibawaan dan pengaruhnya sebagai guru supranatural makin berkurang karena misionaris Belanda yang didukung Gereja Hindia Belanda mulai menarik umat yang semula menjadi pengikutnya. 

Salah satu perbedaan hakiki dari ajaran Coolen dengan tradisi gereja Kristen, adalah guru supranatural ini menolak baptisan bagi orang Jawa yang mengaku percaya pada Isa Almasih, dan mencukupkan diri dengan inisiasi rohani secara meditasi. Sementara misionaris Belanda mendorong orang Jawa yang telah percaya pada ajaran kristiani untuk dibaptis.

Akhir usia dari Coolen ditandai kemuraman. Ia meninggal sebagai seorang guru yang perlahan dilupakan. Walau demikian, hampir 1.000 orang hadir pada saat ia dimakamkan. Kini makamnya menjadi sebuah tempat di mana masih tersimpan kesaksian mengenai seorang Indo-Eropa yang menjadi “mesias” kecil di tepi hutan, membuka lahan dan mengajarkan sinkretisme Kristen dan mistisme Jawa sebagai penghiburan seusai Perang Jawa berakhir, nyaris dua abad silam. 

 

Raymond Valiant
Pengamat Sosial

 

Komentar