Sabtu, 20 April 2024 | 17:05
NEWS

Majelis Hakim Tolak Saksi dari Penggugat di Sidang Kasus Jual Beli Gedung DPD Partai Golkar Kota Bekasi

Majelis Hakim Tolak Saksi dari Penggugat di Sidang Kasus Jual Beli Gedung DPD Partai Golkar Kota Bekasi
Dok Istimewa

ASKARA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kota Bekasi memutuskan menunda sidang lanjutan yang menghadirkan saksi pada kasus gugatan jual-beli Kantor Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Kota Bekasi, Rabu (1/9).

Untuk diketahui, gedung DPD Partai Golkar Kota Bekasi di Jalan Jenderal Ahmad Yani, No 18 RT 05/02, Kelurahan Marga Jaya, Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi, Jawa Barat bermasalah dengan hukum terkait gugatan jual-beli.

Agenda dalam sidang tersebut adalah menghadirkan saksi dari pihak penggugat, Lita Wahyu. Namun, saksi yang dihadirkan pihak kuasa hukum penggugat dalam persidangan ditolak oleh majelis hakim karena saat persidangan minggu lalu sempat hadir dengar dalam ruangan sidang padahal sudah disuruh keluar ruangan tidak boleh dengar kesaksian lain.

Saksi dari penggugat bernama Lita Wahyu ini yang juga tercatat sebagai mantan Wakil Bendahara DPD Partai Golkar Kota Bekasi akhirnya meninggalkan ruang sidang setelah Majelis Hakim menolak kehadirannya.

Majelis Hakim meminta kepada kuasa hukum penggugat untuk menghadirkan saksi lainnya dan sidang ditunda hingga Rabu (8/9).

Sementara itu, Kuasa Hukum Penggugat, Noval Alrasyid mengaku tidak berhak menjawab kenapa saksi yang dihadirkannya ditolak oleh Majelis Hakim. 

"Kalau dasar menghadirkan Bu Lita (saksi) karena dia tahu persoalannya. Tapi kalau ditanya kenapa ditolak, ya silakan tanya yang berkompeten yang menolak. Kan bukan saya yang menolak," kata Noval sambil berlalu pada wartawan.

Terpisah, Andy Iswanto Salim, selaku pihak Pembeli Gedung DPD Partai Golkar Kota Bekasi yang juga selaku Tergugat saat dikonfirmasi menjelaskan bahwa saksi ini (Penggugat) Minggu lalu beralasan sakit, disuruh keluar ruang sidang tapi diam-diam masuk ruangan mendengar. 

"Perkara gugatan yang sudah 5 kali ke pengadilan ini, yang mana putusan dari Pengadilan sudah inkraah, namun saat ini masih sekitar mempermasalahkan Van Dadding Putusan PN No 41. Pihak DPD Golkar Kota Bekasi dalam gugatan ke 5 ini mencoba mengubah isi Putusan Van Dadding No 41 karena tidak mampu memenuhi isi kesepatan dalam putusan" tegas Andy Salim.

Andy Salim menambahkan, yang paling esensi dalam gugatan kali ini, pihak DPD Golkar mengajukan perubahan dari konsekuensi denda 1 persen per hari menjadi 6 persen per tahun untuk tetap ingin mempertahankan gedung yang sudah pernah dijual Rahmat Effendy selaku Ketua DPD Golkar Kota Bekasi pada 17 tahun lalu.

"Menurut saya simpel aja ya, kalau mereka tidak sanggup membayar atau menyelesaikan komitmen untuk mambayar sesuai kesepakatan maka biarkan saya yang membayar pihak DPD Golkar Kota Bekasi sesuai dengan isi kesepatan yang tertuang dalam Putusan Van Dading PN Bekasi No 41 tersebut. Sederhana aja kan cara berpikirnya, kalau tidak mampu bayar karena ketinggian ya mohon pengurangan atau biarkan saya yang bayarkan mereka, berikan no rekening dan janji kapan mau di serah terimakan baik-baik jangan sampai melalui proses sita atau eksekusi pengosongan paksa, kan nanti akan jadi malu lebih besar," pungkas Andy Salim. 

Gugatan dengan perkara No 47 ini bersumberkan karena ada penetapan Konsinyasi yang semua bersumber pada putusan Van Dading No 41. Ketua PN lama ataupun hakim penetapan hanya mempertimbangkan permohonan sepihak dan berani mengamputasi isi kesepakatan damai. 

"Menurut saya sedianya pengadilan itu mengatasi masalah hukum yang ada bukan malah menimbulkan masalah hukum lain dengan produk putusan yang ngawur dan menjadikan makin amburadulnya wajah hukum di negeri kita ini." 

"Mereka ini contoh buruk di masyarakat, pemimpin yang tidak taat hukum, malah cenderung memaksakan kehendak dan karena sesama Forkominda jadi membuat kacau tatanan hukum karena perkara yang sudah inkraah selayaknya tinggal eksekusi atau melalui upaya hukum luar biasa, tapi malah jadi kacau karena terbit penetapan konsinyasi, padahal ini bukan demi kepentingan umum tapi kesepakatan para pihak," ungkap Andy Salim.

Komentar