Senin, 13 Mei 2024 | 02:44
NEWS

Risikonya Terlalu Besar Jika Pemerintah Salah Mengambil Keputusan soal Partai Demokrat

Risikonya Terlalu Besar Jika Pemerintah Salah Mengambil Keputusan soal Partai Demokrat
Ilustrasi Partai Demokrat (Dok Kompastv)

ASKARA - Pengamat politik Ubedilah Badrun dan Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti, Jumat (12/3) menanggapi masih berlarut-larutnya kasus upaya pencaplokan Partai Demokrat oleh pihak-pihak eksternal melalui mekanisme KLB yang ternyata ilegal. 

Pemerintah disebut harus bersikap adil, bijaksana dan rasional dalam memutuskan kasus kongres luar biasa (KLB) ilegal Partai Demokrat (PD). Negara tidak boleh terlalu lama disandera agenda politik pribadi.

Ubedilah menyebut sudah hampir 40 hari isu pengambilan kepemimpinan Partai Demokrat menjadi perhatian publik sejak Ketua Umumnya Agus Harimurti Yudhoyono mengungkapnya pada 1 Februari lalu.

Ubedilah membaca pernyataan pemerintah yang akan menggunakan UU Partai Politik dan AD/ART Partai Demokrat hasil Kongres ke-5 tahun 2020 untuk menilai hasil KLB ilegal, sebagai isyarat kuat bahwa pemerintah tidak tertarik untuk melakukan manuver politik yang berisiko tinggi.

Pernyataan pemerintah tersebut disampaikan secara konsisten oleh Menko Polhukam Mahfud MD dan Menkumham Yasona Laoly dalam kesempatan terpisah. 
“Terlalu berisiko jika pada saat krisis seperti ini, Pemerintah mengesahkan KLB ilegal, apapun alasannya. Potensi gejolak politiknya terlalu besar," kata ubedilah yang juga adalah salah satu tokoh penting pemimpin gerakan mahasiswa tahun 1998.

Menurut Ubedilah, AHY cepat dan kompak melakukan konsolidasi DPD, DPC dan para anggota Fraksi PD DPRD se-Indonesia, dibandingkan dengan para mantan kader pelaku KLB ilegal yang tampak jelas tidak punya massa yang riil. 
Ubedilah mengingatkan Pemerintah mengantisipasi potensi turbulensi politik yang tidak perlu terkait polemik di tubuh Partai Demokrat sehingga mengganggu fokus penyelesaian pandemi serta mengatasi krisis ekonomi.

Dia juga mengatakan masyarakat sudah lelah dan mulai gelisah dengan kesulitan ekonomi yang mereka hadapi.

"Jika krisis kesehatan dan ekonomi ini terus berlarut akibat fokus pemerintah pecah, bukan tidak mungkin kegelisahan masyarakat ini akan terekspresikan tak terkendali." 

Pendiri LSM Lingkar Madani Ray Rangkuti mengingatkan bahwa pencaplokan Partai Demokrat bukanlah termasuk agenda pemerintah. “Ini jelas agenda pribadi Kepala KSP Moeldoko, meskipun saya bertanya-tanya kenapa dibiarkan,” kata Ray.

Menurut Ray, tidak menguntungkan bagi Pemerintah untuk mengesahkan KLB ilegal yang berisiko menimbulkan gejolak politik. 

"Ini tidak lebih dari ambisi pribadi salah satu pembantu Presiden," ujar Ray. 
Ray, yang juga aktivis senior ini menduga Moeldoko salah kalkulasi karena terbuai oleh janji-janji manis makelar-makelar politik yang membujuknya. 
“Orang seperti pak Moeldoko sudah terlalu terbiasa bekerja pada tataran strategis sehingga luput atau tidak sempat mengecek pelaksanaannya di lapangan. Inilah yang jadi ladang subur bagi para makelar politik untuk mengumbar janji guna mencari pendanaan, lalu membuat laporan Asal Bapak Senang,” tutur Ray. 

Pola makelar politik ini cukup sering terjadi dalam perpolitikan di Indonesia.

Secara terpisah, Ubedilah dan Ray menyarankan agar Pemerintah konsisten menggunakan dasar hukum yang objektif untuk memutuskan perkara ini, untuk menjaga kepastian hukum dan kestabilan politik. 

Keduanya mengingatkan kasus ini cukup banyak diberitakan media massa internasional dengan istilah take over (pengambilalihan) yang berimplikasi pada persepsi negatif terhadap pemerintah. Apalagi jika dikaitkan dengan peringatan lembaga-lembaga maupun peneliti internasional tentang kemunduran demokrasi di Indonesia. Padahal ada keterkaitan erat antara kualitas demokrasi dan iklim investasi. 

Baik Ubedilah maupun Ray sepakat jika Pemerintah salah mengambil keputusan, secara rasional, risiko yang bakal ditanggung pemerintah baik di sisi politik maupun ekonomi, terlalu besar ketimbang keuntungan politik yang hanya berlaku bagi salah satu pejabatnya saja. 

“Apalagi ini era yang sangat terbuka, dan bisa menjadi preseden buruk dikemudian hari," pungkas Ubedilah.(jpnn)

Komentar