Sabtu, 27 April 2024 | 01:11
NEWS

M Nuh Heran UU ITE Berubah Fungsi

M Nuh Heran UU ITE Berubah Fungsi
Ketua Dewan Pers M Nuh. (Dok. Antara)

ASKARA - Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh yang menjabat menteri komunikasi dan informasi saat Undang-Undang ITE disahkan ikut buka suara terkait maraknya permintaan revisi regulasi tersebut.

Menurut M Nuh, UU ITE yang disusun pada 2008 awalnya memang tidak diharapkan berfungsi seperti saat sekarang ini. 

"Saya mikir kok rasanya dulu tidak begini. Dulu kita ingin memberi kepastian hukum transaksi teknologi tapi kok tiba-tiba urusan caci maki," ujarnya saat mengisi diskusi yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat dengan tema "Menyikapi Perubahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik" Kamis (25/2).

M Nuh menyebut, UU ITE kini menjadi ganjalan bagi demokrasi di Indonesia. Tidak saja di lapisan masyarakat, wartawan pun banyak dirugikan karena dilaporkan ke pihak berwajib dengan merujuk UU ITE. Padahal, awalnya ide dari UU ITE untuk memberikan payung transaksi-transaksi ekonomi dan perkembangan informasi digital Indonesia. 

"Dulu itu kan tanda tangan harus tanda tangan basah, yang punya legal standing diteken pakai materai, cap stempel dan lainnya. Faks juga belum punya dasar, sekarang sudah bisa dijadikan produk hukum," katanya.

Menurut M Nuh, melalui Surat Edaran Kapolri mengenai penanganan perkara UU ITE belum cukup untuk bisa melindungi masyarakat. 

"Saya coba pahami begitu kapolri keluarkan aturan kalau sudah minta maaf tidak perlu dipenjara tapi penting agar UU ITE ini dibuat turunan peraturan pemerintah atau peraturan menteri yang memang berikan perlindungan rasa keadilan pada masyarakat. Tapi agar nanti kalau ganti presiden dan kapolri tetap memberi rasa keadilan maka perlu revisi UU ITE," paparnya. 

Rencana revisi UU ITE sendiri ikut disinggung Presiden Joko Widodo yang meminta masyarakat lebih aktif dalam menyampaikan kritik. 

Presiden Jokowi mengatakan, jika UU ITE tidak dapat memberikan rasa keadilan maka dia bakal mengajukan ke DPR RI untuk direvisi. Khususnya bagi pasal-pasal karet yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran.

Adapun, diskusi PWI Pusat turut dihadiri oleh Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari, Menko Polhukam Mahfud MD, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, pakar hukum Abdul Fikar Hadjar dengan dimoderatori oleh Wina Armada.

Diskusi dihadiri sebanyak 316 peserta secara virtual dan puluhan peserta di Kantor Pusat PWI, Jakarta.

Komentar