Jumat, 10 Mei 2024 | 19:59
NEWS

Pajak Pulsa, Nggak Kreatif dan Beban Baru Masyarakat

Pajak Pulsa, Nggak Kreatif dan Beban Baru Masyarakat
Ilustrasi. (Kesatu/Net)

ASKARA - Ekonom senior Rizal Ramli mengkritisi kebijakan pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani yang memungut pajak pertambahan nilai dan penghasilan (PPh) untuk penjualan pulsa, voucher, kartu perdana, dan token listrik per 1 Februari 2021. 

Menurut Rizal Ramli, kebijakan itu diambil sebagai dampak utang dengan bunga yang sangat tinggi milik pemerintah. 

"Mengutang ugal-ugalan dengan bunga kemahalan, neraca primer negatif selama enam tahun, akhirnya kepepet, Menkeu Sri Mulyani tekan sing printil-printil seperti memajakan rakyat kecil yang pakai token listrik dan pulsa," katanya dalam keterangan resmi, Sabtu (30/1). 

Mantan menteri koordinator ekonomi, keuangan, dan industri itu menilai cara Sri Mulyani dengan menarik pajak tersebut tidak kreatif dan merugikan Presiden Joko Widodo secara politik. 

"Mbok kreatif dikit, kek. Jokowi akan terpeleset bersama menkeu terbalik," ujar mantan anggota Tim Panel Ekonomi PBB itu 
Sementara itu, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira menilai, kebijakan pemungutan pajak dari penjualan pulsa kontra produktif dengan pemberian stimulus kepada masyarakat maupun pengusaha pada masa pandemi Covid-19. 

Diketahui, saat ini pemerintah meminta masyarakat untuk menggunakan internet dan bekerja dari rumah (work from home) sehingga membutuhkan banyak banyak pulsa data atau nomor perdana. 

"Kebijakan ini dianggap merupakan beban baru bagi masyarakat," kata Bhima.

Selain itu, selama ini masyarakat juga sudah dibebankan dengan kenaikan harga materai. Maka ditambah dengan kenaikan harga PPN pulsa dan token listrik beban masyarakat pasti akan bertambah. 

Menurut Bhima, di negara lain, pemerintahnya besar-besaran memberi subsidi kepada rakyat. Di Indonesia, justru hal tersebut berbanding terbalik. 

"Di negara lain pemerintahannya memberi subsidi kepada perusahaan telekomunikasi sehingga mereka bisa menambah jaringan untuk daerah terpencil dan terluar," jelasnya.

Oleh karena itu, lanjut Bhima, kebijakan tersebut justru akan menghambat proses digitalisasi dan transformasi digital yang digembar-gemborkan pemerintah selama ini. 

"Kebijakan ini justru akan menghambat proses digitalisasi dan transformasi digital dengan pemberlakukan PPN terhadap pembelian pulsa maupun voucher tersebut," jelasnya. 

Diketahui, keputusan PPh penjualan pulsa tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 Tentang penghitungan dan pemungutan PPN serta PPh atas penyerahan atau penghasilan sehubungan dengan penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucher. 

"Kegiatan pemungutan PPN dan PPh atas pulsa, kartu perdana, token dan voucher perlu mendapat kepastian hukum," bunyi PMK yang ditandatangani Menkeu Sri Mulyani dan diundangkan pada 22 Januari.

Komentar