Jumat, 26 April 2024 | 04:50
NEWS

Sri Mulyani Naikkan Cukai Rokok 1 Februari 2021, Diprotes Anggota Dewan

Sri Mulyani Naikkan Cukai Rokok 1 Februari 2021, Diprotes Anggota Dewan
Ilustrasi cukai rokok (Dok Pasardana.id)

ASKARA - Pemerintah secara resmi akan menaikkan cukai rokok atau Cukai Hasil Tembakau, 1 Februari 2021 mendatang. Aturan tersebut akan mematok tambahan cukai sebesar 12,5 persen. 

Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan, kebijakan kenaikan cukai tidak diberlakukan pada semua golongan atau tidak semua jenis rokok. 

Hanya jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Tangan (SPT) yang tarif cukainya naik. 

"Sedangkan untuk kategori SKM cukainya naik 13,8-16,9 persen tergantung golongan, sementara untuk SPM naik 16,5-18,4 persen," ujar Sri Mulyani, dalam raker bersama Komisi XI DPR secara virtual, Kamis (28/1).

Selain itu, terkait realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai, secara keseluruhan hingga akhir 2020 mencapai jumlah senilai Rp 212,8 triliun atau minus 0,3 persen dibandingkan 2019. 

Sementara penerimaan cukai sepanjang 2020 sebesar Rp 176,3 triliun atau tumbuh 2,3 persen dari tahun sebelumnya.

Ini terdiri dari cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp 170,24 triliun, etil alkohol (MMEA) hanya Rp 5,76 triliun, dan etil alkohol senilai Rp 240 miliar.

"Pada APBN tahun 2021, pemerintah menargetkan penerimaan cukai sebesar Rp 180 triliun. Target itu terdiri atas cukai rokok Rp 173,78 triliun," jelasnya.

"Sementara sisanya ditargetkan pada pendapatan cukai MMEA, cukai etil alkohol, dan penerimaan cukai lainnya sebesar Rp6,21 triliun," tandas Sri Mulyani.

Mendengar paparan Menkeu tersebut, beberapa anggota Komisi XI DPR RI yang hadir meminta agar kebijakan itu dapat dievaluasi kembali karena dinilai tidak adil bagi industri rokok dan petani.

"Cukai tembakau setiap tahun mengalami kenaikan, sementara para petani tembakau terus mengalami tekanan akan kenaikan tersebut," kata Anggota Komisi XI DPR RI Bertu Melas (F-PKB) melalui video conference.

"Hasil riset kami, hasil tembakau di Indonesia itu diserap oleh industri-industri kecil dan bukan industri besar. Perlu ada insentif khusus kepada industri sehingga para petani tembakau bisa merasakan manfaatnya dan berpihak pada kemakmuran petani," tegas Bertu Melas.

Hal senada juga disampaikan oleh Anggota Komisi XI DPR RI Willy Aditya. Menurut politisi F-NasDem itu, kenaikan cukai terus dilakukan tetapi tidak diiringi dengan langkah penyiapan industri baru sebagai penggantinya. 

Sebab, 50 persen dana bagi hasil cukai tembakau yang seharusnya diarahkan untuk masyarakat, masih tidak terlihat rencana pemerintah dalam pengembangan sumber daya manusia dalam industri baru.

"Belum lagi berkenaan dengan angka prevalensi usia merokok dalam rentang 10-18 tahun, yang sering tidak terealisasi. Perlu ada langkah pemerintah untuk mengatasi ini, sehingga alasan untuk menaikkan cukai rokok menjadi sejalan dengan kebijakan yang diterapkan. Kedepannya, pemerintah juga perlu membuat blue print arah kebijakan cukai tembakau khusus dalam optimalisasi juga sangat dibutuhkan," kata Willy.

Kenaikan cukai tembakau bahkan dinilai tidak sepenuhnya dapat mengatasi berbagai akar persoalan yang ada. 

Hal ini diungkap Anggota Komisi XI DPR RI Didi Irawadi, yang mendapat informasi bahwa dengan adanya kenaikan tersebut justru berdampak pada meningkatnya impor tembakau dari luar negeri. 

Padahal tujuan dari kebijakan tersebut, pemerintah ingin melakukan pembatasan konsumsi rokok yang berdampak pada kesehatan.

"Cara-cara yang dilakukan dengan kenaikan cukai ini, belum efektif menurut saya. Pemerintah bisa melihat kebijakan yang dilakukan di negara lain, Malaysia misalnya, walaupun cukai tidak dinaikkan tetapi mereka bisa melakukan cara lain, salah satunya dengan melarang penjualan rokok batangan. Sementara di negara kita tidak ada langkah-langkah lain, bahkan perusahaan rokok besar malah pendapatannya meningkat," ungkap politisi Partai Demokrat itu.

Dengan tingginya harga cukai rokok, Anggota Komisi XI DPR RI Ahmad Najib Qudratullah khawatir akan menimbulkan peredaran rokok ilegal di masyarakat. 

Dari pengamatannya, sejumlah warga dapilnya banyak yang kembali mengonsumsi rokok 'lintingan'. 

Hal itu sebagai dampak rokok yang tidak terjangkau, dengan demikian kebijakan cukai rokok juga tidak bisa diterapkan.

"Kebijakan ini harus di-review kembali, karena kami mendengar teman-teman industri sudah mengalami penurunan signifikan mulai dari tahun 2017," ujarnya.

"Belum lagi dampaknya bagi pendapatan petani tembakau. Menurut saya kebijakan ini harus adil, karena mereka meningkatkan penerimaan negara tetapi mereka dilemahkan secara perlahan, perlu ada kebijakan yang cukup adil," pungkas politisi Fraksi PAN itu. (industry)

Komentar