Kamis, 25 April 2024 | 00:26
OPINI

Diam di Tengah Kerumunan, Menjauh dari Lingkaran

Diam di Tengah Kerumunan, Menjauh dari Lingkaran
Ilustrasi diam (Dok Kompasiana)

Tapa tengahe praja, nyingkir saka kalangan begitulah pitutur Jawa zaman dulu yang saya dapatkan dari seseorang dan saya jadikan judul di atas. Mungkin sudah tidak banyak lagi yang tahu, dan saya beruntung masih bisa mendapatkan dan mendengar pitutur para leluhur. Sederhana, tapi sangat dalam maknanya.

Melihat kondisi di zaman ini, pitutur itu sangat relevan untuk menjadi pilihan untuk dilakukan, agar diri sendiri merasa tentram terhindar dari pertengkaran dan carut marut kehidupan. Di mana emosi mudah terbangkitkan.

Pesan Tapa tengahe praja, adalah memilih diam di antara kerumunan kawanan atau kehidupan, waktunya mendengarkan, memperhatikan di mana banyak orang ingin menjadi pembicara dan merasa diri paling benar walaupun terkadang belum tentu benar.

Kalau pernah dengar diam adalah emas, rasanya itu memang benar. Diam bukan berarti tidak tahu, pilihan diam akan lebih baik karena memang tidak perlu ikut unjuk kata-kata.

Jadi ingat tentang pitutur lain tentang papan nggawa empan. Orang Jawa zaman dulu itu memang irit dan pelit untuk bicara, bukan berarti mereka tidak tahu. Tapi bagi mereka, sebagai manusia itu harus tahu waktu dan bisa membawa diri. Saat bicara dengan siapa, bicara di mana dan untuk keperluan apa. Tidak mengumbar dan mengobral omongan ke mana-mana. Sungguh arif dan bijaksana.

Sedangkan nyingkir saka kalangan, adalah lanjutan dari diam. Bila suasana sudah makin menjadi runyam, tidak perlu ikut berdebat yang tidak bermanfaat, kemungkinan besarnya akan saling menyakiti hati, maka diam lebih baik dari pada diteruskan yang akhirnya menjadi pertengkaran. Dalam keadaan seperti itu, lebih baik menarik diri menjauh dari lingkaran.

Diam dan menjauh itu pilihan yang jitu, pilihan bijak. Dari kejauhan bisa memperhatikan dengan lebih baik. Karena tidak turut pada lingkaran emosi yang terjadi dan bisa berpikir secara murni.

Melihat banyak komunitas bermunculan, baik itu dari berkegiatan alam, keagamaan,  kebudayaan yang awalnya dibuat sebagai wadah menyatukan yang sehati, se-hobby dan sepaham, nyatanya tanpa disadari mengikat pikiran dan jiwa, terkadang menjadi buta karena mengidolakan ataupun rasa kebanggaan, menggiring perasaan menjadi kelompok yang terbaik di antara sesamanya, saat dikritik ikut tidak terima, ujung-ujungnya bermusuhan pada sesama.

Bila berkomunitas menjadikan diri pongah merasa kuat karena punya banyak kawan hingga menjadikan diri berlaku ngawur, itu artinya sudah waktunya "dibubarkan".

Maka segera awali dengan membubarkan diri sendiri, sebagai langkah "nyingkir saka kalangan".

Pandemi Covid-19, tanpa disadari sudah memberikan kode itu juga. Dengan imbauan hindari kerumunan, diam di rumah saja bersama keluarga, bersihkan tangan dan diri sesering mungkin, tutup mulut dengan masker, meningkatkan kehati-hatian dan semua mengarah pada berkegiatan secara individu.

Selalu eling dan waspada, jaga perbuatan dan ucapan walau hanya sekedar celoteh komentar. Berkomentarlah yang baik-baik saja.

Di zaman ini, buah perbuatan tidak pakai lama, zamannya zaman instan bisa langsung dirasakan. Coba perhatikan dengan seksama dari kejauhan.

Segala yang terjadi, bukan hanya sebagai musibah semata, ada berkah juga di baliknya dan mengandung pesan yang mendalam, kalau kita mau memperhatikan dengan penuh kehati-hatian.

 

 

Salam satu jiwa, untuk kehidupan.

Indonesia, 7 Desember 2020

Komentar