Rabu, 24 April 2024 | 02:18
COMMUNITY

Kenangan Kolonel Edward Sitorus, Youtuber yang Harus Berpisah dengan Anak-anak Papua

Kenangan Kolonel Edward Sitorus, Youtuber yang Harus Berpisah dengan Anak-anak Papua
Kolonel Kav Edward Sitorus bersama anak-anak Papua (Dok Pribadi)

ASKARA - Serah Terima dan Penerimaan Jabatan validasi organisasi Pusat Kesenjataan Kavaleri (Pussenkav), di Bandung, Jawa Barat, menjadi hari bersejarah bagi Kolonel Kav Edward Sitorus, Rabu (8/7) lalu.

Pada hari itu, Edward mulai menjabat sebagai Direktur Pembinaan Doktrin Pusat Kesenjataan Kavaleri, dan melepaskan jabatannya sebagai Staf Ahli Pangdam XVII/Cenderawasih Papua. 

Namun, hari bahagia itu sekaligus menjadi hari yang menyedihkan baginya. Pasalnya, Edward harus berpisah dengan anak-anak Papua yang selama ini diasuhnya bersama keluarga saat bertugas di Papua. 

Kisah bagaimana kedekatan dan kasih sayang dengan anak-anak Papua diungkapkan Edward kepada Askara. 

Tahun 2016, Edward bertugas sebagai Asisten Teritorial Kodam XVII/Cenderawasih. Dia kemudian naik jabatan menjadi Staf Ahli Pangdam XVII/Cenderawasih merangkap sebagai Ketua Pusat Koperasi Kartika Cenderawasih. 

Edward mengaku, sudah selama 12 tahun berada di tanah Papua. Namun, kerap kali dipindahtugaskan ke tempat lain dan kembali lagi ke Papua. 

Edward pun menepis anggapan bahwa lantaran usaha dan bisnis yang membuatnya betah di Papua. Menurutnya, betah di Papua memang lantaran cinta. Begitu juga dengan anggota keluarga yang selalu ikut kemanapun dia bertugas. 

"Karena komitmen saya dan keluarga dan anak-anak kemanapun bertugas pasti ikut, jadi tugas dimanapun tidak terasa jauh. Karena di Papua pun saya dekat dengan anak saya, dan istri saya makanya saya betah," ujarnya, saat berbincang dengan Askara. 

Anak-anak Papua juga menjadi salah satu faktor yang membuat Edward merasa nyaman di Papua. Anak-anak Papua, kata dia, sering bermain di sekitar rumahnya hingga menganggapnya sebagai orang tua angkat. 

"Kalau lihat awal-awal itu kasihan mereka, orangtuanya ada yang kerja di pasar, jadi mereka nggak ada pendampingan dari orangtua. Hingga akhirnya saya tergerak bagaimana kita bina mereka, dari mulai tahun 2011 pertama di Jayapura, saat mereka masih kecil-kecil, akhirnya kami menjadi akrab dengan mereka," tuturnya.

Edward bahkan mengganggap mereka sebagai anak asuh, binaan. Ibadah bersama pun kerap dilakukan Edward dengan anak-anak Papua hingga berjumlah 50-100 orang. 

"Kalau ramai itu 150-an, mereka datang sendiri. Karena kita terbuka untuk mereka, saya bilang ini rumah kalian, ini rumah tentara, rumah tentara juga rumahnya rakyat, ya jadi ini rumah kalian juga, jadi mereka bebas main," ujarnya.

Ibadah yang kerap dilakukan di pekarangan rumahnya yang cukup besar itu pun mendapat dukungan dari para pastor/pendeta. Terlebih, sang istri yang hobi memasak dan sering mengajak anak-anak makan bersama. Hal itu membuat anak-anak itu betah bersama Edward dan keluarga.

"Istri saya masak dalam jumlah yang banyak, jadi anak-anak itu semangat. Ya, akhirnya kita masak buat anak-anak setiap Sabtu kita kasih makan, sekaligus sebagai tempat ibadah," terangnya.

Selain bermain dan beribadah, Edward juga mengajarkan anak-anak cara menanamkan nilai-nilai penting dalam kehidupan. Anak-anak Papua tersebut akhirnya bercerita kepada orangtuanya tentang sosok Edward.

"Kita merangkul, terus orangtuanya melihat anak anak mereka bermain di rumah kami, akhirnya para orangtua mereka juga ikut datang," katanya.

Kehadiran para orang tua anak-anak Papua tersebut menjadi kesempatan bagi Kolonel Edward untuk mengubah pandangan yang selama ini kerap kali dianggap bahwa tentara di Papua adalah pembunuh.

"Tentara itu hanya melakukan tugasnya saja saya bilang, 'Iya pak kami pikir kami takut tentara' ya kita tahu lah ya. Jadi mengubah image itu pelan-pelan. Memang tidak gampang," paparnya. 

Dikatakan Edward, untuk mengubah pandangan masyarakat Papua tidaklah mudah. Dia mengaku, hampir dua tahun berjuang agar bisa diterima masyarakat Papua sebagai saudara. 

"Setelah mereka menerima kita sebagai keluarga barulah saya jelaskan bahwa Kodam itu ada di Papua untuk melindungi rakyat, mereka juga mulai terbuka," tuturnya.

Edward menuturkan, pernah berkenalan dengan orang baru di Papua. Ternyata, orang tersebut telah mengetahui sosoknya dari para orangtua yang anak-anaknya bermain dan beribadah di rumahnya. Hal itu membuatnya semakin betah di tanah Papua. 

"Hal-hal itu yang membuat saya makin lama, makin betah, dan nggak bisa dinilai dengan uang," ucapnya.

Tak lupa, dukungan dari keluarga yang luar biasa menjadi motivasi Edward. 

"Beras itu berapa kilo setiap bulan itu nggak hitung-hitungan. Pasti ada saja (rezeki)," imbuhnya.

Kesedihan Edward harus berpisah dengan anak-anak di Papua pun tumpah. Timbul kekhawatiran, siapa yang akan mengayomi anak-anak yang ditinggalnya itu. 

"Saya dengan sang istri, kita nangis harus meninggalkan mereka. Gimana ada lagi nggak Tuhan kirimkan orang yang sayang dengan mereka, saya sampai berpikir seperti itu," ujarnya.

Edward mengaku, meninggalkan Papua saat ini terasa sangat berbeda. Orangtua anak-anak yang ditinggalkannya pun turut bersedih melepas Edward yang harus bertugas di Bandung.

"Ya, mereka berat hati juga," ucapnya.

Edward berharap, postingannya di channel Youtube tentang orang-orang Papua, menjadi inspirasi bagi masyarakat lainnya untuk membantu saudara-saudara di Papua.

"Positifnya orang bisa melihat dunia yang lain, dan bisa menyalurkan berkat bagi banyak orang," tutur pria yang akrab disapa anak-anak Papua sebagai "Pak Edo" ini.

Komentar