Cerpen: Kerupuk Tersisa Di Ujung Senja

ASKARA - Di usia yang sudah merangkak 90 tahun, tubuh Mbah Niti telah bungkuk, matanya kabur, dan langkahnya rapuh. Tapi hidup tak menunggu iba. Setiap hari, ia memanggul kerupuk keliling kampung demi sesuap nasi. Di balik keriput wajah dan tongkat kayu lusuhnya, ada kisah panjang tentang kesetiaan pada hidup yang keras, namun tak pernah membuatnya patah.
Langit pagi di Dusun Karangrejo masih menyimpan sisa embun yang belum sempat menguap. Dari bilik bambu rumah reot, aroma jemuran kerupuk semalam masih menempel di udara. Di sudut ruangan sempit itu, Mbah Niti duduk bersandar, membungkus kerupuk-kerupuk yang telah ia jemur sejak kemarin. Jemarinya gemetar, kulitnya keriput dan menguning, namun tetap bekerja pelan-pelan penuh kehati-hatian.
Ia menaruh kerupuk-kerupuk itu ke dalam tampah anyaman bambu, lalu mengikatnya dengan tali rafia yang sudah mulai terurai. Di sampingnya, tongkat kayu tua berdiri seperti sahabat setia. Usianya mungkin hampir sama dengan pemiliknya.
“Kerupuk... kerupuk Mbah, enak, gurih...,” begitu suara parau yang setiap hari menggema dari mulut Mbah Niti, meski kadang hanya angin yang menjadi pendengarnya.
Tak banyak warga yang membeli. Kerupuknya kalah dengan jajanan modern. Kadang-kadang ada anak kecil yang iseng menawar, tapi lebih sering Mbah hanya jalan tanpa arah, menyusuri kampung yang ia kenal sejak kecil.
Musim hujan jadi musim paling berat. Kerupuk-kerupuk yang mestinya renyah berubah jadi lembek, masuk angin. Tidak bisa dijual. Pulanglah Mbah Niti dengan langkah lebih gontai dari biasanya.
Sore hari, di bawah cahaya petromaks yang temaram, Mbah Niti duduk bersila di dapur kecil. Di atas tungku tanah, seonggok nasi yang gosong dipanaskan. Bau hangus memenuhi ruang, tapi Mbah tak menggubris. Ia mengaduk pelan kerak nasi itu, meniupnya perlahan, lalu menyuapkan ke mulut.
“Alhamdulillah... masih ada yang bisa dimakan,” lirihnya, sambil menatap dinding bambu yang bolong.
Sejak suaminya wafat dua puluh tahun lalu, Mbah hidup seorang diri. Anak-anaknya tiga orang yang dulu ia timang dengan cinta dan kerja keras kini telah berkeluarga. Tapi roda hidup membuat mereka menjauh. Bukan karena benci, hanya karena keadaan. Mereka tak mampu mengunjungi, bahkan sekadar mengirim kabar pun jarang.
Namun, Mbah tak pernah mengeluh. Tak satu kalimat pun pernah ia ucapkan tentang rasa ditinggal atau kecewa. Pernah, seorang tetangga muda yang baru saja kehilangan pekerjaan mengeluh di teras rumahnya. Mbah hanya tersenyum, menepuk pelan tangan anak itu.
“Mereka juga sedang berjuang, seperti aku dulu,” ucapnya pelan.
Namun dalam keheningan malam, ketika lampu petromaks dimatikan dan hanya suara jangkrik yang tinggal, kadang Mbah menatap foto lawas anak-anaknya. Ia menyentuh perlahan bingkai yang kusam, dan berbisik, “Kadang aku bertanya, apa aku pernah jadi ibu yang cukup baik?”
Setiap pagi, ketika matahari baru muncul malu-malu, Mbah sudah bersiap. Dengan tongkat di tangan kanan, dan tampah kerupuk di tangan kiri, ia berjalan menembus jalan kampung yang mulai ramai oleh suara motor dan hiruk pikuk orang muda. Tak banyak yang menoleh padanya. Tapi ia tetap menyapa.
“Pagi, Nak... sehat-sehat, ya...” begitu sapanya pada siapa pun.
Kadang ada yang membalas, kadang tidak. Tapi Mbah Niti tidak pernah marah. Ia percaya, seperti pohon yang tetap memberi buah meski dilempari batu, begitulah hidup seharusnya: memberi, tak peduli diterima atau tidak.
Pernah suatu siang, hujan deras mengguyur ketika Mbah masih di jalan. Kerupuknya basah semua. Ia berteduh di bawah emper toko yang sudah tutup. Tubuhnya menggigil. Beberapa orang lalu lalang, tapi tak satu pun yang berhenti.
Ketika hujan reda, ia berdiri dengan susah payah, dan pulang dengan kerupuk basah. Di rumah, ia menyusunnya satu-satu di atas tikar, berharap besok masih bisa dijemur. Tapi ia tahu, sebagian besar pasti akan dibuang.
Malam itu, seperti malam-malam lain, ia duduk di ranjang bambu sambil membaca tasbih. Bibirnya komat-kamit dalam doa yang panjang. Ia berdoa bukan untuk kekayaan, bukan untuk keajaiban, hanya satu:
“Ya Allah, beri aku kekuatan agar bisa tetap berjalan besok...”
Di sudut ruang tamu, tergantung foto lawas suaminya, berpakaian lurik dengan peci miring. Di sebelahnya foto anak-anaknya waktu kecil, masih polos, masih ceria. Mbah menatap foto itu lama-lama, lalu tersenyum.
“Mungkin mereka sudah lupa wajah ini,” gumamnya.
Tapi Mbah tak pernah menyimpan dendam. Ia tahu, manusia kadang tak sempat kembali bukan karena lupa, tapi karena terlalu sibuk dengan luka mereka sendiri.
Suatu sore, seorang mahasiswa KKN yang tinggal tak jauh dari rumah Mbah, mampir dan mengajak bicara. Ia menulis tentang kehidupan lansia untuk tugas akhirnya. Ia duduk, mendengar kisah demi kisah yang meluncur dari mulut Mbah. Tentang jualan kerupuk sejak muda. Tentang jatuh bangun, tentang kesepian, tentang harapan yang tak pernah padam.
“Kenapa Mbah masih semangat jualan, padahal sering rugi?”
Mbah tersenyum. “Karena hidup harus jalan terus. Kalau aku berhenti, nanti aku mati pelan-pelan. Sabar itu obatnya hidup. Aku nggak mau nyusahin siapa-siapa.”
Pemuda itu terdiam, lalu bertanya lirih, “Mbah... bahagia itu apa, sih?”
Mbah memejamkan mata sejenak, seolah mencicipi rasa dari kata yang ditanyakan.
“Bahagia itu bukan soal punya atau tidak. Bahagia itu ketika kita masih bisa memberi, masih bisa menyapa dunia... walau cuma lewat kerupuk yang tersisa.”
Pemuda itu menatap dengan mata berkaca. Di balik tubuh renta dan pakaian lusuh, ada jiwa yang lebih muda dari usianya. Jiwa yang teguh, tak retak meski dipukul badai berkali-kali.
Beberapa minggu kemudian, warga mulai tahu tentang Mbah Niti dari tulisan yang viral. Beberapa datang membeli kerupuk. Anak-anak sekolah menyambangi rumahnya. Bahkan seorang anak Mbah akhirnya datang, membawa cucu yang belum pernah bertemu neneknya.
Hari itu, Mbah tak menjual kerupuk. Ia duduk di kursi bambu, menyuapi cucunya dengan kerak nasi hangat yang ia banggakan.
“Nenek dulu hidup dari ini,” katanya, sembari mengusap kepala cucunya. Matanya berkaca, tapi bibirnya tersenyum.
Malam tiba. Suara adzan maghrib berkumandang. Mbah bangkit, mengambil wudhu dengan perlahan. Dalam doanya malam itu, ia tak meminta rezeki atau umur panjang. Ia hanya memohon satu:
“Ya Allah... terima kasih sudah mengizinkanku tetap menyapa dunia, meski dengan kerupuk dan kerak nasi.”
Setelah salat, ia duduk di ranjang bambu, memandangi cucunya yang tertidur di tikar. Nafas kecil itu mengalun tenang. Dalam hati, Mbah berbisik, “Dulu ayahmu juga seperti ini... kecil, hangat, dan penuh harap. Semoga dia bisa kembali melihat dunia dengan mata anak-anaknya.”
Langit Karangrejo malam itu jernih. Bintang terlihat lebih banyak dari biasanya. Seperti memberi tempat bagi satu bintang lain yang baru lahir dari rumah kecil yang menyimpan sabar tak bersyarat. (Dwi Taufan Hidayat)
Komentar