Rabu, 09 Juli 2025 | 22:39
NEWS

Raja Ampat Terancam! Prof. Rokhmin Dahuri: Hentikan Tambang Nikel Demi Kelestarian Surga Bawah Laut

Raja Ampat Terancam! Prof. Rokhmin Dahuri: Hentikan Tambang Nikel Demi Kelestarian Surga Bawah Laut
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS dan Kepulauan Raja Ampat (ist)

ASKARA - Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, menyerukan penghentian segera aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat. Dalam pernyataannya pada Sabtu (7/6).

"Maka, selamatkan Raja Ampat dari kerusakan oleh pertambangan nikel. Stop pertambangan nikel sekarang juga!" tegasnya.

Prof. Rokhmin Dahuri mengingatkan bahwa eksploitasi nikel mengancam ekosistem laut yang menjadi kebanggaan Indonesia dan dunia.

Beliau menekankan bahwa, pembangunan ekonomi Indonesia harus berbasis konservasi yang berkelanjutan, mariculture berkelanjutan, perikanan tangkap berkelanjutan. Serta pariwisata bahari ramah lingkungan sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan dan menguntungkan bagi masyarakat lokal. 

Prof. Rokhmin Dahuri menyebut biodiversity adalah fondasi kehidupan semua makhluk hidup. Oleh karena itu, menjaga Raja Ampat bukan hanya demi Indonesia, tetapi juga untuk kelangsungan ekologi dunia.

"Raja Ampat bukan hanya basis kehidupan Indonesia, tetapi juga dunia," ujar Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu. Ia menekankan pentingnya menjaga warisan alam untuk generasi mendatang.

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University itu menyampaikan, Kepulauan Raja Ampat memiliki ekosistem terumbu karang dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) tertinggi di dunia. Termasuk 75% spesies karang global dan lebih dari 1.600 spesies ikan dan 540 jenis karang, baik biodiversity pada level genetic, spesies maupun ekosistem. Hal ini menjadikannya salah satu destinasi wisata bahari terbaik dunia. 

"Sementara itu, secara bio-ekologis, biodiversity adalah fondasi dari kehidupan makhluk hidup. Oleh karenanya, Raja Ampat bukan hanya basis kehidupan Indonesia, tetapi juga dunia," katanya.

Namun, ekspansi tambang nikel telah menyebabkan deforestasi, sedimentasi, dan pencemaran laut yang merusak terumbu karang dan habitat biota laut lainnya. Selain dampak ekologis, aktivitas tambang juga mengancam mata pencaharian masyarakat adat yang bergantung pada perikanan dan pariwisata. 

Ancaman Tambang Terhadap Raja Ampat

Pertambangan nikel di Raja Ampat memiliki dampak serius terhadap ekosistemnya yang kaya dan unik. Menurut Greenpeace, lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi khas telah dibabat di tiga pulau kecil di Raja Ampat: Pulau Gag, Kawe, dan Manuran. Ketiganya merupakan bagian dari pulau-pulau kecil yang menurut UU No. 1 Tahun 2014 sebenarnya dilindungi dari aktivitas pertambangan.

Pembukaan lahan dan pengerukan tanah oleh tambang itu menyebabkan limpasan tanah ke pesisir, yang mengakibatkan sedimentasi. Hal ini berpotensi besar merusak terumbu karang dan ekosistem laut yang menjadi pusat biodiversitas dan sumber mata pencaharian masyarakat lokal.

Berikut beberapa dampak utama yang telah diidentifikasi:

1.  Kerusakan Terumbu Karang: Aktivitas tambang menyebabkan sedimentasi yang mengalir ke laut, menutupi terumbu karang dan menghambat fotosintesis, sehingga banyak karang mati.

2. Pencemaran Air: Limbah tambang dapat mencemari perairan, mengubah kadar asam air laut, yang berdampak pada kehidupan laut seperti ikan dan spesies endemik.

3. Deforestasi dan Hilangnya Habitat: Lebih dari 500 hektare hutan alami telah dibabat untuk pertambangan, mengancam spesies darat dan laut yang bergantung pada ekosistem ini.

4. Penurunan Pariwisata: Keindahan Raja Ampat menarik wisatawan dari seluruh dunia, tetapi kerusakan lingkungan dapat mengurangi daya tariknya, berdampak pada ekonomi lokal.

5. Ancaman terhadap Masyarakat Adat: Konflik lahan antara perusahaan tambang dan masyarakat adat semakin meningkat, mengancam budaya dan mata pencaharian mereka.

Banyak pihak, termasuk aktivis lingkungan dan tokoh masyarakat, menyerukan penghentian tambang nikel di Raja Ampat untuk melindungi ekosistem yang tak ternilai ini.

Masyarakat adat, seperti yang diwakili oleh Elon Salomo Moifilit dari BPAN Moi Maya, menolak kehadiran industri tambang yang dianggap merugikan lingkungan dan sosial budaya.

Menurut Ronisel Mambrasar, pemuda aliansi dari kampung Manyaifun, kehadiran tambang mengganggu tatanan sosial masyarakat adat. Kehidupan yang sebelumnya harmonis pun menjadi rentan konflik akibat perebutan sumber daya, batas wilayah, dan pengaruh pihak luar. 

"Penduduk lokal menggantungkan hidup pada laut dan hutan yang sehat. Dengan masuknya tambang, menurut Greenpeace, akses terhadap sumber pangan dan mata pencaharian berkurang drastis, memicu kerentanan ekonomi dan sosial," ungkapnya.

Komentar