Selasa, 13 Mei 2025 | 17:50
OPINI

Uang Mengalahkan Hukum: Warisan Jokowi dan Beban Pemerintahan Baru

Uang Mengalahkan Hukum: Warisan Jokowi dan Beban Pemerintahan Baru
Prabowo Subianto dan Jokowi (antara)

Oleh: Agusto Sulistio *)

ASKARA - Di tengah harapan rakyat terhadap transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto, warisan yang ditinggalkan justru penuh beban. Infrastruktur megah berdiri, namun ekonomi rakyat tersungkur. Utang negara membengkak, sementara hukum seolah tumpul ke atas, hanya tajam ke bawah. Anehnya, kebijakan Jokowi yang tak berhasil dan menyengsarakan rakyat justru seakan tidak bisa disentuh oleh hukum. Ini bukan semata persoalan politik, tapi tentang bagaimana kekuasaan telah dilanggengkan melalui kekuatan modal, kooptasi hukum, dan kendali atas lembaga-lembaga demokrasi.

Bukan rahasia lagi bahwa Jokowi menggunakan kekuasaan untuk membangun dinasti politik. Dimulai dari mendorong anaknya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi Wali Kota Solo pada Pilkada 2020, dan kemudian secara kontroversial maju sebagai calon wakil presiden 2024 meski tidak memenuhi syarat usia sesuai UUD 1945. Persoalan ini diakali melalui keputusan Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh iparnya sendiri, Anwar Usman, yang akhirnya terbukti melanggar etik berat oleh Majelis Kehormatan MK.

Penerapan kekuasaan juga digunakan untuk memuluskan jalan menantu Jokowi, Bobby Nasution, menjadi Wali Kota Medan, dan kini sebagai Gubernur Sumatera Utara. Ini bukan sekadar langkah politik biasa, tetapi bagian dari pola sistematis pembentukan politik dinasti yang dibiayai oleh kekuasaan negara dan dibungkus citra "pemimpin muda".

Menurut data Kementerian Keuangan RI, total utang pemerintah Indonesia per akhir 2024 telah menembus lebih Rp. 8.300 triliun, meningkat drastis dari sekitar Rp. 2.600 triliun saat Jokowi mulai menjabat pada 2014. Pemerintah Prabowo saat ini harus membayar bunga utang lebih dari Rp 500 triliun per tahun, menyisakan ruang sempit bagi anggaran sosial dan ekonomi kerakyatan. Rakyat dipaksa menerima kebijakan beban fiskal yang berat, sementara kekuasaan digunakan untuk mengamankan posisi keluarga. Sehingga tak ada pilihan lain Presiden melakukan efisiensi anggaran akibat kebijakan Jokowi yang ugal-ugalan saat memimpin Indonesia selama 10 tahun.

Yang lebih ironis, setiap kritik terhadap praktek kekuasaan ini dijawab dengan narasi pencitraan, distribusi bantuan sosial, dan proyek-proyek infrastruktur yang tak selalu menyentuh kebutuhan rakyat paling bawah. Seperti yang pernah dilakukan oleh pemimpin Rusia, Vladimir Putin, ketika hukum, media, dan institusi negara disetir untuk menjaga kekuasaan melalui loyalitas elite dan penguasaan modal.

Fenomena ini disebut Hannah Arendt sebagai bentuk “otoritarianisme tersembunyi” yang tumbuh di dalam sistem demokrasi formal. Di Indonesia, meskipun Jokowi tidak didukung secara ideologis oleh mayoritas rakyat, kekuatannya tetap terasa dominan. Karena dalam sistem ini, uang adalah kunci pengaruh, bukan prinsip atau akal sehat publik.

Plato sudah jauh-jauh hari memperingatkan dalam "The Republic," bahwa demokrasi yang kehilangan arah moral akan melahirkan tirani dalam wajah populisme. "Tirani tumbuh dari demokrasi ketika rakyat terlalu bebas dan tidak terkendali, sehingga yang paling licik dapat membeli kekuasaan." Di Indonesia hari ini, hukum bukan lagi penjaga keadilan, tapi instrumen pembenaran kepentingan.

Ketimpangan ekonomi juga menguatkan cengkeraman kekuasaan. Laporan Oxfam menyebut 4 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta rakyat termiskin. Ini memperkuat dugaan bahwa pertumbuhan ekonomi di era Jokowi cenderung menguntungkan segelintir elit.

John Locke dalam "Two Treatises of Government" mengatakan, ketika pemerintah menyalahgunakan mandatnya, rakyat bukan saja boleh, tapi harus mengganti pemerintahan itu. Tapi hari ini, rakyat tak lagi memiliki kekuatan ideologis. Gerakan rakyat dilemahkan oleh ekonomi yang sulit, media yang dikendalikan, dan elite yang dibeli. Demokrasi kehilangan tenaganya.

Pemerintahan Prabowo hari ini menghadapi pilihan sulit. Apakah akan terus memelihara sistem yang sarat utang, oligarki, dan hukum yang tak menyentuh elite? Atau berani memutus warisan ini demi masa depan yang lebih adil dan demokratis?

Jika hukum tetap tunduk pada kekuasaan dan suara rakyat kalah oleh kekuatan uang, maka sejarah hanya akan mengulang luka yang sama.

*) Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)

Komentar