Rambut yang Tak Pernah Tumbuh Lagi
Sebuah Catatan dari Tahun 1643

ASKARA - Aku, Laksamana Matias de Abreu, duduk di depan perapian di rumah tua di Lisbon, menatap lembaran kulit kambing yang sudah menguning. Tulisan di atasnya hampir pudar, tetapi sumpah yang tertera masih membekas di ingatanku.
"Tuan masih memikirkan surat itu?"
Suara pelayanku memecah kesunyian.
"Ya," jawabku sambil mengusap janggut putih yang sudah menipis. "Ini adalah pengakuan terakhir Ratu Kalinyamat... atau lebih tepatnya, bukan Ratu Kalinyamat."
Pelayan itu mengerutkan kening.
Aku menarik napas panjang dan mulai bercerita.
Jepara, 1550
Ketika Pangeran Hadiri terbunuh oleh Arya Penangsang, seluruh kerajaan berduka. Tapi yang paling hancur adalah istrinya, sang Ratu. Ia mencukur habis rambutnya, bersumpah tidak akan menikah lagi, dan bersumpah membalas dendam.
Tapi apa yang tidak diketahui siapa pun adalah ini: Ratu yang sebenarnya telah meninggal malam itu juga.
Yang mengambil alih tahta adalah adiknya, Dyah Pitaloka, yang selama ini hidup dalam bayang-bayang sang kakak. Wajah mereka mirip, dan dengan rambut yang dicukur, siapa yang bisa membedakan?
Dyah Pitaloka bukanlah wanita lemah. Ia tahu Arya Penangsang dan Portugis adalah ancaman. Tapi ia juga tahu satu hal: kakaknya tidak pernah mencintai Pangeran Hadiri.
Sebelum meninggal, Ratu sebenarnya merencanakan untuk menyerahkan Jepara kepada Portugis sebagai imbalan perlindungan.
Dyah Pitaloka tidak bisa membiarkan itu terjadi.
Malaka, 1574
Armada Jepara menggempur benteng Portugis. Aku, sebagai perwira muda, menyaksikan keganasan mereka. Tapi yang paling kukenang adalah bendera kapal utama: gambar gunung dan laut, bukan lambang kerajaan Jepara biasa.
Malam sebelum pertempuran terakhir, seorang kurus dengan jubah hitam menyusup ke tendaku.
"Kau akan membawa pesan ini kepada Raja Portugis," bisiknya, menyerahkan segulung kertas.
"Atas nama siapa?" tanyaku.
"Atas nama wanita yang rambutnya tak pernah tumbuh lagi."
Esok harinya, armada Jepara mundur tiba-tiba.
Lisbon, 1575
Surat itu sampai ke tangan Raja. Isinya singkat:
"Aku bukan Ratu Kalinyamat. Aku hanya penjaga sumpahnya. Jepara tidak akan pernah jatuh ke tanganmu, karena selama orang-orang masih percaya pada Ratu yang gagah berani, mereka akan terus melawan."
Raja marah. Tapi yang lebih membuatnya marah adalah fakta bahwa kekalahan mereka di Malaka direncanakan.
Armada Jepara sengaja dikorbankan agar Aceh dan Johor bisa menang.
Kembali ke Tahun 1643
Pelayanku tertegun.
"Jadi... Ratu Kalinyamat yang legendaris itu...?"
"Akhirnya menikah lagi," jawabku, tersenyum getir.
"Tapi bukankah dia bersumpah—"
"Dyah Pitaloka tidak pernah bersumpah. Rambutnya dicukur untuk menyamarkan identitasnya. Setelah perang usai, ia turun tahta, menumbuhkan kembali rambutnya, dan hidup sebagai rakyat biasa."
Aku memegang surat itu lagi.
"Yang sebenarnya mengejutkan bukanlah kebohongannya... tapi kenapa tidak ada yang menyadarinya."
Pelayanku diam.
Lalu aku menambahkan, sambil tertawa pelan:
"Dan tahukah kau? Arya Penangsang tidak pernah membunuh Pangeran Hadiri."
Tapi itu... adalah cerita untuk lain waktu.(Dwi Taufan Hidayat)
Komentar