Literasi, Emansipasi, dan Rumah yang Terlupa: Catatan Seorang Ibu Menyambut Hari Kartini

Oleh: Yuni R. Levesque *
ASKARA - Kartini adalah simbol perjuangan perempuan Indonesia. Bukan hanya karena keberaniannya bersuara di tengah kungkungan budaya, tetapi juga karena pemikirannya yang melampaui zamannya—tentang pendidikan, peran perempuan, dan pentingnya keluarga. Menyambut Hari Kartini tahun ini, saya ingin berbagi refleksi sebagai seorang ibu yang terus bertanya: bagaimana seharusnya perempuan memaknai literasi, dan di mana tempat keluarga dalam perjuangan itu?
Di berbagai ruang dan forum, saya melihat banyak perempuan yang aktif dalam kegiatan literasi. Mereka hadir di berbagai acara, berdiskusi, mengikuti seminar, menjadi pembicara, bahkan menyemarakkan kegiatan komunitas literasi yang terus bertumbuh. Ini tentu menggembirakan. Namun, di tengah semarak tersebut, muncul pula kegelisahan yang sulit saya abaikan: apakah semangat itu sudah menyentuh lingkup yang paling dekat, yakni rumah dan keluarga?
Sebagai seorang ibu, saya sering bertanya dalam hati: di tengah banyaknya kegiatan luar yang diikuti, apakah mereka juga meluangkan waktu yang sama untuk anak-anak dan keluarga? Literasi bukan sekadar menghadiri forum atau memposting foto di media sosial saat mengikuti kegiatan literasi. Literasi adalah proses panjang yang seharusnya tumbuh dari rumah—dari membacakan cerita sebelum tidur, dari percakapan reflektif bersama anak, dari membangun kebiasaan membaca dan berpikir kritis dalam kehidupan sehari-hari.
"Di tengah serunya panggung literasi, ada perempuan-perempuan yang berjalan dalam senyap. Mereka tak kerap hadir di forum-forum ramai, tak tampil sebagai pembicara, tak pula sibuk dari satu komunitas ke komunitas lain. Namun dari balik pintu rumah, mereka menyalakan cahaya: mendongeng dengan mata yang berbinar, membuka ruang kecil untuk anak-anak belajar, menulis, menyulam makna lewat seni dan cerita. Tanpa harus eksis di banyak kegiatan, mereka menanamkan benih literasi—perlahan, namun tak pernah lelah. Mereka tak dikenal karena kehadiran publiknya, tapi karena hati mereka hadir sepenuhnya di tempat yang paling penting: di rumah, di tengah anak-anak, di lingkungan yang mereka cintai."
Sayangnya, karena tidak terlihat, mereka kerap tidak dianggap sebagai bagian dari gerakan atau aktivisme literasi. Padahal, bukankah membangun literasi seharusnya dimulai dari rumah, dari keseharian yang paling nyata? Bukankah esensi gerakan ini adalah membentuk generasi yang berpikir kritis, berdaya, dan mencintai ilmu—mulai dari keluarga sendiri?
Saya tidak sedang mengkritik keterlibatan perempuan di ruang publik. Justru sebaliknya, saya percaya perempuan memiliki peran besar dalam perubahan sosial dan patut hadir di ruang-ruang strategis. Namun, perjuangan yang sejati adalah ketika suara yang kita sampaikan juga menjadi nilai yang kita jalani—terutama dalam mendidik anak-anak kita.
Kartini masa kini tidak hanya berbicara tentang kesetaraan. Ia hadir untuk keluarganya, menyalakan semangat membaca dan berpikir di tengah anak-anaknya, serta membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari ruang-ruang kecil yang paling akrab.
Hari Kartini bukan sekadar mengenang sejarah, tapi momen untuk bertanya pada diri:
Sudahkah kita menjadi Kartini di rumah kita sendiri?
* Penulis adalah seorang ibu, jurnalis, dan penggiat literasi keluarga.
Komentar