Korupsi Sebagai Budaya? Tinjauan dari Perspektif Budaya, Politik, Hukum, dan Kepatutan Sosial

"Kenapa orang Indonesia selalu mempromosikan batik, reog? Kok korupsi nggak? Padahal korupsilah budaya kita yang paling mahal." Sujiwo Tejo
ASKARA - Pernyataan satir yang dikutip dalam tulisan Sujiwo Tejo di atas menggambarkan keresahan terhadap fenomena korupsi di Indonesia. Dalam konteks ini, korupsi bukan hanya dilihat sebagai tindakan kriminal, tetapi juga sebagai sesuatu yang telah mengakar dalam tatanan sosial, politik, dan budaya. Bagaimana kita harus menyikapi realitas ini? Apakah korupsi benar-benar telah menjadi "budaya" yang melekat di Indonesia?
1. Perspektif Budaya: Korupsi dan Warisan Feodalisme
Dari sisi budaya, beberapa ahli menilai bahwa praktik korupsi di Indonesia memiliki jejak panjang dalam sistem feodalisme yang masih berpengaruh hingga saat ini. Menurut Prof. Ariel Heryanto, seorang pakar budaya dari Monash University, warisan kolonial dan sistem patronase yang kuat di Indonesia membuat relasi kuasa sering kali berjalan dalam pola transaksional. "Korupsi bukanlah budaya dalam arti nilai luhur, tetapi praktik yang diwariskan akibat struktur sosial yang belum sepenuhnya demokratis," ujarnya.
Di sisi lain, budaya "ewuh pakewuh" dan "asal bapak senang" juga berkontribusi dalam membiarkan korupsi terus berkembang. Ketika seseorang melihat praktik korupsi di lingkungan kerja atau institusi pemerintahan, sering kali lebih memilih diam daripada bersuara, karena takut akan dampak negatif bagi dirinya sendiri.
2. Perspektif Politik: Korupsi sebagai Bagian dari Sistem Kekuasaan
Dalam dunia politik, korupsi sering dianggap sebagai alat mempertahankan kekuasaan. Dr. Burhanuddin Muhtadi, seorang pengamat politik, menilai bahwa sistem politik Indonesia yang masih sangat berbiaya tinggi membuka celah bagi praktik korupsi. "Politik transaksional dalam pemilu dan sistem oligarki membuat korupsi sulit diberantas. Para politisi yang terpilih sering kali merasa perlu mengembalikan modal politik mereka, sehingga korupsi menjadi jalan pintas," katanya.
Kasus-kasus seperti korupsi bansos, suap dalam proyek infrastruktur, hingga skandal di BUMN menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya terjadi di tingkat bawah, tetapi juga di puncak kekuasaan. Bahkan, dalam beberapa kasus, korupsi dilakukan secara sistematis dengan melibatkan banyak pihak.
3. Perspektif Hukum: Apakah Hukum Sudah Cukup Kuat?
Dari sudut pandang hukum, korupsi sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan penanganan serius. Namun, efektivitas penegakan hukum masih dipertanyakan. Dr. Mahfud MD, pakar hukum tata negara, menyoroti bahwa banyak kasus korupsi yang berakhir dengan vonis ringan. "Ketika koruptor dihukum rendah, mendapat remisi, atau bebas lebih cepat, publik kehilangan kepercayaan pada sistem hukum," katanya.
Hal ini terlihat dalam beberapa kasus korupsi besar di mana pelakunya mendapat hukuman yang relatif ringan dibandingkan dampak yang ditimbulkan. Selain itu, revisi Undang-Undang KPK yang melemahkan kewenangan lembaga antirasuah juga menimbulkan skeptisisme publik terhadap keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi.
4. Perspektif Kepatutan Sosial: Masyarakat yang Terbiasa dengan Korupsi?
Salah satu aspek yang membuat korupsi sulit diberantas adalah normalisasi praktik ini dalam kehidupan sehari-hari. Dr. Devie Rahmawati, sosiolog dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa masyarakat sering kali melihat korupsi sebagai hal yang "wajar" selama masih ada keuntungan yang diperoleh. "Dari pungutan liar di sekolah, uang pelicin dalam pengurusan administrasi, hingga suap dalam rekrutmen kerja—semuanya menunjukkan bahwa kita telah terbiasa dengan korupsi dalam berbagai bentuknya," jelasnya.
Di sisi lain, budaya permisif juga membuat korupsi semakin subur. Ketika seorang pejabat korupsi tetapi tetap dielu-elukan oleh masyarakat karena sering memberikan bantuan sosial atau membangun fasilitas umum, ini menunjukkan adanya kontradiksi dalam standar moral yang diterapkan masyarakat terhadap korupsi.
Kesimpulan: Korupsi Bukan Budaya, tetapi Penyakit Sosial yang Harus Diberantas
Meski ada anggapan bahwa korupsi telah menjadi "budaya", kenyataannya korupsi lebih tepat disebut sebagai penyakit sosial yang mengakar akibat kombinasi faktor politik, ekonomi, dan hukum yang lemah. Pernyataan satir dalam gambar di atas seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua—bahwa korupsi harus dilihat sebagai musuh bersama yang harus diberantas dengan kesadaran kolektif dan reformasi sistemik.
Tanpa upaya serius dari semua pihak—pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat—maka korupsi akan terus menjadi "budaya mahal" yang merugikan bangsa ini. (Dwi Taufan Hidayat)
Komentar