Polisi Dinilai Lamban Tangani Kasus Kekerasan Seksual pada Anak Miskin

ASKARA – Penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak miskin dinilai lamban dan penuh tekanan terhadap korban serta keluarganya. Hal ini terungkap dalam kasus yang menimpa Gadis, seorang anak berusia enam tahun di Kemayoran, Jakarta Pusat, yang menjadi korban kekerasan seksual oleh tetangganya sendiri. Laporan kasus ini telah dibuat sejak 28 Mei 2024, namun selama hampir sembilan bulan, perkembangan penyidikan berjalan sangat lambat.
Menurut Dr. Azas Tigor Nainggolan, advokat yang kini mendampingi Gadis dan ibunya, pihak kepolisian kerap menggunakan berbagai cara untuk menekan keluarga korban agar mencabut laporan. Polisi penyidik disebut berulang kali membujuk ibu Gadis untuk berdamai dengan keluarga pelaku, bahkan memperpanjang proses pemeriksaan agar pelapor merasa lelah dan stres. "Ini bukan pengalaman pertama saya menghadapi polisi yang cenderung malas menangani kasus kekerasan seksual pada anak dari keluarga miskin. Mereka lebih memilih menyelesaikan kasus dengan mediasi demi menghindari proses hukum yang panjang," ujar Tigor, Jumat (14/1).
Selain tekanan dari polisi, keluarga pelaku juga menggunakan pengaruh ketua RT dan RW untuk membujuk ibu Gadis agar mencabut laporan. Namun, dengan dukungan komunitas FAKTA dan aktivis lokal seperti Mas Jukimin, ibu Gadis tetap bertahan dalam perjuangannya menuntut keadilan. Hingga akhirnya, pada 24 Januari 2025, Polres Jakarta Pusat menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Meski demikian, hingga saat ini terlapor belum juga ditahan dan telah berpindah dari tempat tinggalnya.
Tigor menegaskan bahwa kasus Gadis bukan satu-satunya contoh ketidakberpihakan polisi terhadap korban kekerasan seksual dari keluarga miskin. Ia juga mendampingi kasus serupa di Polres Jakarta Timur, di mana dua perempuan menjadi korban kekerasan sejak Oktober 2023, namun hingga kini penyelidikan masih berlarut-larut. "Polisi sengaja menggantung kasus ini, membuat korban lelah dan akhirnya menyerah. Ini adalah pola umum dalam penanganan kasus yang tidak memiliki nilai ekonomis bagi polisi," ungkapnya.
Tak hanya itu, kasus lain yang dialami seorang anak bernama Melati juga mengalami perlakuan serupa. Dilaporkan ke Unit PPA Polres Jakarta sekitar empat bulan lalu, hingga kini kasusnya berjalan lambat dengan berbagai upaya mediasi yang diarahkan polisi agar korban mencabut laporan. "Polisi seharusnya melindungi korban, bukan justru membuat mereka semakin menderita. Sayangnya, dalam praktiknya, hak hukum dan keadilan sering kali tidak berpihak pada korban yang lemah, terutama anak-anak dan rakyat miskin," kata Tigor.
Menurutnya, banyak korban yang akhirnya menyerah karena ketidakadilan sistem. "Jika rakyat miskin melapor ke polisi, mereka harus siap mengalami kemalangan kedua. Kasus yang tidak memiliki 'nilai ekonomis' bagi polisi akan dipersulit hingga korban memilih mundur," tegasnya. Ia berharap ada reformasi dalam penegakan hukum agar kasus kekerasan seksual terhadap anak bisa ditangani secara profesional dan berkeadilan, tanpa membedakan latar belakang ekonomi korban.
Komentar