Rabu, 15 Januari 2025 | 17:05
NEWS

Seminar JAPFA for Indonesia Emas 2045

Prof. Rokhmin Dahuri Ungkap Potensi Ekonomi Biru untuk Mencapai Ketahanan Pangan Nasional

Prof. Rokhmin Dahuri Ungkap Potensi Ekonomi Biru untuk Mencapai Ketahanan Pangan Nasional
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS

ASKARA -  PT Japfa Comfeed Indonesia mengadakan seminar bertajuk "JAPFA for Indonesia Emas 2045: Nurturing Collaboration in Food Security" di JW Marriott Jakarta, Kamis, 5 Desember 2024.

Acara ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, akademisi, industri, dan organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu ketahanan pangan.

Salah satu pembicara utama dalam acara ini adalah anggota Komisi 4 DPR RI 2024 – 2029, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, yang menyampaikan pentingnya Ekonomi Biru dalam mencapai ketahanan pangan nasional dan pertumbuhan ekonomi inklusif menuju Indonesia Emas 2045.

Beliau menjelaskan bahwa pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

"Ekonomi Biru adalah konsep yang menekankan pada pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan ramah lingkungan," ujar Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - IPB University itu dengan tema bertema "Ekonomi Biru untuk Ketahanan Pangan dan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif menuju
Indonesia Emas 2045".

Dalam paparannya, Prof Rokhmin Dahuri menekankan bahwa dengan menerapkan ekonomi biru, Indonesia dapat memastikan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan, sebagai negara yang kaya sumber daya dengan jumlah penduduk 280 juta jiwa, dan posisi geoekonomi strategis yang terletak di pusat sistem rantai pasokan global; Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi negara maju (maju), sejahtera, dan berdaulat atau Indonesia Emas pada tahun 2045.

Menurut Mc. Kinsey (2012), Goldman dan Sachs (2019), dan Universitas Indonesia (2022), potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 10% per tahun. Namun, setelah 79 tahun kemerdekaannya (17 Agustus 1945), Indonesia masih menjadi negara berkembang dengan pendapatan menengah dengan GNI (Pendapatan Nasional Bruto) per kapita sebesar US$ 4.870 dan HDI (Indeks Pembangunan Manusia) sebesar 0,71 pada tahun 2023. Dengan tingginya angka stunting, malnutrisi, pengangguran, dan kemiskinan.

Menurut Bank Dunia dan UNDP (2023), suatu negara dapat dikategorikan sebagai negara maju dan kaya (berpenghasilan tinggi) jika GNI per kapitanya lebih tinggi dari US$ 14,005 dan HDI lebih besar dari 0,9.

Untuk mentransformasikan Indonesia dari negara berpendapatan menengah menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat (Indonesia Emas) pada tahun 2045, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia harus 8% per tahun, IPM-nya lebih tinggi dari 0,9 melalui berbagai kebijakan dan program pembangunan. termasuk swasembada pangan dan energi (keamanan), makan siang gratis (Makan Bergizi Gratis), industrialisasi ramah lingkungan, peningkatan pendidikan dan penelitian dan pengembangan, ekonomi hijau, dan ekonomi biru (kebijakan Presiden Prabowo Subianto, Asta Cita 2024 - 2029)

Sebagai negara kepulauan terbesar di muka bumi dengan 77% wilayahnya berupa lautan dan samudra, serta garis pantai sepanjang 108.000 km (terpanjang kedua di dunia setelah Kanada), Blue Economy memberikan potensi yang sangat besar untuk berkontribusi signifikan dalam mencapai 8% dari luas wilayah. 

Pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan dan energi, penurunan pengangguran dan kemiskinan secara signifikan, IPM 0,9, serta kelestarian lingkungan dan sosial menuju Indonesia Emas pada tahun 2045.

Sebagai negara kaya sumber daya dengan 280 juta populasi, dan posisi geoekonomi strategis yang terletak di pusat sistem rantai pasokan global; Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju (lanjutan), makmur, dan berdaulat atau Indonesia pada tahun 2045.

Sebagai negara kepulauan terbesar di Bumi dengan 77% dari wilayahnya dalam bentuk lautan dan lautan, dan garis pantai 108.000 km (yang terpanjang kedua di dunia setelah Kanada), ekonomi biru memberikan potensi besar untuk berkontribusi secara signifikan dalam mencapai 8% dari pertumbuhan ekonomi, makanan dan energi Keamanan, pengurangan signifikan dari pengangguran dan kemiskinan, 0,9 HDI, dan keberlanjutan lingkungan dan sosial terhadap Indonesia Golden pada tahun 2045.

Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru

Sejak pertengahan 1980-an, ungkap Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu, Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai respons untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme) dimana pembangunan ekonomi pada sisi lain justru melahirkan fakta bahwa 1,8 miliar orang masih miskin, 700 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang semakin melebar, krisis ekologi, dan Pemanasan Global.

Ekonomi Hijau didefinisikan sebagai ekonomi rendah karbon, hemat sumber daya, dan inklusif secara sosial yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi (UNEP, 2011).  Dan Ekonomi Biru merupakan penerapan Ekonomi Hijau di wilayah laut (in a Blue World) (UNEP, 2012). Sederhananya, Ekonomi Biru berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan” (Uni Eropa, 2019).

Ekonomi Biru adalah pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut yang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja dan kesejahteraan manusia, dan sekaligus menjaga kesehatan dan keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut (Bank Dunia, 2016). Ekonomi Biru adalah semua kegiatan ekonomi yang terkait dengan lautan dan pesisir. Ini mencakup berbagai sektor ekonomi yang mapan dan sektor yang sedang berkembang (EC, 2020).

“Ekonomi Biru juga mencakup manfaat ekonomi pesisir dan laut yang mungkin tidak dinilai dengan uang, seperti Perlindungan Pesisir, Keanekaragaman Hayati, Asimilator Sampah, Penyerap Karbon, dan Pengatur Iklim,” kata Duta Besar Kehormatan Jeju Islan dan Busan Metropolitan City Korea Selatan itu mengutip Conservation International, 2010.

Prof Rokhmin Dahuri juga menyebut, Ekonomi Biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menggunakan: (1) infrastruktur, teknologi, dan praktik hijau; (2) mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif; (3) dan pengaturan kelembagaan yang proaktif untuk memenuhi tujuan ganda yaitu melindungi pantai dan lautan, dan pada saat yang sama meningkatkan kontribusi potensialnya terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi (UNEP, 2012; PEMSEA, 2016)

“Ekonomi Biru adalah kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi) yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di daratan (wilayah daratan atas) yang menggunakan sumber daya alam dari pantai dan lautan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh umat manusia secara berkelanjutan,” kata Prof. Rokhmin Dahuri mengutip pendapatnya sendiri.

Prof Rokhmin Dahuri mengungkapkan, potensi Blue Economy Indonesia sangat besar.  Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2024  (Rp 3.400 triliun = US$ 212,5 miliar) atau 1,2 PDB Nasional saat ini. “Blue Economy Indonesia bisa menyediakan lapangan kerja untuk  45 juta orang atau 40  persen  total angkatan kerja Indonesia,” tuturnya.

Namun, potensi yang amat besar itu belum dimaksimalkan.  Sebagai contoh, kata Prof Rokhmin Dahuri, pada tahun 2018, kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 14% (Kemenko Marves, 2018).  "Negara lain yang potensi kelautannya lebih sedikit (seperti Thailand, Korea Selatan, Jepang, Maladewa, Norwegia, dan Islandia), memberikan kontribusi lebih 30 persen," papar ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Sayangnya, penerapan blue economy di Indonesia yang masih belum optimal padahal memiliki potensi yang sangat besar untuk pembangunan bangsa. Prof. Rokhmin Dahuri memperkirakan ada sejumlah hal yang mendasarinya. Salah satunya adalah masyarakat Indonesia yang enggan keluar dari  zona nyaman. “Orang Indonesia senang di zona nyaman. Nyaman dengan budi daya konvensional lalu tidak ada pengembangan,” ujarnya.

11 Sektor Ekonomi Kelautan

Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam mengembangkan ekonomi kelautan. Beliau mengidentifikasi ada 11 sektor ekonomi kelautan yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Berikut adalah sektor-sektor tersebut:

 (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) ESDM, (6) pariwisata bahari, (7) perhubungan laut, (8) industri dan jasa maritim, (9) kehutanan pesisir (coastal forestry), (10) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, dan (11) SDA kelautan non-konvensional.

"Total peluang kerja dari 11 sektor ekonomi laut: 45 juta orang (35% dari total tenaga kerja). Pada tahun 2018, kontribusi sektor ekonomi laut Indonesia terhadap PDB negara itu adalah 10,8%," ujarnya.


Prof Rokhmin Dahuri menegaskan, dengan mengembangkan sektor-sektor ekonomi kelautan ini secara berkelanjutan, Indonesia dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat menjadi kunci untuk mewujudkan potensi besar ini.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri, menjelaskan potensi besar ekonomi biru dalam meningkatkan keamanan pangan di Indonesia dan berkontribusi untuk memberi makan dunia. Dalam pandangannya, laut dan sumber daya pesisir Indonesia memiliki peran strategis dalam mencapai ketahanan pangan nasional dan mendukung ekonomi global.

Kemudian, Prof Rokhmin Dahuri menguraikan definisi makanan (UU No. 18/2012 tentang makanan), antara lain : Makanan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber biologis, produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, ternak, air, dan air, baik diproses atau diproses, yang dimaksudkan sebagai makanan atau minuman untuk konsumsi manusia; Termasuk aditif makanan, bahan baku makanan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses persiapan, pemrosesan, dan / atau membuat makanan atau minuman.

Makanan dari sumber air (makanan biru) adalah bagian mendasar dari sistem pangan, ketahanan pangan, dan nutrisi. Menurutnya, peran ekonomi yang dimainkan makanan biru sangat penting bukan hanya sebagai sumber makanan penting tetapi dalam memberikan mata pencaharian. Sekitar 120 juta pekerja penuh waktu dan paruh waktu langsung bergantung pada rantai nilai perikanan penangkapan komersial.

Makanan biru memberikan nutrisi penting dan protein yang terjangkau. Ikan menyediakan 17% dari rata-rata protein hewani untuk lebih dari 3,1 miliar orang, dan lebih dari 50% di banyak negara di belahan bumi selatan.

Makanan biru adalah salah satu makanan super paling berlimpah dan merupakan sumber nutrisi yang vital untuk lebih dari 3 miliar orang, menyediakan seng, vitamin A dan asam lemak omega-3. 845 juta orang akan kurang dalam mikronutrien esensial jika overfishing berlanjut.

Definisi Akuakultur

Menurut definisi, tegas Prof. Rokhmin Dahuri, mengutip Parker, 1998, Akuakultur adalah pertanian (produksi) finfish, crustacea, moluska, invertebrata, ganggang, tanaman, dan organisme lain melalui penetasan dan / atau pemeliharaan di ekosistem perairan. 

Komoditas (Output) Akuakultur
Peran dan fungsi konvensional akuakultur menyediakan:(1) protein hewani termasuk finfish, krustasea, moluska, dan beberapa invertebrata; (2) rumput laut; (3) ikan hias dan biota air lainnya; dan (4) perhiasan seperti tiram mutiara dan organisme air lainnya.

Peran dan fungsi budidaya yang tidak konvensional (muncul atau di masa depan): (1) pakan berbasis ganggang; (2) Produk farmasi dan kosmetik dari senyawa bioaktif mikroalga, makroalga (rumput laut), dan organisme air lainnya; (3) Bahan baku berasal dari biota air untuk segudang jenis industri seperti kertas, bioplastik, film, dan lukisan; (4) biofuel dari mikroalga, makroalga, dan biota air lainnya; (5) pariwisata berbasis akuakultur; dan (6) carbon sink yang memitigasi pemanasan global. "Hingga saat ini, pemanfaatan bioteknologi laut Indonesia masih sangat rendah ( kurang 10% dari total potensi)," tegasnya.

Banyak produk industri bioteknologi laut, yang bahan baku yang berasal dari Indonesia diekspor ke negara lain  negara-negara pengimpor ini kemudian memprosesnya ke berbagai produk jadi seperti obat-obatan, kosmetik, dan makanan sehat  yang kemudian diekspor kembali ke Indonesia. Contoh: mentimun laut, squalene, minyak ikan, dan omega-3.

Memberi Makan Dunia

Prof. Rokhmin Dahuri, menjelaskan potensi besar ekonomi biru dalam meningkatkan keamanan pangan di Indonesia dan berkontribusi untuk memberi makan dunia. Dalam pandangannya, laut dan sumber daya pesisir Indonesia memiliki peran strategis dalam mencapai ketahanan pangan nasional dan mendukung ekonomi global.

Prof. Rokhmin menegaskan bahwa ekonomi biru dapat meningkatkan produksi pangan melalui budidaya perikanan yang berkelanjutan dan pemanfaatan sumber daya laut secara optimal. Laut Indonesia yang kaya akan sumber daya hayati menyediakan berbagai jenis ikan, rumput laut, dan biota laut lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Dengan manajemen yang baik, sumber daya ini dapat memberikan suplai makanan yang stabil dan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain memenuhi kebutuhan dalam negeri, potensi ekonomi biru Indonesia juga dapat berkontribusi signifikan dalam menyuplai pangan global. Prof. Rokhmin menyatakan bahwa dengan meningkatkan kapasitas produksi dan memperluas pasar ekspor, Indonesia dapat menjadi salah satu pemasok utama produk pangan laut di dunia. Hal ini tidak hanya meningkatkan perekonomian nasional, tetapi juga membantu memenuhi kebutuhan pangan global yang terus meningkat seiring pertumbuhan populasi dunia.

Prof. Rokhmin juga menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem laut untuk memastikan keberlanjutan ekonomi biru. Pengelolaan sumber daya laut yang baik akan mendukung konservasi lingkungan, mengurangi emisi karbon, dan menjaga keanekaragaman hayati laut. Hal ini sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang diusung oleh berbagai negara di dunia.

Untuk mewujudkan potensi ini, Prof. Rokhmin mengusulkan beberapa strategi pengembangan ekonomi biru, antara lain:
Pertama, Penguatan Riset dan Inovasi: Meningkatkan investasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan dan kelautan.
Kedua, Peningkatan Kualitas SDM: Melakukan pelatihan dan pendidikan bagi para nelayan dan petani rumput laut untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka.
Ketiga, Pengembangan Infrastruktur: Membangun dan memperbaiki infrastruktur pendukung seperti pelabuhan, pasar ikan, dan fasilitas pengolahan hasil laut.
Keempat, Kerjasama Internasional: Memperkuat kerjasama dengan negara lain dalam bidang perikanan dan kelautan untuk saling berbagi teknologi dan pengalaman.

"Dengan mengoptimalkan potensi ekonomi biru, Indonesia dapat mencapai ketahanan pangan yang lebih baik dan berkontribusi dalam memberi makan dunia, menuju Indonesia Emas 2045,": tuturnya.

Potensi Ekonomi Biru Untuk Keamanan Energi indonesia

Prof Rokhmin Dahuri menekankan pentingnya Ekonomi Biru dalam meningkatkan keamanan energi* Indonesia. Menurut beliau, dengan mengoptimalkan potensi ekonomi kelautan, Indonesia dapat mencapai ketahanan energi yang lebih baik dan berkelanjutan. Antara lain:

Pertama, Pemanfaatan Sumber Daya Laut: Ekonomi Biru memanfaatkan sumber daya laut seperti energi gelombang, pasang surut, dan angin lepas pantai untuk menghasilkan energi terbarukan. Ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, tetapi juga membantu mengurangi emisi karbon.

Kedua, Diversifikasi Sumber Energi: Dengan mengembangkan berbagai sektor ekonomi kelautan, Indonesia dapat diversifikasi sumber energi yang digunakan, sehingga meningkatkan keamanan energi nasional.

Ketiga, Pengurangan Risiko Geopolitik: Mengurangi ketergantungan pada impor energi dari negara lain dapat mengurangi risiko geopolitik yang mungkin mempengaruhi ketersediaan energi di Indonesia.

Keempat, Peningkatan Ketahanan Energi: Dengan memanfaatkan potensi ekonomi kelautan, Indonesia dapat meningkatkan ketahanan energi nasional dan memastikan ketersediaan energi bagi semua lapisan masyarakat⁽¹⁾⁽²⁾.

Prof. Rokhmin Dahuri menekankan bahwa dengan mengembangkan Ekonomi Biru, Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan keamanan energi, tetapi juga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. "Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sangat penting untuk mewujudkan visi ini," tegasnya.

Cetak biru Perkembangan Ekonomi Biru 

Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman menjelaskan pentingnya Cetak Biru Perkembangan Ekonomi Biru sebagai pilar utama menuju Indonesia Emas 2045*l. Cetak biru ini dirancang untuk mengoptimalkan potensi kelautan Indonesia guna mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan inklusif.

Visi dari cetak biru ini adalah menciptakan sektor ekonomi kelautan yang berkelanjutan, berdaya saing, dan inklusif, yang mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan nasional. 

Misi utamanya adalah mengembangkan sumber daya laut secara berkelanjutan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, dan mendukung ketahanan pangan serta energi nasional.

Revitalisasi sektor ekonomi biru (mapan) yang ada, investasi, dan bisnis untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan mereka.

Melindungi investasi dan bisnis yang ada di sektor ekonomi biru seperti pariwisata laut Raja Ampat dan Mandalika, pertanian udang di Karimun Jawa dari Provinsi Jawa Tengah, Budidaya Tilapia berbasis Cagenet di Danau Toba, dan marikultura grouper, Barramundi, dan biota laut lainnya.

Perluasan pengembangan, investasi, dan bisnis di sektor ekonomi biru di wilayah dan wilayah baru (murni).

Pengembangan, investasi, dan bisnis di sektor ekonomi biru baru (baru muncul) termasuk: akuakultur lepas pantai, industri bioteknologi laut (produk farmasi laut, stimulan bio, biofuel, dan biomaterial), industri air laut dalam, dan Energi laut seperti energi pasang surut, energi gelombang, dan OTEC (konversi energi panas laut).

Implementasi empat kebijakan (program) yang disebutkan di atas harus didasarkan pada: (1) ekonomi skala, (2) inovasi, (3) sistem manajemen rantai pasokan terintegrasi, teknologi 4.0 teknologi (data besar, IOT, Blockchain, AI, dan Robotika), dan (5) Prinsip pembangunan berkelanjutan.

Revitalisasi infrastruktur yang ada, dan pengembangan infrastruktur baru dari infrastruktur dasar (jalan, listrik, port, bandara, air minum, dan jaringan internet) dan infrastruktur terkait ekonomi biru (port perikanan, irigasi pertanian udang, irigasi udang kanal, dll).

Kebijakan perbankan afirmatif seperti tingkat bunga yang relatif rendah dan persyaratan pinjaman lunak. Bench menandai, misalnya dengan Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Cina.

Pengembangan kapasitas sumber daya manusia (sumber daya manusia) melalui pendidikan, pelatihan, dan ekstensi yang berkelanjutan secara teratur dan berkelanjutan, terutama keunggulan dan keterampilan kembali.

Peningkatan dalam R & D untuk memproduksi dan menyebarkan inovasi kepada pengguna termasuk nelayan, petani ikan, pengolah ikan dan makanan laut, dan industri.

Rehabilitasi ekosistem pesisir, laut, dan air tawar terdegradasi (rusak) dari polusi, sedimentasi, abrasi (erosi), dan degradasi lingkungan lainnya.

Konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem.
Mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global (transisi energi, perdagangan karbon biru, dll.), Tsunami, banjir, dan bahaya alam lainnya.

Peningkatan iklim investasi dan kemudahan melakukan bisnis.
Kebijakan ekonomi politik yang kondusif: moneter, fiskal, perencanaan tata ruang, kepastian kebijakan, penegakan hukum, dan stabilitas politik.

"Dengan mengimplementasikan cetak biru perkembangan ekonomi biru, Indonesia memiliki peluang besar untuk mencapai tujuan Indonesia Emas 2045," ujar Prof Rokhmin Dahuri.

Menurutnya, pengelolaan sumber daya kelautan yang berkelanjutan dan berdaya saing akan menjadi kunci untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendukung ketahanan pangan dan energi, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Komentar