Merawat Penyu dan Paus Melalui Cukai Plastik, Bisa kah?
Oleh: Rayna Nurfatiyah Yasmin
Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia
ASKARA - Setiap tahunnya, lebih dari 1.000 penyu diperkirakan mati akibat menelan sampah plastik yang terbuang ke laut, sebuah temuan yang sangat memprihatinkan dari studi para peneliti di University of Exeter, Inggris. Tak hanya penyu, sampah plastik juga mengancam nyawa biota laut lainnya, termasuk paus. Pada tahun 2019, seekor paus ditemukan terdampar di Skotlandia dengan perut yang dipenuhi sampah plastik dengan berat hingga 100 kilogram. Sebelumnya, pada tahun 2018, di Perairan Wakatobi, Indonesia, paus lainnya ditemukan mati dengan 5,9 kilogram sampah dengan komposisi dominan sampah plastik dalam perutnya. Hal ini menunjukkan bahwa sampah plastik merupakan ancaman yang serius bagi ekosistem laut di seluruh dunia.
Menurut data World Population Review, Indonesia berada di peringkat ke-5 sebagai negara penyumbang sampah plastik di lautan dunia dengan berat mencapai 56 ribu ton sampah plastik pada tahun 2021. Hal ini disebabkan oleh tingginya konsumsi plastik dan pengelolaan sampah plastik yang kurang baik di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, Indonesia menghasilkan 66 juta ton sampah plastik dengan 3,2 juta ton di antaranya merupakan sampah plastik yang berakhir di laut. Untuk mengatasi masalah ini, pengurangan konsumsi plastik menjadi langkah yang sangat penting untuk menekan dampak buruk sampak plastik terhadap lingkungan, khususnya ekosistem laut.
Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah penerapan cukai plastik. Sebagaimana yang diketahui, cukai adalah pungutan atas barang-barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat/lingkungan, serta perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Di Indonesia, rencana penerapan cukai plastik sebenarnya telah ditargetkan dalam APBN sejak tahun 2017 dan baru mendapat persetujuan Komisi IX DPR RI pada Februari 2020 dengan objek cukai berupa kantong plastik. Namun, pandemi Covid-19 yang mulai melanda pada Maret 2020 membuat pemerintah kembali mempertimbangkan penerapan cukai plastik dengan mengingat dampaknya terhadap perekonomian yang melemah akibat pandemi.
Kantong plastik yang disetujui dikenakan cukai oleh Komisi IX DPR RI adalah kantong plastik yang dianggap sebagai kantong plastik sekali pakai dengan ketebalan kurang dari 75 mikron. Plastik ramah lingkungan atau biasa disebut plastik biodegradable pun tak luput dari kebijakan ini. Tarif yang diusulkan adalah Rp200,00 per lembar atau Rp30.000,00 per kilogram, dengan asumsi satu kilogram terdiri dari 150 lembar kantong plastik. Dengan tarif tersebut, harga kantong plastik eceran diperkirakan mulai dari Rp400,00 per lembar. Menurut BKF (2021), besaran cukai ini diproyeksikan tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap inflasi yang mana besaran cukai tersebut hanya menyumbang sekitar 0,045% terhadap kenaikan inflasi.
Meskipun tarif cukai plastik telah dirancang untuk meminimalkan dampak inflasi, implementasinya tidak terlepas dari berbagai tantangan.
Menurut UU No. 39 Tahun 2007, cukai dipungut pada level produsen untuk mempermudah administrasi. Besaran cukai ini nantinya dibebankan ke konsumen melalui penambahan biaya produksi yang berdampak pada peningkatan harga jual. Kamar dagang Indonesia (Kadin) menilai, kebijakan cukai plastik akan berdampak negatif pada industri hilir, seperti industri kemasan yang sangat bergantung pada plastik. Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Industri Hulu dan Petrokimia Kadin, Achmad Widjaja, menyatakan bahwa pengenaan cukai plastik semakin membebani industri dan dikhawatirkan menurunkan permintaan dan mengganggu kompetisi industri plastik padat karya yang berisiko mematikan produsen plastik.
Tak hanya itu, Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) menyatakan bahwa rencana penerapan cukai pada produk plastik berisiko menghambat investasi hingga USD5 miliar atau sekitar Rp69 triliun (Katadata, 2020).
Terlepas dari tantangan yang ada, sebenarnya pengenaan cukai plastik memiliki potensi menurunkan permintaan pada plastik meskipun besarannya tidak begitu besar. Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) menyatakan bahwa kantong plastik memiliki elastisitas yang inelastis dengan hasil menunjukkan bahwa terhadap kenaikan 1% harga kantong plastik akan menurunkan permintaan sebesar 0,957%.
Meskipun perubahan harga kurang berpengaruh terhadap permintaan, pengenaan cukai kantong plastik meningkatkan kontribusi cukai pada penerimaan negara. BPPK menyatakan dengan tarif cukai 20% dan produksi kantong plastik mencapai 610 juta kilogram, diperkirakan penerimaan cukai mencapai Rp1,6 triliun. Pendapatan dari cukai inilah yang dapat digunakan dalam penanggulangan dampak eksternalitas negatif plastik.
Dalam konsep Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), pemerintah memproyeksikan peruntukan dari cukai kantong plastik ini untuk kegiatan yang berbasis lingkungan (BKF, 2021). Hal ini selaras dengan konsep cukai sebagai pigouvian tax yang bertujuan mengatasi eksternalitas negatif.
Dalam konteks penanggulangan eksternalitas negatif plastik di laut, alokasi penerimaan cukai plastik dapat digunakan untuk pengembangan infrastruktur pengelolaan limbah plastik, pembersihan laut dan pantai, dan pengembangan alternatif plastik ramah lingkungan. Adapun sebagai perlindungan ekosistem laut, penerimaan cukai plastik dapat dialokasikan untuk restorasi habitat laut, program edukasi dan kesadaran publik, serta pengawasan dan penegakan regulasi.
Pada intinya, cukai plastik memiliki potensi besar dalam mengurangi dampak negatif plastik terhadap lingkungan, terutama bagi ekosistem laut yang terancam oleh limbah plastik. Meskipun berdasarkan tingkat elastisitasnya, cukai plastik kurang berpengaruh dalam menurunkan permintaan terhadap plastik, cukai plastik memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara yang dapat dialokasikan untuk kegiatan berbasis lingkungan. Dengan alokasi dan sinergi kebijakan yang baik, bukan tidak mungkin cukai plastik menjadi salah satu kunci dalam melindungi penyu, paus, dan ekosistem laut dari ancaman sampah plastik.
Komentar