Senin, 13 Mei 2024 | 16:38
OPINI

Anwar Usman Patut Diduga Melanggar Kode Etik Hakim Konstitusi

Anwar Usman Patut Diduga Melanggar Kode Etik Hakim Konstitusi
Anwar Usman (Dok MK RI)

Oleh: Edi Danggur, praktisi hukum.

ASKARA - Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Anwar Usman, Ketua MK, adalah ipar Jokowi, atau pamannya Gibran Rakabuming Raka (“Gibran”). Sebab Anwar Usman memperistri saudarinya Jokowi. Itu berarti Anwar Usman mempunyai hubungan dengan Gibran karena perkawinan.

Dalam permohonan No.90/PUU-XXI/2023 terang-benderang sekali bahwa permohonan tersebut untuk kepentingan Gibran. Sebab si pemohon, mahasiswa FH Universitas Surakarta, dalam permohonannya mengaku sebagai pengagum Gibran. Layaklah Gibran jadi cawapres.

Sepatutnya, begitu mengetahui permohonan itu demi kepentingan Gibran maka Anwar Usman mundur sebagai hakim majelis dalam perkara tersebut. Sebab Anwar Usman mempunyai konflik kepentingan (conflict of interest) dalam perkara tersebut.

Apa alasannya? Ada prinsip universal peradilan di seluruh dunia, dituangkan dalam sebuah adagium bahasa Letin: Nemo sibi esse judex vel suis jus dicere debet. Atau dalam bahasa Inggeris: No man ought to be his own judge, or to administer justice in cases where his relations are concerned. 

Secara harafiah berarti: Tidak ada seorang pun yang dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri. Sebab tidak mungkin ada keadilan dalam putusan hakim atas kasus-kasus dimana kepentingan hakim itu tersangkut di dalamnya.

Dalam UU Kekuasaan Kehakiman, dikenal prinsip objektivitas, dimana pengadilan harus mengadili sebuah kasus atau perkara menurut hukum semata dengan tidak membeda-bedakan orang (Vide Pasal 5 ayat 1 UU No.48/2009).

Untuk menjamin tegaknya prinsip objektivitas ini maka diberlakukan hak ingkar dan hak mengundurkan diri. 

Hak ingkar (recusatie atau  wraking) yaitu hak yang diberikan kepada pihak-pihak berperkara atau masyarakat untuk mengajukan protes atau keberatan kepada hakim dalam suatu perkara dimana hakim itu mempunyai konflik kepentingan di dalam perkara tersebut (Vide Pasal 29 ayat 2 UU No.48/2009).

Hak mengundurkan diri artinya ketika hakim itu sendiri sadar sejak awal mempunyai konflik kepentingan dalam suatu perkara maka hakim itu atas kesadarannya sendiri mengundurkan diri terlibat sebagai hakim dalam perkara tersebut, tanpa menunggu keberatan atau protes dari pihak-pihak berperkara atau masyarakat (Vide Pasal 29 ayat 3 UU No.48/2009).

Dengan tidak mengundurkan diri dalam permohonan tersebut di atas, Hakim Anwar Usman juga patut diduga melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi Indonesia (Sapta Karsa Hutama) sebagaimana dimuat dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No.09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Bagian dua mengenai prinsip ketakberpihakan butir 5, ditegaskan: “Hakim konstitusi – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum untuk melakukan persidangan – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini: (a) Hakim konstitusi tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau (b) Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan;

Komentar