Minggu, 19 Mei 2024 | 19:40
OPINI

Naskah-Naskah koleksi Masyarakat Cirebon, Praktik Literasi Ajaran Agama Islam

Naskah-Naskah koleksi Masyarakat Cirebon, Praktik Literasi Ajaran Agama Islam
Naskah kuno ( int)

Oleh: Winda Rahma Putri *)

ASKARA - Sebaran naskah kuno di Nusantara nampaknya terbagi dalam dua kategori, yakni naskah yang berada di kraton atau kerajaan (kesultanan) dan masyarakat. Kegiatan digitalisasi naskah di masyarakat Cirebon, terutama koleksi Hasan dan Panji dilakukan atas kerja sama Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dengan para alumni pelatihan naskah (lektur) keagamaan seluruh indonesia, sesuai dengan daerahnya masing-masing pada bulan Mei-Juni 2009. 

Adapun situasi pernaskahan di Kraton Cirebon sendiri, terbagi dalam empat tempat; Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Keprabonan. 

Bersamaan dengan kehadiran Belanda (sebagai penjajah) menguasai Cirebon sekitar tahun 1700, Kraton Kanoman dibagi lagi menjadi dua; Kraton Kanoman dan Keprabonan. 

Menurut Siddique, sejak tahun 1681-1940 Kesultanan Cirebon mengalami kemerosotan karena kolonialisme. Sekitar tahun 1800, salah seorang Sultan Kanoman Cirebon dibuang ke Ambon. Selain telah dikuasai Belanda, Kesultanan Cirebon juga dijajah Inggris. 

Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia, kekuasaan Cirebon makin lama makin dipersempit dan pada 1700 Belanda mengangkat seorang Residen, Jacob Palm untuk pertama kalinya. 

Sejak itu, kekuasaan Cirebon dapat dikatakan tidak ada lagi. Dalam catatan Muhaimin, terdapat peristiwa penting ketika Kraton Kanoman dipimpin Pangeran Khaerudin.

Kyai Muqoyim dan Kriyan adalah tokoh ulama pendiri Pesantren Buntet Cirebon. Kyai dan Kriyan adalah penyebar tarekat syattariyah pertama kali di Buntet dan menarik banyak pengikut pada tahun 1900-an.

Dari kenyataan tersebut , wajar saja jika para kerabat Kraton hampir semua selalu berhubungan secara biologis dengan Kraton Kanoman dan Kasepuhan. 

Kediaman Raden Hasan dan Elang Panji secara geografis kurang lebih berjarak 14.000 M dari Kraton Kanoman, arah utara menuju rumah Elang Panji dan arah ke selatan menuju rumah Raden Hasan.

Baik Hasan maupun Panji, tempat tinggalnya sudah mirip seperti “kraton masyarakat”. Dan ternyata naskah-naskah yang ada di Cirebon ini membahas tentang praktik literasi yang dimana kajiannya lebih spesifik mengarah tentang keagamaan.

Naskah-naskah Cirebon kebanyakan bermuatan ajaran islam. Sebagaimana pendapat Pudjiastuti, Munandar dan Mahayana (1994: 11) menegaskan bahwa naskah Cirebon merupakan naskah yang mngandung ajaran agama islam. Oleh karena itu, dikatakan bahwa naskah cirebon sesungguhnya mencerminkan ajaran islam yang dipahami oleh masyarakat Cirebon. 

Dengan demikian, naskah Cirebon menunjukkan artefak praktik literasi islam. Selain itu, sebagai artefak praktik literasi agama islam, naskah-naskah tersebut merefleksikan produksi makna dan negosiasi identitas.

Dalam jurnal Manuskripta ini menjelaskan tentang praktik literasi agama islam juga membahas sponsor praktik literasi yang biasanya menjadi panutan dan figur teladan dalam sebuah komunitas misalnya Hamengku Buwono (HB) V dalam produksi naskah jawa periode kesultananYogyakarta. 

Dari makna yang terkandung dalam naskah-naskah Cirebon dapat disimpulkan bahwa, islam bagi masyarakat Cirebon bermakna sebagai tauhid, tasawuf, fikih, primbon, dan sejarah. Itulah islam yang dimaknai oleh masyarakat Cirebon pada masa dahulu yang terefleksikan dalam naskah-naskahnya.

Literasi agama, lewat naskah-naskah yang diproduksi, tampak berfungsi sebagai penyelesaian masalah kehidupan yang lain bagi seseorang atau masyarakat. 

Hal ini juga menunjukkan bahwa “literasi lokal” adalah literasi yang fungsional dan kontekstual, yakni berfungsi sesuai dengan konteks kebutuhan masyarakat yang mempraktikkan literasi. 

Selain itu dalam jurnal ini juga menjelaskan tentang literasi agama menegosiasikan identitas yang intinya itu dalam naskah-naskah yang ada di Cirebon identitas itu diresepsi sehingga naskah-naskah keagamaan cirebon dapat mencerminkan identitas islam.

Dan sebagai kesimpulan naskah-naskah Cirebon dapat direfleksikan sebagai praktik literasi agama islam yang diuraikan atau ditulis dalam bentuk tulisan seperti jurnal atau artikel sehingga pembaca dari kalangan manapun bisa lebih mengetahui dan mehamami mengenai isi dari naskah-naskah yang ada di kalangan masyarakat Cirebon.

*) Mahasiswi Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Komentar