Kamis, 18 April 2024 | 20:55
OPINI

Memahani Equality Before the Law

Kesamaan Dihadapan Hukum

Memahani Equality Before the Law
Ilustrasi Dewi Keadilan (Dok Pixabay)

Oleh: Muchyar Yara *

ASKARA - Dalam mitologi Yunani, Hukum atau Keadilan dipersonanfikasikan pada diri Dewi Dike, anak perempuan dari Dewa Zeus dan Dewi Themis.
Apabila Dewi Themis bertanggungjawab atas tegaknya kepastian hukum, maka Dewi Dike bertanggung jawab agar penegakan hukum itu menjunjung keadilan.
Sosok Dewi Dike, atau dalam mitologi Romawi disebut “Dewi Iustitia” (Dewi Keadilan) digambarkan sebagai seorang Wanita Cantik, yang tangan kirinya memegang sebuah kitab (Kitab Hukum) dan tangan sebelah kanannya memegang sebuah timbangan.
Tetapi jika diperhatikan dengan teliti sosok Dewi Dike/Dewi Justitia itu, maka kita akan melihat adanya 2 (dua) kejanggalan, yaitu yang pertama kedua matanya ditutup dengan selembar kain, dan yang kedua, timbangan yang dipegangnya ternyata tidak seimbang/sejajar, melainkan berat sebelah.

Apa yang melatarbelakangi kedua kejanggalan diatas ?

Warga masyarakat terdiri dari berbagai orang yang berbeda-beda, baik tingkat kedudukan sosialnya, pendidikannya dan sebagainya. Guna menghindari adanya perlakuan istimewa terhadap orang-orang tertentu, maka hukum menutup matanya terhadap semua perbedaan itu, sehingga hukum akan memperlakukan prinsip semua orang adalah sama dihadapannya (equality before the law). Prinsip ini cukup populer di kalangan masyarakat luas, dan bahkan pada praktisi hukum menganggap prinsip ini sebagai suatu yang suci. Namun meskipun sudah menutup kedua matanya, ternyata timbangan yang dipegang oleh Dewi Dike tetap saja berat sebelah (berpihak kepada yang kuat dan yang kaya). Padahal equality before the law merupakan prasyarat dalam mewujudkan keadilan. Namun setelah prinsip equality before the law dipenuhi, ternyata keadilan belum juga bisa diwujudkan di tengah masyarakat.

Mengapa hal ini terjadi? 

Sebabnya adalah meskipun hukum telah mengakui dan mengupayakan tegaknya prinsip equality before the law (dengan menutup kedua mata Dewi Dike), ternyata prinsip equality before the law itu tidak dapat sepenuhnya ditegakkan. Mengapa demikian ?
Karena hukum itu sendiri dibuat oleh manusia dan dijalankan pula oleh manusia di tengah-tengah masyarakat manusia. Dan sepanjang mengenai manusia maka pasti terdapat kelemahan dan perbedaan dalam berbagai aspeknya. Sehingga sekalipun hukum berupaya mewujudkan keadilan (substantif), namun karena hukum itu tidak dapat sepenuhnya menegakkan prinsip equality before the law, maka keadilan itu pun tetap akan menjadi utopia.

Berbagai penelitian sosiologis-empirik membuktikan bahwa hukum tidak sepenuhnya mampu menegakkan prinsip equality before the law.
Penelitian terhadap para hakim di Jerman, membuktikan didalam setiap perkara antara warga masyarakat kelas atas melawan warga masyarakat kelas bawah, maka putusan hakim cenderung memihak warga masyarakat kelas atas. Hal mana disebabkan para hakim di Jerman pada umumnya berasal dari golongan warga masyarakat kelas atas. Hal ini berarti pula asosiasi sosial seorang penegak hukum akan sangat berperan di dalam mewujudkan prinsip equality before the law.

Penelitian lainnya berkenan dengan frekwensi mobil patroli polisi di berbagai kota besar di Amerika Serikat, membuktikan bahwa mobil patroli polisi melakukan patroli sebanyak 3 sampai 4 kali dalam waktu semalam di daerah tempat tinggal warga masyarakat kelas atas. Sementara hanya melakukan patroli sebanyak 1 kali atau paling banyak 2 kali saja dalam waktu semalam di daerah tempat tinggal warga masyarakat kelas bawah. 
Ini membuktikan bahwa hukum memberikan perlakuan yang berbeda terhadap warga masyarakat.

Banyak lagi penelitian sosial membuktikan bahwa klaim-klaim hukum seperti antara lain persamaan dihadapan hukum, kepastian hukum dan sebagainya tidak terwujud secara nyata di dalam kehidupan masyarakat. Sehingga tidaklah mengherankan apabila sebagian Ahli Ilmu-ilmu Sosial menjuluki hukum sebagai mitos belaka.

Dikarenakan kelemahan-kelemahan inilah, maka sejak awal tahun 60’an berkembang pendekatan baru di bidang hukum yang semula hanya pendekatan normatif-dogmatis menjadi pendekatan sosiological jurisprudence, yang melihat hukum sebagai salah satu Lembaga Sosial yang bekerja sama secara erat dan saling pengaruh mempengaruhi dengan lembaga-lembaga sosial lainnya di tengah masyarakat. Melalui pendekatan sosiological-jurisprudence ini, hukum dirasakan kehadirannya secara nyata (empirik) di tengah kehidupan masyarakat tempatnya bekerja.

Kesimpulannya, prinsip kesamaan di muka hukum (equality before the law) memang tercantum di dalam naskah-naskah atau kitab-kitab hukum, tetapi tidak menjadi kenyataan (empirik) di dalam kehidupan masyarakat yang nyata, sehingga equality before the law, hendaknya di pandang sebagai upaya hukum yang sungguh-sungguh untuk melihat semua manusia secara sama dihadapannya, bukan sebagai kenyataan empirik di tengah masyarakat. Atau dapat juga dikatakan bahwa perbedaan di antara manusia merupakan “Sunnahtullah”.

 

20 Maret 2023
* Mantan Pengajar Sejarah Hukum
Dan Teori Hukum Bidang Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana UI dan Univ. Jayabaya-Jakarta

Komentar