Kamis, 25 April 2024 | 06:59
NEWS

Prof. Rokhmin Dahuri: Islam Solusi Kehidupan Manusia saat Tensi Geopolitik Dunia Kian Memanas

Prof. Rokhmin Dahuri: Islam Solusi Kehidupan Manusia saat Tensi Geopolitik Dunia Kian Memanas
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri MS

ASKARA – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS mengatakan, potret kehidupan masyarakat dunia yang maju, adil-makmur di zaman keemasan umat Islam (Abad-7 sampai Abad-18) Mirip Peradaban Bangsa Berbasis Pancasila.

Yakni berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

“Ketika umat Islam melaksanakan Islam secara kaffah dan ittiba’ (Fatukh Makkah s/d sebelum Revolusi Industri) Umat Islam menguasai IPTEK, maju, hidup sejahtera, dan menguasai 2/3 wilayah dunia,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri saat memberikan tausiyah pada Kajian Subuh, Masjid Sultan Alauddin Kompleks UMI, Makassar, Rabu, 8 Februari 2023.

Saat itu, terangnya, Umat Islam menjadi pusat keunggulan (center of excellence) IPTEK dunia, dan para ilmuwan dan teknolog dari seluruh penjuru dunia belajar kepada ilmuwan dan teknolog muslim secara gratis (tidak perlu hak paten).

Ketika umat Islam melaksanakan Islam secara kaffah dan itibba’ (Fatukh Makkah s/d sebelum Revolusi Industri)  Umat Islam menguasai IPTEK, maju, hidup sejahtera dan berkeadilan, dan menguasai 2/3 wilayah dunia.

Perguruan Tinggi pertama dan terbaik di dunia adalah Bayt Al-Hikmah di Baghdad pada 832 M di masa Khalifah Al-Mansur (754 – 775 M) dan Al-Ma’mun (813 – 833 M), Kekhilafahan Abasyiah.  Oxford University dan Sorbone University meniru Bayt Al-Hikmah (Wallace-Murphy, 2017).

“Perekonomian; pendidikan; interaksi sosial, politik, dan budaya berjalan atas dasar persaudaraan karena Allah, Tuhan Pencipta Alam Semesta.  Bahkan Agama, keyakinan, jiwa, harta, dan hak-hak sipil warga non-muslim dilindungi oleh Negara Islam,” ungkapnya.

Lewat paparannya berjudul “Islam Solusi Permasalahan Kehidupan Manusia Di Era Disrupsi Teknologi, Perubahan Iklim, Dan Tensi Geopolitik Dunia Yang Kian Memanas”, Prof. Rokhmin Dahuri menuturkan, kehidupan sosial berlangsung secara harmonis, anak-anak yatim terpelihara, yang kaya membantu dan memberdayakan (empowering) yang miskin, yang miskin tidak iri terhadap yang kaya dan bekerjasama dengan yang kaya dengan mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

Ekonomi dan perdagangan diatur dalam koridor efisiensi dan keadilan, tidak ada kecurangan serta penipuan karena masyarakatnya memahami dan mentaati hukum Allah dan Rasul Nya secara istiqamah.

Masyarakatnya mencintai dan gemar menuntut IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), dan pemerintahnya mendorong serta memfasilitasi aktivitas penelitian, pengembangan, penguasaan, dan penerapan IPTEK dalam segenap aspek kehidupan.

“Para pemimpinnya (Kepala Negara, Menteri, Gubernur, dan lainnya) hidup sederhana dan sangat mencintai rakyatnya,” terang Wakil Ketua Dewan Pakar MN-KAHMI itu.

Prof. Rokhmin Dahuri mencontohkan, akhlaq dan perilaku pemimpin Muslim Khalifah Abu Bakar Ashidiq, “Kalian memilihku sebagai khalifah, tetapi aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Oleh karena itu, turutilah aku sepanjang sesuai aturan Allah SWT dan Rasulullah SAW (Al-Qurán dan Hadits), kalau tidak tinggalkan aku.”

Bahkan, sambungnya, Khalifah Umar bin Khattab mengatakan, “Kalau rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya.  Kalau rakyatku kekenyangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya.”

“Hasilnya, pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Azis, Harun Al-Rasyid, Muhammad Al-Fatih, dan lainnya, tidak ada satu pun penduduk Khilafah (Negara) Islam yang miskin.  Bahkan, zakat, infaq, shodaqoh, dan IPTEK pun diekspor ke seluruh penjuru dunia,” ujarnya.

“Hampir seluruh IPTEK modern dari zaman Revolusi Industri sampai sekarang berasal dari karya-karya monumental Ilmuwan Muslim di era Kejayaan Umat Islam (Wallace-Murphy, 2007; Qureshi, 2007),” sambungnya.

Apa Yang Harus Umat Islam Lakukan? Prof Rokhmin Dahuri mengingatkan  yang harus kita umat Islam lakukan antara lain: Pertama, Meningkatkan IMTAQ (Iman dan Taqwa). Kedua, bagi individu, manusia akan sukses bahagia hidup di dunia dan akhirat: (1) QS. At-Talaq (65): 2,3,4, dan 5; dan (2) QS. Ali Imran (3): 133.
Ketiga, bagi suatu bangsa/negara atau dunia, akan maju, adil-makmur, aman dan damai: QS. Al-’Araf (7): 96.

“Keempat, melaksanakan Islam secara Kaffah dan ‘Itibba secara rahmatan lil ‘alamin: (1) IPTEK, (2) Ekonomi, (3) Polhukam, dan (4) Informasi,” jelas Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat 2022 – 2026 itu.  

Sebelumnya, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, bahwa secara makroekonomi, Kapitalisme mampu memacu pertumbuhan ekonomi global (dunia) rata-rata 3,4% per tahun, dari PDB (Produk Domestik Bruto) Global hanya sebesar US$ 0,45 trilyun pada 1753 (awal Revolusi Industri-1) menjadi US$ 100 trilyun pada 2019 (Sach, 2015; World Bank, 2020).

Kapitalisme pun berhasil melahirkan berbagai macam IPTEK dalam 4 gelombang Revolusi Industri. Kemajuan yang pesat di bidang IPTEK telah membuat kehidupan umat manusia lebih sehat, mudah, cepat, dan nyaman.

“Namun, Kapitalisme gagal mengentaskan kemiskinan, kelaparan, dan tuna wisma global,” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Selain itu, lanjut Prof. Rokhmin Dahuri, Kapitalisme telah mengakibatkan ketimpangan kaya vs miskin semakin melebar, dan kerusakan lingkungan serta Perubahan Iklim Global (Global Warming) yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) bumi di dalam mendukung pembangunan ekonomi, bahkan kehidupan manusia.

Kapitalisme pun telah mengakibatkan kehidupan sosial-budaya dan politik mengalami dekadensi dan menuju kehancuran.

Hingga 2019, sekitar 3 milyar penduduk dunia (37%) masih miskin (pengeluaran < US$ 2 per hari), dan sekitar 1 milyar orang masih miskin absolut atau fakir (pengeluaran < US$ 1.25 per hari) (World Bank and UNDP, 2020).

Sekitar 1,3 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap listrik, 900 juta tidak memiliki akses terhadap air bersih, 2,6 miliar tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang sehat, dan sekitar 800 juta penduduk pedesaan tidak memiliki akses terhadap jalan dan cuaca. terputus dari dunia pada musim hujan (IEA, 2016).

Di antara 194 negara Perserikatan Bangsa-Bangsa, hanya 55 negara (28%) yang telah mencapai status negara berpenghasilan tinggi (kaya). 103 negara (53%) merupakan negara berpenghasilan menengah, dan 36 negara (19%) masih miskin (Bank Dunia dan UNDP, 2018).

“Dalam 250 tahun terakhir, ekonomi dunia tumbuh sangat tidak seimbang. Misalnya, pada tahun 2010, 388 orang terkaya di dunia memiliki lebih banyak kekayaan daripada seluruh bagian bawah populasi dunia (3,3 miliar orang),” terang Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.

Pada tahun 2017, jelas Prof. Rokhmin Dahuri, kelompok terkaya yang memiliki kekayaan melebihi separuh penduduk dunia terbawah telah menyusut menjadi hanya 8 orang. Ketimpangan kekayaan yang begitu tinggi tidak hanya terjadi antar negara, tetapi juga di dalam negara (Oxfam International, 2019).

Saat ini, negara-negara maju (kaya) dengan populasi hanya 18% dari populasi dunia mengkonsumsi sekitar 70% energi dunia, yang sebagian besar (87%) berasal dari bahan bakar fosil, yang merupakan faktor utama penyebab Pemanasan Global (IPCC, 2019 ).

Pertumbuhan ekonomi global selama 250 tahun terakhir juga telah menyebabkan degradasi lingkungan besar-besaran yang didorong oleh kegagalan pasar dan kebijakan yang buruk. Hampir semua negara di dunia mengalami skala penipisan sumber daya alam, pencemaran lingkungan, dan dampak negatif dari Pemanasan Global. 

Perubahan Iklim Global dapat secara langsung merugikan ekonomi dunia sebesar US$ 7,9 triliun pada pertengahan abad karena meningkatnya kekeringan, gelombang panas, wabah penyakit, banjir, dan gagal panen menghambat pertumbuhan dan mengancam infrastruktur (EIU, 2019). 

“Jika suhu bumi meningkat lebih tinggi dari 1,50C dari pengukuran dasar, maka dampak negatif Pemanasan Global tidak dapat dikendalikan (IPCC, 2019),” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Di seluruh dunia, lanjutnya, khususnya di daerah perkotaan, terjadi peningkatan tingkat stres, ketegangan, dan perselisihan dalam urusan manusia, disertai dengan dan meningkatnya semua gejala anomie (penyakit sosial), seperti frustrasi, kriminalitas, alkoholisme, kecanduan narkoba. , HIV/AIDS, perceraian, pemukulan anak, penyakit mental dan bunuh diri, semuanya menunjukkan kurangnya kepuasan batin dalam kehidupan individu (Brown, 2003; Chapra, 1995).

“Ketidakadilan ekonomi, pengangguran, kemiskinan absolut, dan diskriminasi politik telah banyak dilaporkan dan diyakini sebagai akar penyebab radikalisme dan terorisme (Cavanagh dan Mander, 2004),” tuturnya.
Pandemi Covid-19 menelanjangi kedok kemunafikan negara-negara maju kapitalis dengan cara memproduksi dan menimbun vaksin jauh melebihi dari kebutuhannya.  Sementara, negara-negara berkembang (miskin) sangat kekurangan vaksin (Sundaram and Chowdury, 2021).

Contohnya, kata Prof. Rokhmin Dahuri, Uni Eropa menimbun 3 milyar dosis vaksin (6,6 dosis/orang); AS punya 1,3 milyar dosis vaksin (5 dosis/orang); Kanada memiliki 450 juta dosis vaksin (12 dosis/orang); Inggris punya 500 juta dosis vaksin (8 dosis/orang); dan Australia mengamankan 170 juta dosis vaksin (7 dosis/orang).

Pada 7 Juli 2021; lebih dari 3,32 miliar dosis vaksin telah diberikan, dengan 85% diberikan ke negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas, dan hanya 0,3% ke negara berpenghasilan rendah. Selain itu, tingkat vaksinasi Afrika (sejauh ini 4%) adalah yang paling lambat dari semua benua, dengan beberapa negara belum memulai, sementara tingkat infeksi meningkat dengan cepat.

Karena tingkat vaksinasi yang jauh lebih tinggi (> 60% total populasi, persentase minimal untuk membangun komunitas ternak), korban kematian di negara maju (kaya) turun dari 59% total resmi dunia pada Januari menjadi 15% pada Mei 2021. Kematian pandemi di negara berkembang sekitar 85%, namun tetap meningkat pesat (WHO, 2021 dalam The Jakarta Post, Kamis 15 Juli 2021, hlm.7).

“Akibatnya, pertumbuhan ekonomi negara-negara maju pada 2021 ini diproyeksikan akan meningkat, dari 5,1% menjadi 5,6%.  Sebaliknya, di negara-negara berkembang menurun dari 6,7% menjadi 6,3% (IMF, 2021)  Ketimpangan kaya vs. miskin bakal semakin melebar,” kata Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen, Jerman itu.

Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, pertama kali dalam sejarah NKRI pada tahun 2019 angka kemiskinan lebih kecil dari 10%. Namun, dampak dari pandemi Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 % atau sekitar 27,6 juta orang. Hingga Juli 2022, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah atas.

Lalu, Prof Rokhmin memaparkan sejumlah permasalahan  dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan. Antara lain: 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).

Sedangkan perbandingan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan  koefisien Gini antara sebelum dan saat masa Pandemi Covid-19, perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS yakni pengeluaran Rp 472.525/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan. 

Sementara menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2020 sebesar 100 juta jiwa (37% total penduduk).Perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2022), yakni  pengeluaran Rp 504.469/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. Kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017).

Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Pada 2016, 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016).

Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI  (Gross National Income) per kapitanya belum mencapai 12.536 dolar AS (status negara makmur).

“Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 3.870 dolar AS,” tandasnya.

Yang sangat mencemaskan adalah bahwa 30% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya (a lost generation).

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, menurut UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” katanya.

“Ironisnya, status masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah, tingginya angka kemiskinan, besarnya angka stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM; berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, batubara, tembaga, dan hutan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi atau terkuras habis,” kata Ketum Dulur Cirebonan (CIAYUMAJAKUNING) itu.

Pada kesempatan tersebut, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu juga membeberkan sejumlah hal diantaranya menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%), dimana dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%).

“Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020).Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut (Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022),” terang Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Masalah lainnya, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, kekurangan rumah yang sehat dan layak huni dari 45 Juta rumah tangga masih 61,7 % rumah tidak layak huni. Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945.

“Indeks Pembangunan Manusia Hingga 2019, Indonesia berada diurutan ke-107 dari 189 negara, atau peringkat ke-6 di ASEAN,” katanya.

Komentar