Di Kampus Chiba University, Prof. Rokhmin Dahuri Dorong Perkuat Kerjasama Indonesia dan Jepang
ASKARA - Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, Menteri Kelautan dan Perikanan (2001 - 2004) diundang untuk memberikan Kuliah Umum (General Lecture) di Kampus Chiba University, Jepang pada Kamis, 12 Januari 2023 pk 14.00 - 16.00. Ia membawakan makalah berjudul “Strengthening a Mutual Cooperation between Indonesia and Japan in Blue Economic Development for a Better and Sustainable World”.
Prof. Masahiro Takei, Wakil Rektor Bidang Academic Research and Innovation Management menyampaikan pidato sambutan dan sekaligus membuka Kuliah Umum yang dihadiri oleh sekitar 150 dosen dan mahasiswa secara hybrid (luring dan daring). Prof. Yusli Wardianto, Atase Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek KBRI Jepang juga memberikan Kata Sambutan.
Sejumlah dosen yang hadir antara lain: Prof. Hiroaki Kuze, Dr. Jun Nomura, Dr. Kiyoshi Takao, Prof. Josapat Tetuko Sri Sumantyo, dan Prof. Ryutaro Tateishi. Hadir juga Mr. Naofumi Takemoto, CEO Nextway Co.,Ltd, Perusahaan Industri Pengolahan Ikan Jepang.
Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan, sejak Revolusi Industri (1750-an) Paradigma Pembangunan Konvensional (Kapitalisme) telah mendorong pertumbuhan ekonomi dunia dengan sangat pesat sebesar 3 - 4% per tahun, dari PDB sekitar US$ 0,45 triliun/tahun menjadi US$ 100 triliun/tahun pada 2019 (Sach, 2015; Bank Dunia, 2020).
“Sebelum tahun 1930-an kebanyakan negara di dunia ini miskin. Sejak saat itu, menurut Sach, jumlah dan persentase penduduk miskin dunia terus menurun,” ujar Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - IPB University itu.
Apalagi, menurutnya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipicu oleh orientasi mencari keuntungan dari Kapitalisme sangat fenomenal yang membuat hidup manusia lebih sehat, lebih mudah, lebih cepat, dan lebih nyaman.
Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, populasi dunia telah meningkat dua kali lipat, dari 3,9 miliar pada tahun 1970 menjadi 7,8 miliar orang saat ini (UNEP, 2022). Inovasi teknologi, terutama sejak awal Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat), telah membuat kehidupan manusia lebih produktif, efisien, lebih mudah, lebih sehat, dan nyaman.
"Namun, Kapitalisme hingga saat ini belum mampu mengangkat warga dunia dari kemiskinan. Kesenjangan antara penduduk kaya vs penduduk miskin (ketidaksetaraan ekonomi) baik di dalam maupun antar negara semakin melebar," tandasnya.
Mengutip World Bank, Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, status 194 Negara Anggota PBB di Dunia Berdasarkan Tingkat Pendapatan. Sementara itu, 55 negara (34 OECD, dan 21 non-OECD) atau 28% berpenghasilan tinggi (PDB per kapita > US$ 11.750), 103 negara (53%) berpenghasilan menengah (PDB per kapita : US$ 2.000 – 11.750), dan 36 negara (19%) berpenghasilan rendah (PDB per kapita < US$ 2.000).
“Ini harus segera diatasi, sebab dari sekitar 194 negara anggota PBB, sampai sekarang baru 55 negara (28 persen) yang telah mencapai status negara maju dan makmur,” ujarnya.
Kemajuan teknologi (Revolusi Industri -1 sd -4) telah menjadi fenomenal yang membuat hidup manusia menjadi lebih sehat, mudah, cepat, dan nyaman. Populasi Dunia dan PDB (Produk Domestik Bruto) sejak Revolusi Industri (1750) hingga saat Ini (2015).
Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan bahwa selama 50 tahun terakhir, paradigma ekonomi arus utama global (konvensional), Kapitalisme telah mendorong pertumbuhan ekonomi global hampir lima kali lipat, sebagian besar disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan (daya beli), dan kemajuan teknologi.
Namun sayangnya, Kapitalisme telah gagal mengangkat warga dunia dari kemiskinan dan kelaparan. Sebelum Pandemi Covid-19 pada Desember 2019, sekitar 1,3 miliar orang tetap miskin dan sekitar 700 juta orang kelaparan (Bank Dunia, 2020).
Kemudian, akibat Pandemi Covid-19, Perang Rusia vs Ukraina, dan meningkatnya ketegangan geopolitik lainnya (khususnya AS vs China), dunia dihadapkan pada krisis pangan dan energi, inflasi tinggi, dan resesi ekonomi Sebagai akibatnya, hari ini jumlah penduduk miskin dunia menjadi 3 miliar, sangat miskin 1,5 miliar orang, dan 1 miliar kelaparan (Bank Dunia dan UNDP, 2022).
“Selain itu, Kapitalisme juga menjadi akar penyebab melebarnya ketimpangan ekonomi (kesenjangan antara penduduk kaya vs miskin) baik di dalam maupun di antara negara-negara di dunia,” tandasnya.
Dan, sambungnya, yang lebih memprihatinkan adalah orientasi keserakahan manusia dan pemaksimalan keuntungan sebagai prinsip dasar Kapitalisme telah mendorong eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan pelepasan limbah dan GRK (Gas Rumah Kaca) yang berlebihan ke lingkungan yang mengakibatkan tiga krisis ekologis: Global Perubahan Iklim, Hilangnya Keanekaragaman Hayati, dan Polusi.
“Krisis ekologis rangkap tiga ini jika tidak ditangani dengan baik dan cepat akan mengancam tidak hanya pembangunan ekonomi tetapi juga kelangsungan hidup manusia itu sendiri,” tuturnya.
Selain itu, pengangguran, kemiskinan, kelaparan, ketimpangan ekonomi yang melebar, dan ketidakadilan menjadi akar penyebab radikalisme, kerusuhan, dan terorisme (Amstrong, 2010; Yunus, 2016; Oxfarm International, 2021).
Kapitalisme juga telah menimbulkan pencemaran lingkungan, degradasi ekosistem alam, terkikisnya keanekaragaman hayati, Perubahan Iklim Global, dan berbagai jenis kerusakan lingkungan lainnya. Intensitas kerusakan lingkungan tersebut sudah pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan ekosistem bumi dalam mendukung pembangunan ekonomi, dan bahkan kehidupan umat manusia itu sendiri (Al Gore, 2017; von Weizsacker and Wijkman, 2018).
“Bila peningkatan suhu bumi lebih besar dari 1,50 C dibandingkan dengan suhu bumi sebelum Revolusi Industri Pertama pada 1750-an, maka dengan kapasitas teknologi yang ada saat ini, dampak negatip tersebut bakal tidak dapat kita kendalikan,” tuturnya.
Fakta Melebarnya Ketimpangan Ekonomi Dunia
Pada tahun 2010, Profesor Emeritus, Shinhan University, Korea Selatan tersebut menerangkan, 388 orang terkaya di dunia memiliki lebih banyak kekayaan daripada seluruh bagian bawah populasi dunia (3,3 miliar orang). Pada tahun 2017, kelompok terkaya yang memiliki kekayaan melebihi separuh penduduk dunia terbawah telah menyusut menjadi hanya 8 orang. Ketimpangan kekayaan yang begitu tinggi tidak hanya terjadi antar negara, tetapi juga di dalam Negara. (Oxfam Internasional, 2019).
Saat ini, negara-negara maju (kaya) dengan populasi hanya 18% dari populasi dunia mengkonsumsi sekitar 70% energi dunia, yang sebagian besar (87%) berasal dari bahan bakar fosil, yang merupakan faktor utama penyebab Pemanasan Global (IPCC, 2019 ).
Ketika konsentrasi kekayaan (ketidaksetaraan sosial-ekonomi) meningkat di dalam negeri, itu juga melebar antar negara. Jadi, meski jutaan orang miskin bekerja untuk mengangkat diri dari kemiskinan, sebagian besar kekayaan dunia tetap terkonsentrasi di 34 negara (anggota OECD).
Konsentrasi kekayaan yang terus meningkat berbahaya karena mengancam kemajuan manusia, kohesi sosial, hak asasi manusia, dan demokrasi.
Dunia di mana kekayaan terkonsentrasi di beberapa tangan juga merupakan dunia di mana kekuatan militer dan politik dikendalikan oleh segelintir orang dan digunakan oleh mereka untuk keuntungan mereka sendiri.
Ketika kesenjangan kekayaan dan kesenjangan kekuasaan tumbuh Kemudian, ketidakpercayaan, kebencian, dan kemarahan semakin dalam, mendorong dunia ke arah pergolakan sosial dan meningkatkan kemungkinan konflik bersenjata (perang) antar negara.
Pada tahun 2022, penduduk dunia membutuhkan 1,8 planet Bumi untuk melanjutkan gaya hidup saat ini. Mereka membutuhkan 5 planet Bumi jika semua orang hidup seperti warga negara Amerika Serikat, 3,4 planet Bumi jika semua orang mengikuti gaya hidup Rusia, dan 1,1 planet Bumi jika gaya hidup Indonesia (The Global Footprint Network, 2022).
“Singkatnya, di Bumi yang satu ini, secara global konsumsi manusia melebihi kemampuan planet untuk menopang dirinya sendiri,” terang Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen, Jerman itu.
Prof Rokhmin Dahuri memaparkan permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia. Antara lain, 1. Pertumbuhan ekonomi rendah (<7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing dan IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10. Volatilitas Global (Perubahan Iklim, China vs AS, Industry 4.0).
Selanjutnya, ungkapnya, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. "Hingga 2021, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-87 dari 132 negara, atau ke-7 di ASEAN," kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia ini.
Yang sangat mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, adalah 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar-Kemenkes terdapat 30,8% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi.
“Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation. Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. Padahal, menurut UNDP, sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” sebutnya.
Pada tahun 2020, Prof Rokhmin Dahuri menyebutkan, Indonesia menempati peringkat ke-85 di tingkat Global, atau peringkat ke-7 di Kawasan ASEAN. Per tahun 2019, Indonesia berada di peringkat ke-107 dari 189 negara, atau peringkat ke-6 di ASEAN.
Pemanasan Global telah terjadi
Dalam penjelasannya, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan, lautan global memberi umat manusia barang dan jasa ekosistem penting yang mencakup pengaturan iklim Erath, sistem pendukung kehidupan serta penyediaan makanan, mineral, energi, sumber daya alam lainnya, rekreasi, dan nilai-nilai spiritual.
Menurutnya, laut tidak hanya penting bagi perekonomian dunia, tetapi juga keseimbangan lingkungan dan kelangsungan hidupnya. Terangnya, batas wilayah pesisir adalah kawasan peralihan (interface area) antara ekosistem laut dan darat. “Di mana batas ke arah darat meliputi Ekologis, yaitu kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan seperti pasang surut, interusi air laut, dll,” katanya.
Ketua Majelis Ahli MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu menjelaskan, dalam enam tahun terakhir, jelas Bumi telah mengalami rekor suhu global terpanas sejak pengukuran dimulai pada tahun 1880 (era pra-industri), dan laju kenaikan permukaan laut telah mencapai rekor baru dengan peningkatan lebih dari dua kali lipat sejak pengukuran. dimulai pada tahun 1992 (WMO, 2022).
IPCC (2015) telah menetapkan 1,50C di atas tingkat pra-industri sebagai ambang suhu global tertinggi. Namun, WMO (2022) memprediksi, jika laju emisi CO2 dan GRK lainnya per hari ini, maka dalam lima tahun ke depan suhu global akan melebihi ambang batas. Sebenarnya, ini sudah terjadi di beberapa wilayah Bumi saat ini.
Lautan global menyediakan barang dan jasa ekosistem penting bagi umat manusia yang mencakup pengaturan iklim Erath, sistem pendukung kehidupan serta penyediaan makanan, mineral, energi, sumber daya alam lainnya, rekreasi, dan nilai-nilai spiritual.
Laut tidak hanya vital bagi perekonomian dunia, tetapi juga keseimbangan dan kelangsungan hidup lingkungan (Noone et al., 2013), yaitu: 1. Ekonomi, 2. Rekreasi dan spiritual, 3. Keamanan dan pertahanan, 4. Ekologi, ddan 5. Penelitian dan pendidikan.
“Hampir tiga perempat (72%) dari planet Bumi ditutupi oleh perairan laut (5 samudera dan banyak lautan), 97% dari air bumi terletak di laut dan samudera, dan di dalam laut dan samudera terletak 97% dari permukaan Bumi. ruang hidup,” ujarnya.
Kemudian, sambungnya, zona pesisir hanya mencakup sekitar 8% dari luas daratan bumi, tetapi menghasilkan sekitar 45% sumber daya alam dan jasa lingkungan bumi (Costanza, 1998). Sekitar 65% dari populasi dunia tinggal di wilayah pesisir, dan pada tahun 2030 jumlahnya diperkirakan akan mencapai tiga perempat dari populasi dunia (UNDP, 2010).
Tiga perempat kota besar dunia berada di wilayah pesisir (UNDP, 2010). Pesisir dan lautan menyediakan sumber daya alam dan jasa lingkungan yang sangat besar yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi dan kelangsungan hidup manusia.
Mengutip Prager dan Earle, Rokhmin Dahuri menyatakan bahwa melalui proses ekologi, siklus biogeokimia, dan sistem pendukung kehidupan, pantai dan lautan telah menopang dan membentuk keberadaan manusia di Bumi sejak kehidupan pertama kali muncul dari laut purba.
Pantai dan lautan memainkan peran penting dalam keamanan, pertahanan, dan kedaulatan negara mana pun, terutama negara pantai. Pesisir dan lautan memiliki informasi ilmiah yang tak terhitung jumlahnya di berbagai bidang yang merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi dan peradaban manusia yang berkelanjutan.
“Ekonomi kelautan (Blue Economy) meliputi semua kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan di wilayah darat yang menggunakan bahan baku atau sumber daya alam yang berasal dari pesisir dan lautan,” jelas Duta Besar Kehormatan Jeju Island Korea Selatan tersebut.
Ekonomi Biru
Prof. Rokhmin Dahuri mengemukakan sejak pertengahan tahun 1980-an, Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai jawaban untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme) antara lain: 1 miliar penduduk dunia berada dalam kemiskinan yang ekstrim, 3 miliar orang masih miskin, 800 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang melebar, krisis ekologis, dan Pemanasan Global (UNEP, 2011; Bank Dunia, 2022).
Mengutip UNEP, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, Ekonomi Hijau adalah salah satu yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sementara secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis.
Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, Ekonomi Biru merupakan suatu konsep yang sangat penting. Pada dasarnya Ekonomi Biru merupakan penerapan Ekonomi Hijau di wilayah laut (in a Blue World) (UNEP, 2012). “Ekonomi Biru, menurut Uni Eropa berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan,” terangnya.
Ekonomi biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menggunakan: (1) infrastruktur, teknologi, dan praktik hijau; (2) mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif; (3) dan pengaturan kelembagaan proaktif untuk memenuhi tujuan kembar melindungi pantai dan lautan, dan pada saat yang sama meningkatkan potensi kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis (UNEP, 2012; PEMSEA, 2016).
“Kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia,” jelas Prof. Rokhmin Dahuri.
Sementara itu, lanjutnya, Indeks Pembangunan Manusia Hingga 2019, Indonesia berada diurutan ke-107 dari 189 negara, atau peringkat ke-6 di ASEAN. Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 7 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional 2020.
“Kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (daratan atas) yang menggunakan sumber daya alam dan jasa lingkungan laut untuk menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan umat manusia,” ucapnya.
Kemudian, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan, total potensi ekonomi sebelas sektor kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 7 kali APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional tahun 2020.
Untuk lapangan kerja 45 juta orang atau 30% total angkatan kerja Indonesia. Pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%. Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya lebih 30%.
Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki potensi produksi perikanan budidaya terbesar di dunia, dengan potensi produksi lestari akuakultur terbesar di dunia, sekitar 150,5 juta ton/tahun (FAO, 2022).
Sejak 2009 Indonesia merupakan produsen akuakultur terbesar kedua dunia, hanya kalah dari China. Pada 2019 total produksi akuakultur – RI mencapai 16,3 juta ton (13,5% total produksi dunia), dimana 9,9 juta ton berupa rumput laut. Sementara produksi akuakultur China di tahun yang sama mencapai 68,4 juta ton (57% produksi dunia). Dan, produksi akuakultur India (peringkat-3 dunia) sebesar 7,8 juta ton (6,5% produksi global).
“Sebagai ilustrasi betapa fantastisnya potensi ekonomi akuakultur Indonesia adalah 3 juta ha lahan pesisir yang cocok untuk budidaya tambak udang Vaname. Bila kita mampu mengembangkan 500.000 ha tambak udang Vaname dengan produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun (intensif-moderat), maka akan dihasilkan 20 juta ton atau 20 milyar kg udang setiap tahunnya,” ungkapnya.
Domain Industri Bioteknologi Kelautan
Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, setidaknya ada empat domain industri bioteknologi kelautan. Pertama, ekstraksi senyawa bioaktif/hasil alam dari biota laut menjadi bahan baku industri nutraceutical (makanan & minuman sehat), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan berbagai industri lainnya.
Kedua, Rekayasa genetika untuk menghasilkan induk dan benih unggul ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya.
Ketiga, Rekayasa genetika mikroorganisme (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan tercemar. “Dan keempat aplikasi bioteknologi untuk konservasi,” tutur Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan RI 2020 – 2024 itu.
Secara geoekonomi, lanjutnya, perairan laut Indonesia dengan 3 Sealane-nya sangat strategis terletak di pusat Global Supply Chain System, dimana 45% dari total komoditas dan produk yang diperdagangkan secara global diangkut melalui perairan laut Indonesia dengan nilai ekonomi rata-rata sekitar US$15. triliun per tahun (UNCTAD, 2016).
Selat Malaka sebagai bagian dari ALKI-1 merupakan jalur transportasi laut terpendek yang menghubungkan S. Hindia dengan S. Pasifik. Menghubungkan raksasa-raksasa ekonomi dunia, termasuk India, Timur-Tengah, Eropa, dan Afrika di belahan Barat dengan China, Korea Selatan, dan Jepang di belahan Timur.
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI-1) melayani pengangkutan sekitar 80% total minyak mentah yang memasok Kawasan Asia Timur (China, Taiwan, Jepang, dan Korea) dari Kawasan Timur- Tengah dan Afrika.
Volume minyak mentah yang dikapalkan via S. Malaka sekitar 16 juta barel/hari, 20 kali lipat total produksi minyak mentah Indonesia, dan 4 kali lipat total minyak mentah yang diangkut via Terusan Suez.
Jumlah kapal yang melintasi ALKI-1 mencapai 100.000 kapal per tahun. Sementara, Terusan Suez dan Terusan Panama masing-masing hanya dilewati oleh 18.800 dan 10.000 kapal per tahun (Calamur, 2017).
“Pendapatan Otoritas Terusan Suez mencapai rata-rata Rp 220 milyar per hari (Rp 80,7 trilyun per tahun). Bandingkan anggaran (APBN) KKP 2021 hanya Rp 7 trilyun,” katanya.
Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa posisi geoekonomi dan geopolitik NKRI sangat strategis di dunia, karena menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta Benua Asia dan Benua Australia. Secara geologis, oseanografis, dan klimatologis;
Selain itu, ARLINDO yang terus bergerak bolak-balik dari Pasifik Selatan ke Hindia Selatan juga berfungsi sebagai "perangkap nutrisi" (nutrient trap, seperti nitrogen dan fosfor), sehingga Indonesia
perairan laut merupakan habitat tuna terbesar di dunia (the world tuna belt), memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, termasuk “Coral Triangle”, dan memiliki potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) ikan laut terbesar di dunia sekitar 12,5 juta ton/tahun (FAO, 2008; MPA, 2017).
Sebagai bagian dari “Global Conveyor Belt” dan terletak di garis Khatulistiwa, Indonesia secara klimatologis merupakan pusat pengatur iklim dunia (El-Nino dan La-Nina) (NOAA, 1998).
“Terlepas dari peran dan fungsi penting pesisir dan lautan, hampir di semua tempat, ekosistem pesisir dan laut berada di bawah tekanan pembangunan yang luar biasa,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan, di beberapa wilayah pesisir dan laut tekanan pembangunan tersebut telah mencapai tingkat yang mengancam kapasitas keberlanjutannya yang tercermin antara lain dari: (1) tingkat pencemaran perairan laut yang tinggi; (2) penangkapan ikan berlebihan; (3) terumbu karang, mangrove, dan ekosistem pesisir lainnya yang terdegradasi; (4) erosi dan sedimentasi; (5) hilangnya keanekaragaman hayati; (6) konflik pemanfaatan ruang; dan (7) kemiskinan.
Hal ini terutama berlaku di wilayah pesisir dengan intensitas pembangunan (industrialisasi) yang tinggi dan/atau kepadatan penduduk yang tinggi, seperti Teluk Jakarta, Teluk Thailand, Teluk Manila, Muara Sungai Thames, Teluk Boston, Teluk Chesapeake, dan wilayah pesisir di sekitar Timur Laut Cina.
Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin memaparkan isu, masalah, dan ancaman utama terhadap keberlanjutan pantai dan laut, antara lain: 1. Hilangnya Habitat dan Keanekaragaman Hayati, 2. Eksploitasi Sumber Daya Alam secara berlebihan, terutama penangkapan ikan yang berlebihan, 3. Polusi termasuk plastik, 4. Erosi dan Sedimentasi, 5. Perubahan Iklim Global dan dampak negatif yang menyertainya seperti pemanasan suhu laut, pengasaman laut, cuaca ekstrim, dan kenaikan permukaan laut, 6. Konflik pemanfaatan ruang, 7. Kemiskinan.
Lebih dari 220 juta galon minyak tumpah di kawasan Asia-Pasifik sejak 1965; sekitar 96% dari ini (212 juta galon) terjadi di Asia Timur. Tumpahan Asia Timur berasal dari sejumlah sumber, meskipun 80% melibatkan kapal.
Pencemaran Teluk Jakarta
Air berwarna kecoklatan dari muara sungai mengalirkan limbah ke kawasan pesisir utara Bekasi dan Jakarta, Senin (5/3). Ada 13 sungai yang bermuara di perairan utara Jakarta yang diperkirakan mengalirkan 161 ton sampah setiap hari di area seluas 514 kilometer persegi.
Masukan plastik dari sungai-sungai di daerah sekitar Laut Cina Selatan sebagian besar > 20.000 ton per tahun; Sampah Plastik Memasuki Lautan Dunia; 8 Juta Metrik Ton Per Tahun Sampah Plastik Memasuki Lautan Dunia
Pada tahun 2014, Presiden Joko “Jokowi” Widodo meluncurkan kebijakan pembangunan terobosan “Indonesia sebagai GMF (Global Maritime Fulcrum)” yang berfokus pada pengembangan dan pengamanan wilayah dan sumber daya maritim negara untuk kemajuan, kemakmuran, dan kedaulatan bangsa.
Sangat diyakini bahwa GMF akan memungkinkan bangsa Indonesia untuk memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya pesisir dan laut (maritim) untuk meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dengan cara yang ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk mencapai Indonesia sebagai negara yang maju, sejahtera (kaya). , dan berdaulat paling lambat pada tahun 2045.
Pada tataran filosofis: reorientasi platform (paradigma) pembangunan Indonesia, dari pembangunan berbasis darat menjadi pembangunan berbasis maritim.
Pada tataran strategis dan praktis: dalam jangka pendek – menengah – (2015 – 2020) setiap sektor kelautan harus mampu menyelesaikan permasalahan dan tantangan sektoral internalnya. Dalam jangka panjang (tahun 2030 atau 2045) Indonesia akan menjadi negara maritim yang maju, makmur, dan berdaulat yang memiliki daya pengaruh luhur untuk menjadikan dunia lebih baik dengan memanfaatkan sumber daya kelautan (pesisir dan lautan) dan jasa lingkungan secara berkelanjutan. .
“Indonesia sebagai poros maritim dunia juga berarti bahwa Indonesia harus menjadi penggerak dan titik fokus bagi pembangunan maritim yang damai, sejahtera, dan berkelanjutan antara Samudra Pasifik dan Hindia,” ujarnya.
Hal ini, menurutnya, dapat membantu ASEAN sebagai poros kepentingan simetris melalui kerja sama dengan mitra eksternal di kawasan (misalnya China, Taiwan, Jepang, dan Korea) dan dunia serta memungkinkan ASEAN untuk membantu membentuk tata kelola global baru yang lebih baik, damai, sejahtera, dan dunia yang berkelanjutan.
Prof. Rokhmin Dahuri mengutip penyataan residen Joko Widodo, “Kita harus berjuang memulihkan Indonesia sebagai negara maritim. Samudera, laut, selat, dan teluk adalah masa depan kita. Sudah terlalu lama kita berpaling dari mereka. Sekarang saatnya memulihkan semua sampai kita capai Jalesveva Jayamahe; di lautan kita kita jaya.”
Secara khusus Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan tujuan poros maritim Indonesia. Antara lain: 1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat bahari lainnya.
2. Menghasilkan produk dan jasa kelautan yang berdaya saing tinggi untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor. 3. Meningkatkan kontribusi sektor ekonomi kelautan terhadap perekonomian negara (PDB).
4. Menciptakan lebih banyak kesempatan kerja. 5. Meningkatkan konsumsi ikan (seafood) per kapita guna meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia dan meningkatkan pasar dalam negeri untuk hasil laut dan produk perikanan.
6. Melindungi kelestarian ekosistem pesisir dan laut serta sumber daya yang terkandung di dalamnya. 7. Membina dan meningkatkan budaya bahari masyarakat Indonesia. 8. Menjaga kedaulatan negara dan bangsa Indonesia.
Kebijakan dan Program Pembangunan
Lebih lanjut, Prof Rokhmin menjabarkan kebijakan dan program poros maritim Indonesia, yaitu: 1. Menjaga kedaulatan Indonesia : (1) penyelesaian dan penyelesaian batas laut dengan negara tetangga berdasarkan UNCLOS 1982; dan (2) memperkuat dan meningkatkan kemampuan MCS (Monitoring, Controlling, and Surveillance), dan kekuatan maritim.
2. Diplomasi maritim: kedaulatan, keselamatan, ekonomi, budaya, dan politik. 3. Revitalisasi sektor ekonomi kelautan yang ada melalui peningkatan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan.
4. Pengembangan sektor ekonomi kelautan yang sudah ada di wilayah pesisir dan lautan baru, dan sektor ekonomi kelautan baru seperti: industri bioteknologi kelautan, nanoteknologi, gas hidrat, serat optik, budidaya lepas pantai, perikanan laut, industri air laut dalam, dan industri 4.0.
5. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus sebagai sumber baru pertumbuhan ekonomi inklusif dan biru di: (1) wilayah pesisir sepanjang 3 Alur Laut Indonesia, (2) pulau-pulau kecil, dan (3) wilayah perbatasan (lingkar luar) Indonesia.
6. Peningkatan dan pengembangan konektivitas maritim: Tol Laut dan Konektivitas Digital melalui renovasi kapal eksisting dan pengerahan kapal besar baru untuk mengangkut komoditas, produk, dan penumpang dari hub-port di bagian barat Indonesia (Kuala Tanjung) – Batam – Tanjung Priok – Tanjung Perak – Makassar – Bitung ke Sorong di bagian timur Indonesia, begitu pula sebaliknya.
Kemudian revitalisasi pelabuhan eksisting dan pengembangan pelabuhan baru, revitalisasi galangan kapal eksisting dan pembangunan galangan kapal baru sesuai kebutuhan, serta penguatan dan pengembangan konektivitas digital maritim.
7. Seluruh unit usaha di bidang ekonomi kelautan harus menerapkan: (1) skala ekonomi; (2) sistem manajemen rantai pasokan terintegrasi; (3) state of the art atau teknologi tepat guna, dan (4) prinsip pembangunan berkelanjutan.
8. Revitalisasi infrastruktur yang ada dan pengembangan yang baru sesuai dengan kebutuhan yang meliputi: pelabuhan, bandara, jalan, telekomunikasi, jaringan internet, listrik, pasokan energi, air minum, dll.
9. Mengembangkan energi baru dan terbarukan, mis. pasang surut, ombak, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), surya, angin, dan biofuel dari mikro-alga laut dan makro-alga untuk bahan bakar pengembangan ekonomi dan bisnis kelautan. 10. Implementasi rencana tata ruang dataran tinggi – pesisir – laut yang terintegrasi.
11. Pengendalian polusi dari sumber berbasis laut dan darat. 12. Pemulihan ekosistem pesisir dan laut yang rusak, serta konservasi keanekaragaman hayati. 13. Mitigasi dan adaptasi Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bencana alam lainnya. 14. Pengembangan sumber daya manusia di semua sektor kelautan.
15. Memperkuat dan meningkatkan R&D (Research and Development) di semua aspek pesisir dan lautan dalam rangka transformasi bangsa Indonesia dari konsumen menjadi produsen model teknologi dan pengelolaan kelautan. 16. Menciptakan iklim investasi dan kemudahan berusaha yang lebih kondusif dan menarik.
17. Membuat kebijakan politik dan ekonomi (seperti moneter, fiskal, suku bunga dan pinjaman perbankan, ketenagakerjaan, pemerintahan, konsistensi kebijakan, perizinan, dan penegakan hukum) menjadi lebih kondusif. 18. Pembinaan dan peningkatan budaya bahari masyarakat Indonesia.
Bidang Potensi Kerjasama
Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan gagasan terkait bidang potensi kerjasama antara Indonesia dengan Jepang. Antara lain: 1. Usaha patungan antara perusahaan Indonesia dan Jepang dalam penangkapan ikan berkelanjutan di daerah penangkapan ikan yang kurang dimanfaatkan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia;
2. Investasi Jepang dalam akuakultur: ekosistem laut, pesisir, dan air tawar di Indonesia; 3. Investasi Jepang pada industri pengolahan ikan, hasil laut, dan hasil perikanan lainnya di Indonesia; 4. Investasi Jepang dalam industri bioteknologi kelautan di Indonesia.
5. Perdagangan (ekspor dan impor) ikan, hasil laut, dan hasil perikanan lainnya; 6. Upaya bersama dalam memerangi praktik penangkapan ikan IUU (Illegal, Unregulated, and Unreported); 7. Pengelolaan perikanan, dan pengelolaan pesisir dan laut terpadu untuk memastikan pembangunan sumber daya pesisir dan laut yang berkelanjutan.
8. Mitigasi dan adaptasi Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bencana alam lainnya; 9. Penelitian dan Pengembangan; 10. Pendidikan dan pelatihan.
Dalam paparannya, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan, kebutuhan riset kolaboratif untuk perikanan berkelanjutan dan pembangunan kelautan, antara lain: 1. Pemetaan dan pengkajian potensi sumber daya alam (stok ikan, migas, mineral, dan sumber daya lainnya) di perairan internasional di seluruh wilayah negara.
2. Mengembangkan nanobioteknologi: (1) rekayasa genetika untuk meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan produksi sumber daya hayati; (2) ekstraksi senyawa bioaktif dari organisme laut sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetik, makanan dan minuman, dan lainnya; dan (3) bioremediasi lingkungan tercemar.
3. Eksplorasi dan produksi energi baru dan terbarukan dari laut dan samudra: shale gas, hydrate gas, tidal energy, wave energy, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), dll.
4. Eksplorasi, produksi, dan pengolahan pertambangan laut dalam: mineral, minyak, dan gas. 5. Eksplorasi, produksi, dan pengolahan industri air laut dalam.
6. Mengembangkan teknologi penangkapan ikan yang lebih efisien dan berkelanjutan: alat tangkap, kapal penangkap ikan, dan peralatan pendukungnya.
7. Mengembangkan teknologi akuakultur yang lebih produktif dan berkelanjutan (di lahan pesisir, perairan dangkal/pesisir, dan laut lepas pantai/dalam): indukan dan benur/benih, pakan, pengendalian hama dan penyakit, manajemen kualitas air, rekayasa akuakultur, dan biosekuriti.
8. Mengembangkan teknologi penangkapan ikan yang lebih efisien dan berkelanjutan: alat tangkap, kapal penangkap ikan, dan peralatan pendukungnya.
9. Mengembangkan teknologi akuakultur yang lebih produktif dan berkelanjutan (di lahan pesisir, perairan dangkal/pantai, dan laut lepas/dalam): indukan dan benur/benih, pakan, pengendalian hama dan penyakit, pengelolaan kualitas air, rekayasa akuakultur, dan biosekuriti.
10. Pelabuhan, Pelayaran, dan Pembuatan Kapal. 11. Wisata Pesisir dan Bahari. 12. Industri dan Jasa Maritim.
Kata Prof. Rokhmin Dahuri, pengembangan Industri dan Jasa Maritim, seperti: 1. Galangan kapal dan galangan kapal, 2. Mesin kapal dan perlengkapan kapal, 3. Industri alat tangkap: jaring ikan, pancing, pencari ikan, tambang, dll.
4. Roda dayung, pompa air, dll untuk udang dan tambak, 5. Rekayasa dan struktur lepas pantai, 6. Rekayasa dan struktur pesisir, 7. Kabel bawah laut dan serat optic, 8. Penginderaan jauh, GPS, GIS, dan TIK, 9. Penerapan teknologi Industri 4.0.
13. Pengendalian polusi: pengkajian kapasitas asimilasi ekosistem laut (kawasan laut), pengkajian beban polusi tiap jenis polutan, teknologi 3 R (Reduce, Reuse, dan Recycle), teknologi zero-waste, perencanaan kontinjensi tumpahan minyak , dll.
14. Pemulihan ekologi ekosistem pesisir dan laut yang rusak. 15. Mengembangkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi tsunami, Perubahan Iklim Global, dan bencana alam lainnya.
16. Mengembangkan dan membangun laut sebagai 'ruang pembangunan'. 17. Penerapan Teknologi Industri 4.0 di Bidang Maritim.
18. Mengembangkan tatanan kelembagaan dan mekanisme yang dapat mengatur pembangunan pesisir dan laut yang berkelanjutan di laut Asia Timur.
Di akhir pidatonya, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan tentang Chiba University. Universitas ini berlokasi di Chiba, sebuah kota di Teluk Tokyo tepat di seberang ibu kota Jepang. “Letaknya ideal di antara dua bandara Tokyo, Narita dan Haneda, membuat perjalanan mengelilingi pulau Jepang atau melintasi laut ke seluruh Asia menjadi mudah,” ujarnya.
Chiba University membuat Unit Pertanian Terapung di Laut. The Seasteading Institute bekerja sama dengan Pemerintah Prancis membangun Kota Terapung Pertama di Kepulauan Pasifik.
Pada tahun 1949, Chiba Medical College, Chiba Normal School dan beberapa sekolah lokal lainnya bersatu menjadi Universitas Chiba. “Universitas Chiba dikenal oleh mahasiswa sebagai Chibadai, kependekan dari Chiba Daigaku,” terangnya.
Terdapat 10 sekolah sarjana dan 11 sekolah pascasarjana di Chiba. Mereka mencakup berbagai disiplin ilmu, mulai dari sejarah hingga hortikultura. Faktanya, Fakultas Hortikultura adalah satu-satunya fakultas sejenis di Jepang, dan menawarkan kursus budidaya, pemuliaan tanaman, dan desain lanskap.
Chibadai lewat motonya "Selalu Bertujuan Lebih Tinggi", memfasilitasi mahasiswa dapat tetap aktif di kampus melalui lebih dari 170 klub mahasiswa mulai dari trek dan lapangan hingga anime. “Universitas juga mengadakan festival tahunan pada awal musim dingin di mana berbagai klub mengadakan pertunjukan dan lokakarya untuk memamerkan bakat mereka,” tutupnya.
Komentar