Rabu, 24 April 2024 | 13:19
NEWS

Di Universitas Tidar, Prof. Rokhmin Dahuri: Jadikan Indonesia Produsen dan Eksportir Pangan Utama di Dunia

Di Universitas Tidar, Prof. Rokhmin Dahuri: Jadikan Indonesia Produsen dan Eksportir Pangan Utama di Dunia
Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA – Pangan pada hakekatnya adalah yang terpenting di antara lima kebutuhan dasar manusia (pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan). Sederhananya, karena asupan makanan bagi manusia menentukan kesehatan, kecerdasan, dan kualitasnya.

You are what you eat (Kamu adalah, apa yang kamu makan),” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - IPB University, Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS saat menjadi pembicara utama pada Konferensi Internasional Pertama tentang  ”Agricultural, Nutraceutical, and Food Science (ICANFS) 2022” di Universitas Tidar, Magelang, Jawa Tengah, secara daring, Rabu, 9 November 2022.

Dalam paparannya bertema “Menjadikan Indonesia Sebagai Produsen dan Eksportir Pangan Utama Dunia Secara Berkelanjutan”, Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, meskipun secara global total produksi komoditas pangan primer (misalnya gandum, beras, jagung, kedelai, ubi kayu, daging, dan ikan) sejauh ini lebih besar dari total kebutuhan dunia; tetapi banyak negara berkembang (miskin dan menengah ke bawah) menghadapi kekurangan pangan, yang pada gilirannya membuat warganya mengalami masalah terkait kelaparan, kekurangan gizi, kesehatan dan kecerdasan.

Selanjutnya, Perubahan Iklim Global; polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati; pandemi covid-19; Perang Rusia vs Ukraina; dan meningkatnya ketegangan geopolitik, terutama antara AS vs China, telah membawa tidak hanya krisis kesehatan dan keuangan (ekonomi) global, tetapi juga krisis pangan dan energi global akibat penurunan produksi pangan, terutama di Rusia dan Ukraina (sekitar 30% dari produksi sereal dunia; 25% dari produksi minyak dan gas dunia), dan gangguan rantai pasokan global.

“Sekitar 20 negara (misalnya Rusia, Turki, Iran, India, Argentina, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Australia) telah membatasi atau menghentikan ekspor pangan mereka untuk mengamankan ketahanan pangan mereka sendiri (FAO, 2022),” kata Prof. Rokhmin Dahuri yang baru mendapatkan gelar Profesor Kehormatan (Profesor Emiritus) dari Departemen of  Internasional Development Cooperation Shinhan University, Korea Selatan, Selasa (8/11).

Sementara itu, sambungnya, sejalan dengan jumlah populasi manusia yang terus meningkat, permintaan global akan komoditas dan produk pangan juga akan berlipat ganda di masa depan. Menurut sebuah studi (penelitian) oleh FAO (2000) bahwa suatu negara dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta jiwa, sulit atau tidak mungkin menjadi negara yang maju dan sejahtera, jika kebutuhan pangannya bergantung pada impor.

Prof. Rokhmin Dahuri juga mengingatkan pidato Proklamator RI Bung Karno yang berbicara tentang kedaulatan pangan dalam pidato peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian-Universitas Indonesia pada 27 April 1957. "Menurut beliau [Soekarno], urusan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa,” ungkapnya.  Bahkan , lanjutnya, menurut FAO, suatu negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa akan sulit untuk bisa maju, sejahtera, dan berdaulat, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.

“Padahal, sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama),” kata Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan ini.

Karena dengan luas lahan dan laut yang subur, menurut Prof. Rokhmin Dahuri, harusnya bangsa ini tidak hanya berdaulat pangan, tetapi seharusnya sudah menjadi pengekspor bahan pangan dunia atau feeding the world.

“Ada empat aspek dalam penilaian indeks ketahanan pangan dimana dari keempat aspek tersebut indeks ketahanan pangan indonesia pada tahun 2021 berada di peringkat ke 69 dunia dengan indeks meliputi keterjangkauan 74,9, ketersediaaan 63,7, kualitas dan keamanan 48,5, dan sumber daya alam 33,0,” ujarnya.

Sebagai negara kepulauan terbesar di Bumi dan tanah yang subur, Indonesia memiliki potensi yang tinggi untuk menghasilkan komoditas pangan yang cukup tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan nasionalnya, tetapi juga memberi makan dunia secara berkelanjutan.

Status Gizi Dan Ketahanan Pangan Indonesia

Pada kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan empat indikator kinerja kedaulatan pangan nasional. Yakni, produksi pangan, khususnya bahan pangan pokok lebih besar dari konsumsi nasional; setiap warga Negara di seluruh wilayah NKRI mampu mendapatkan bahan pangan pokok yang bergizi, sehat, dan mencukupi sepanjang tahun; serta petani, nelayan, peternak dan pelaku usaha sejahtera. “Tidak kalah pentingnya, semua hal di atas itu harus berkelanjutan (sustainable),” tutur Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Yang mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.

“Yang sangat mencemaskan berdasarkan laporan Kemenkes dan BKKBN, bahwa 30.8% anak-anak kita mengalami stunting growth (menderita tubuh pendek), 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi. Dan, penyebab utama dari gizi buruk ini adalah karena pendapatan orang tua mereka sangat rendah, alias miskin,” sebutnya.

Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu menyatakan, jumlah wirausahawan Indonesia terendah di Asia Tenggara. Singapura angkanya 8 persen, artinya jumlah wirausahawan di negara tersebut mencapai 8 persen dari jumlah penduduk. Disusul Malaysia 5 persen, Thailand 4 persen, dan Indoesia 3,1 persen. “Global Entrepreneurship Index,  hingga 2019, Indonesia berada di urutan ke-75  dari 137 negara  atau peringkat ke-6  di ASEAN,” ungkapnya.

Demikian pula data World Digotal Competitiveness, yakni  penilaian adopsi teknologi untuk peningkatan ekonomi dan efisiensi di berbagai bidang diukur dari faktor pengetahuan, teknologi, dan  kesiapan adopsi teknologi untuk masa depan.

“Pada 2021, Indonesia berada pada urutan ke-53 dari 64 negara. Pada 2017-2019, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2019 diurutan ke-50 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN,” papar ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Kemudian, Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan RI 2020 – 2024 menerangkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Mengingat pentingnya keanekaragaman hayati bagi kehidupan, setiap elemennya menjadi aset jangka panjang yang perlu dilindungi, dipelajari, dan dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Prof. Rokhmin Dahuri melanjutkan, Indonesia memiliki potensi produksi perikanan terbesar di dunia, sekitar 115,63 juta ton/tahun, yang hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 16%. Pada 2020 baru diproduksi (dimanfaatkan) sekitar 22,55 juta ton atau 19,5% total potensi produksinya. Sejak tahun 2009, Indonesia telah menjadi produsen perikanan budidaya terbesar ke-2 di dunia setelah China

”Artinya, peluang untuk meningkatkan pembangunan, investasi, dan bisnis di sub-sektor Perikanan Tangkap dan sub-sektor Perikanan Budidaya beserta segenap industri hulu (infrastruktur dan sarana produksi) dan industri hilirnya (industri pengolahan/manufaktur, pengemasan, dan pemasaran) masih sangat besar,” katanya.

Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan, dua tantangan besar pemerintah dan pengusaha dalam mengembangkan serta menguatkan industri maritim Indonesia. Tantangan itu adalah nelayan dan pembudidaya yang miskin. “Mayoritas buruh tani, peternak, dan nelayan masih miskin. Sementara pemilik lahan rata-rata sudah sejahtera,” ungkapnya.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi miskin pada nelayan dan pembudidaya. Di antaranya harga jual hasil tangkap yang terlalu murah dibanding dengan biaya produksi. Kuantitas produksi dari dua kalangan ini, terutama usaha kecil dan menengah, terlampau rendah dibandingkan pengusaha perikanan skala besar.

Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan, supaya petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya bisa hidup lebih sejahtera, maka setiap unit bisnis pangan harus memenuhi skala ekonominya.  Mengutip Bank Dunia, besaran unit usaha yang menghasilkan keuntungan bersih yang mensejahterakan pelaku usaha, minimal 300 dolar AS (Rp 4,5 juta)/orang/bulan. Contohnya, skala ekonomi untuk usaha padi sawah itu 2 ha (IPB, 2018), usaha ternak ayam petelor 3.000 ekor, usaha kebun sawit 2,5 ha (Kementan, 2010), dan usaha budidaya udang Vaname 350 m2 kolam bundar (Dahuri et al., 2019).

“Selain itu,  penting menerapkan Integrated Supply Chain Management System, menggunakan teknologi mutakhir pada setiap mata rantai pasok, dan ramah lingkungan,”  kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Disamping itu, lanjutnya, Akuakultur juga menghasilkan berbagai jenis perhiasan yang bernilai ekonomi tinggi. Indonesia dikenal sebagai produsen mutiara laut selatan, dan ikan hias terbesar di dunia. Di Malaysia, Thailand, China, Jepang, dan Maldive, kegiatan perikanan budidaya juga dikembangkan sebagai destinasi pariwisata (aquaculture-based tourism).

Sebagian besar unit usaha di bidang pertanian, perikanan budidaya, perikanan tangkap, peternakan, dan sektor penghasil pangan lainnya adalah skala kecil dan tradisional yang tidak menerapkan: (1) skala ekonomi, (2) Sistem Manajemen Rantai Pasokan Terpadu), ( 3) teknologi mutakhir (misalnya Industri 4.0), dan (4) prinsip pembangunan berkelanjutan Akibatnya: produktivitas rendah, kurang efisien, kurang kompetitif, dan kurang berkelanjutan.

“Hampir semua perusahaan pangan besar dan modern (korporasi) yang menerapkan keempat prinsip diatas, yang sangat jaya, berdaya saing, menguntungkan (kaya), dan world class, itu ‘egois’ (rendah Nasionalisme nya), tidak bekerjasama dengan UMKM bidang pangan,” ujarnya.

Sebagian besar Perusahaan Besar Pangan (Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Negara, dan Perusahaan Multinasional) yang menguntungkan, kompetitif, dan berkelanjutan karena menerapkan empat prinsip bisnis belum mengembangkan kerjasama win-win dengan Mikro -Usaha Kecil-Menengah (Unit Usaha); Porsi margin keuntungan terbesar di sektor penghasil pangan dinikmati oleh pengolah dan pedagang; bukan oleh petani, nelayan, dan produsen komoditas pangan lainnya (on-farm);

Minimnya industri pengolahan dan pengemasan, sebagian besar komoditas pangan dijual (dipasarkan) dalam bentuk bahan baku baik untuk pasar domestik maupun pasar global (ekspor) Akibatnya: tidak ada nilai tambah, daya tahan lebih rendah, semakin sulit didapat. diangkut (didistribusikan), dan tidak ada atau kurang multiplier effect.

Luas lahan pertanian, khususnya di Pulau Jawa, semakin berkurang akibat alih fungsi menjadi perumahan (pemukiman), kawasan industri, pusat kota, infrastruktur, dan penggunaan lahan lainnya Akibatnya: land to man ratio menurun, dan volume produksi tertentu komoditas menurun.

Petani mikro dan kecil, nelayan, dan produsen komoditas pangan lainnya tidak atau kurang memiliki akses terhadap sarana produksi yang cukup, bermutu, dan relatif lebih murah seperti: benih, pupuk, larva, pakan, serta mesin dan peralatan (ALSINTAN);

Kekurangan dan kenaikan harga benih, larva, dan pakan berkualitas. Padahal, lebih dari 60% dari total biaya produksi pertanian, budidaya, peternakan, dan bisnis on-farm lainnya adalah untuk benih, larva, dan/atau pakan Akibatnya: biaya produksi lebih tinggi, dan komoditas pangan kita lebih sedikit kompetitif dibandingkan negara penghasil pangan lainnya;

Tidak adanya jaminan pasar untuk komoditas pangan yang dihasilkan oleh petani skala mikro dan kecil, nelayan, dan produsen komoditas pangan lainnya Akibatnya: harga komoditas pangan sangat fluktuatif, petani dan nelayan mendapatkan harga yang lebih rendah’ Kurangnya infrastruktur, logistik, dan konektivitas’ “Mafia Impor Pangan (Konspirasi)” yang telah kecanduan dengan keuntungan tinggi melalui impor pangan, terlepas dari produksi nasional lebih tinggi dari kebutuhan nasional.

Suku bunga pinjaman Bank sangat tinggi dan persyaratan pinjaman lebih rumit untuk investasi dan bisnis di sektor makanan di Indonesia dibandingkan dengan negara lain; Kualitas sumber daya manusia (petani, nelayan, dan produsen komoditas pangan lainnya) perlu ditingkatkan; Kebijakan ekonomi-politik (misalnya moneter, fiskal, ekspor – impor, dan iklim investasi) tidak kondusif.

Tidak kalah penting, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, suku bunga pinjaman tinggi yang diberikan kepada nelayan membuat mereka semakin sulit keluar dari angka kemiskinan. Fungsi alokasi kredit untuk sektor kelautan dan perikanan pun terbilang rendah dibanding dengan negara lain.

Di sisi lain, lanjutnya, Indonesia masih menjadi negara dengan pemberi suku bunga pinjaman tertinggi, yaitu sebesar 10,5 persen, dibanding beberapa negara Asia, seperti Vietnam (7,6 persen), Filipina (7,1 persen), Brunei Darussalam (5,5 persen), Singapura (5,3 persen), Malaysia (3,9 persen) dan Thailand (3,3 persen). “Konsekuensinya, nelayan dari negara tersebut lebih kompetitif dibanding Indonesia,” sebut Rokhmin.

Sementara itu, dari total alokasi kredit perbankan nasional, Rokhmin menjelaskan, pinjaman yang diberikan ke sektor kelautan dan perikanan hanya sekitar 0,29 persen dari total nilai pinjaman Rp 2,6 triliun. "Dampaknya, nelayan Indonesia menjadi sulit berkompetisi dengan negara lain," tuturnya.

Untuk mengatasi ini, Prof. Rokhmin Dahuri menyarankan, agar Bank Indonesia maupun penyedia jasa perbankan bersama pemerintah mampu menurunkan suku bunga pinjaman bagi nelayan dan pembudidaya skala kecil. “Sebab, tidak sedikit di antara mereka meminjam uang dari rentenir dengan bunga lima hingga 10 persen per bulan yang tergolong tinggi,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Dengan potensi produksi pangan yang sangat besar, Indonesia memiliki peluang yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, sekaligus mengekspor surplus beberapa komoditas pangan dan produk hilir pangan untuk memenuhi kebutuhan dunia secara berkelanjutan. tata krama. Misalnya: CPO dan produk hilirnya, komoditas beras, sorgum, rumput laut, dan ikan serta ikan olahan.

“Cita-cita Nobel tersebut dapat diwujudkan dengan mengatasi segala persoalan dan tantangan pembangunan dan sekaligus mengembangkan (memanfaatkan) sisa potensi produksi pangan baik di ekosistem darat maupun perairan,” ujarnya.

Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai respon untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme) dimana 1,8 miliar orang masih miskin, 700 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang semakin melebar, krisis ekologi, dan Pemanasan Global. Ekonomi Hijau adalah ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi secara signifikan (UNEP, 2011).

Pada dasarnya, Blue Economy merupakan penerapan Ekonomi Hijau di wilayah laut (in a Blue World) (UNEP, 2012). Ekonomi Biru berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Mengutip Word Bank, 2016 Ekonomi Biru adalah penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan umat manusia, dan  secara simultan menjaga kesehatan serta keberlanjutan ekosistem laut. Ekonomi Biru adalah semua kegiatan ekonomi yang terkait dengan lautan dan pesisir.

Ini, kata Prof. Rokhmin Dahuri, mencakup berbagai sektor-sektor ekonomi mapan (established sectors) dan sektor-sektor ekonomi yang baru berkembang (emerging sectors) (EC, 2020). “Ekonomi biru juga mencakup manfaat ekonomi kelautan yang mungkin belum bisa dinilai dengan uang, seperti Carbon Sequestrian, Coastal Protection, Biodiversity, dan Climate Regulator (Conservation International, 2010),” terangnya.

Pada dasarnya, Blue Economy merupakan penerapan Ekonomi Hijau di wilayah laut (in a Blue World) (UNEP, 2012). “Ekonomi Biru berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan” (Uni Eropa, 2019).

Pangan fungsional dapat diklasifikasikan sebagai produk alami (buah dan sayuran); produk yang diubah (biji-bijian dan serat); produk yang diperkaya (tambahan vitamin dan mineral); produk yang diperkaya (seperti probiotik) atau produk yang disempurnakan (telur dengan peningkatan asam lemak omega-3 atau salmon dengan peningkatan asam lemak bermanfaat) (Kaur & Singh, 2017); Konsumen semakin mencari solusi holistik untuk membantu mencegah penyakit kronis dan mengoptimalkan kesehatan (Khan et al., 2013).

Hal ini menyebabkan munculnya segmen pasar baru pada produk pangan fungsional yang tumbuh sekitar 10% per tahun. Diperkirakan pada tahun 2020, dikutip Euromonitor pasar makanan fungsional global akan bernilai $ 192 miliar dolar AS.

Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, potensi Blue Economy Indonesia sangat besar.  Total potensi 11  sektor Blue Economy Indonesia adalah 1,348 triliun dolar AS/tahun atau lima  kali lipat APBN 2019 (Rp 2.400 triliun =  190 miliar dolar AS) atau 1,3 PDB Nasional saat ini. “Blue Economy Indonesia bisa menyediakan lapangan kerja untuk  45 juta orang atau 40 persen  total angkatan kerja Indonesia,” tuturnya.

Namun, potensi yang amat besar itu belum dimaksimalkan.  Sebagai contoh, kata Rokhmin, pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4 persen. “ Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya  lebih dari  30 persen,” jelasnya.

Prof. Rokhmin Dahuri lalu menawarkan peta jalan pembangunan Ekonomi Biru daerah kabupaten Aspeksindo yang maju, sejahtera, dan mandiri. Untuk itu ia menekankan pentingnya  proses transformasi struktur ekonomi.

“Pertama, dari dominasi eksploitasi SDA  dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable),” katanya.

Kedua, modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara ramah lingkungan dan berkelanjutan. 

Ketiga, PDB yang selama ini secara dominan disumbangkan oleh konsumsi (56 persen) dan impor (20 persen) harus dibalik, yakni invetasi dan ekspor harus menjadi kontributor yang lebih besar (lebih dari  70 persen).

“Keempat, semua unit usaha (bisnis) harus merapkan: (1) economy of scale (skala ekonomi); (2) Integrated Supply Chain Management System, baik pada tingkat nasional maupun global; (3) inovasi teknologi mutakhir (Industry 4.0); dan (4) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development),” jelas ujar Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany itu.

 

Komentar