Kamis, 25 April 2024 | 06:02
NEWS

Suporter Dinilai Bukan Faktor Utama

Pakar: Tragedi Kanjuruhan Tanggung Jawab Regulator dan Aparat Keamanan

Pakar: Tragedi Kanjuruhan Tanggung Jawab Regulator dan Aparat Keamanan
Tragedi Kanjuruhan (int)

ASKARA - Ahli pengaturan kerumunan di ruang publik dari Inggris secara gamblang menilai tragedi sepakbola di Malang itu tanggung jawab regulator dan aparat keamanan.

Salah satu bencana stadion terburuk dalam sejarah terjadi selama akhir pekan, saat pertandingan sepak bola di Indonesia mengalami kekacauan pada Sabtu malam.

Sedikitnya 125 orang tewas, di antaranya 32 anak-anak, dan 180 lainnya luka-luka menyusul terinjak-injak dalam pertandingan antara rival Arema FC dan Persebaya Surabaya di kota Malang.

Tim tuan rumah, Arema, kalah dalam pertandingan 3-2, dengan para penggemar berlarian ke lapangan saat peluit akhir berbunyi untuk memprotes para pemain.

Mencoba membubarkan kerumunan, polisi memukuli penggemar dan menembakkan gas air mata, menyebabkan kepanikan di dalam stadion karena banyak yang kesulitan bernapas. Pendukung bergegas ke pintu keluar, menyebabkan naksir yang mematikan.

“Itu membuat mata kami iritasi dan kami hampir tidak bisa bernapas,” kata salah satu penggemar yang hadir.

“Suporter panik dan ingin melarikan diri dari tempat kejadian, tetapi pintu keluar masih ditutup. Beberapa pendukung dipukuli oleh polisi ketika kami memadati gerbang.”

Sepak bola Indonesia memiliki reputasi untuk hooliganisme dan masalah penonton, dengan penggemar Arema pada hari Sabtu bertanggung jawab untuk menghadapi pemain di peluit akhir dan membakar mobil polisi.

Tetapi sebagian besar kesalahan atas persetubuhan itu ditimpakan pada polisi atas apa yang disebut banyak orang sebagai eskalasi kekerasan yang tidak perlu dan penggunaan gas air mata, yang dilarang oleh badan pengatur FIFA di dalam stadion sepak bola. Lapangannya juga melebihi kapasitas, dengan 42.000 tiket terjual di stadion berkapasitas 38.000 itu.

Bencana stadion paling mematikan dalam sejarah terjadi pada tahun 1964, ketika 340 orang tewas saat terjadi penyerbuan pada pertandingan antara Peru dan Argentina di Lima.

Apa yang salah?

Banyak kanal berita melaporkan bahwa jumlah penonton pertandingan itu di stadion melebihi kapasitas. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan total tiket yang terjual adalah 42.000, sementara daya tampung maksimal stadion tersebut hanyalah 38.000.

Di tempat yang begitu padat itu, keputusan polisi untuk menembakkan gas air mata hanya akan membuat orang-orang yang ada di stadion itu panik dan situasi semakin kacau.

Terlebih lagi, stadion Kanjuruhan hanya memiliki satu pintu keluar (yang juga merupakan pintu masuk). Biasanya, dalam pertandingan olahraga yang kompetitif, emosi penonton mudah meningkat.

 Jadi, tidak heran bila hiruk pikuk kerumunan penonton yang bergegas ingin keluar stadion melalui hanya satu pintu keluar rentan menyebabkan kematian dan cedera.

Kita harusnya bisa belajar dari tragedi Hillsborough yang terjadi pada 1989, di Inggris dan tragedi festival musik Love Parade di Jerman pada 2010. Kedua acara tersebut berakhir sebagai tragedi kelam sebagai akibat dari kombinasi tindakan polisi, komunikasi yang buruk, serta akses jalan keluar yang buruk bagi penonton.

Bisakah tragedi ini dihindari dari awal?

Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk memastikan hal seperti ini tidak terjadi lagi.

Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pencahayaan stadion untuk memberi tahu penonton bahwa pertunjukan telah selesai dapat membantu mereka keluar area stadion secara tertib. Penonton pada dasarnya meninggalkan tempat dengan cara yang sama seperti ketika mereka masuk, jadi semua pintu keluar harus terbuka, dapat diakses, dan memiliki penerangan yang baik.

Di luar itu, para penggemar sepak bola di Indonesia dikenal dengan rasa antusiasme yang tinggi. Sehingga, risiko kerusuhan yang tidak terkendali harus diantisipasi.

Salah satu cara mengantisipasinya adalah dengan memisahkan penonton ke beberapa zona yang berbeda – teknik ini digunakan dalam pertandingan Piala Dunia. Cara ini dapat mengurangi ketegangan di stadion karena akan meminimalisir kemungkinan para penggemar dari tim yang berbeda bertemu satu sama lain.

Polisi juga dapat membentuk barikade penghalang – namun jangan terlihat konfrontatif – menjelang akhir pertandingan, untuk memberi sinyal kepada kerumunan penonton bahwa polisi ada di sana untuk mengamankan situasi. Yang terpenting, polisi tidak perlu dipersenjatai.

Di Inggris, polisi cenderung pendekatan yang “lunak” dalam menangani kerumunan, dan cara itu sukses besar. Aparat polisi juga kerap mengenakan topi bisbol dan hoodies, bukan perlengkapan anti huru-hara seperti yang terjadi di Malang, dan hal itu telah terbukti dapan melunakkan respon massa, sehingga memungkinkan polisi untuk menerobos dan membubarkan bentrokan kecil sebelum situasi semakin panas.

Penggunaan gas air mata

Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) telah menetapkan dalam peraturan keselamatannya bahwa penggunaan senjata api atau “gas pengendali massa” oleh petugas keamanan atau polisi tidak diperkenankan.

Penggunaan gas air mata dapat mengiritasi mata dan merangsang reseptor rasa sakit, sehingga dapat menyebabkan kepanikan. Di Malang, penggunaan gas air mata dalam situasi yang sudah meningkat secara emosional telah memperparah kepanikan dan berujung pada kekacauan.

Selain itu, walaupun orang-orang yang terkena gas air mata bisa pulih, tetap ada risiko konsekuensi kesehatan jangka panjang, terutama bagi mereka yang terpapar dalam dosis besar dan orang-orang dengan kondisi medis tertentu.

Penggunaan gas air mata adalah keputusan yang buruk dan telah memperburuk situasi. Presiden FIFA Gianni Infantino menyebut peristiwa ini sebagai “hari kelam bagi semua yang pihak terlibat dalam persepakbolaan dan tragedi yang sulit dipahami”.

Akankah ini menjadi tragedi terakhir bagi sepak bola Indonesia?

Pada tahun 1995, peneliti sekaligus mantan polisi Inggris Alexander Berlonghi mengemukakan tentang pentingnya memahami kerumunan massa untuk memastikan petugas keamanan dapat mengambil “tindakan yang kompeten dan efektif” ketika harus menangani mereka.

Menurutnya, tanpa memahami nuansa perilaku massa, strategi dan tindakan pengendalian yang dilakukan bisa menjadi kesalahan fatal. Lebih dari dua dekade kemudian, kita masih melihat kesalahan yang sama terjadi, bahkan sampai menyebabkan hilangnya nyawa.

Setelah kejadian tersebut, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan pihak berwenang harus mengevaluasi prosedur pengamanan dalam pertandingan secara menyeluruh. Ia berharap ini akan menjadi “tragedi sepak bola terakhir di negara ini”.

Kekerasan biasa terjadi dalam pertandingan sepak bola di Indonesia. Banyak laporan mengenai pendukung yang memukuli pendukung tim lain.

Ke depannya, para pemangku kepentingan harus fokus mengembangkan strategi pencegahan yang dapat mengurangi dan mengantisipasi dampak buruk, serta memastikan polisi cukup terlatih untuk menangani peristiwa semacam itu. Indonesia juga secara mendesak perlu meninjau budaya sepak bolanya secara keseluruhan.

Jika sejarah adalah sesuatu untuk dilalui, pihak berwenang harus mengambil langkah drastis untuk memastikan peristiwa Sabtu itu tidak akan pernah terulang kembali.

Alison Hutton adalah guru besar University of Newscastle, memiliki pengalaman panjang menjadi konsultan serta meneliti isu keselamatan kerumunan, sekaligus mempelajari cara menerapkan standar keselamatan di acara besar, termasuk turnamen olahraga. (viceworldnews)

Komentar