Rakornas FKA-ESQ Indonesia Barat di Solo
Prof. Rokhmin Dahuri Mendorong Alumni ESQ Manfaatkan Potensi Ekonomi Kelautan Menuju Indonesia Emas

ASKARA - Forum Komunikasi Alumni ESQ (FKA-ESQ) Wilayah Indonesia Barat menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di Pedan Ballroom, Hotel Sahid Solo, Jl. Gajahmada No.82, Kota Surakarta, 2-3 September 2022.
Rakornas untuk menindak lanjuti Sarasehan Nasional FKA-ESQ pada tanggal 16 Mei 2022 lalu, dimana salah satunya adalah “mengoptimalkan peran Alumni FKA-ESQ di seluruh wilayah Indonesia untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045”.
Acara ini dihadiri langsung oleh Laks. TNI (Purn) DR. Ade Supandi, S.E., M.A.P selaku Ketua Dewan Penasehat FKA ESQ, Komjen Pol (Purn) Nanan Soekarna selaku Wakil Ketua Umum FKA ESQ, Dr. Aries Muftie, SE., MH. selaku Ketua Dewan Pakar FKA ESQ, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS selaku Wakil Ketua Dewan Pakar FKA ESQ.
Serta Jajaran Dewan Pengurus Pusat dan seluruh Pengurus Korwil (15 Provinsi) FKA-ESQ wilayah Indonesia Barat yang meliputi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kep. Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Serta Korda-Korda FKA ESQ dari Jateng, Jatim, DKI, dan Sumatera Selatan.
Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri yang juga Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University itu menjelaskan masalah kronis bangsa yang sampai sekarang belum selesai masalah equality itu. Dalam hal ketimpangan ekonomi (penduduk kaya vs miskin Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia.
“Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri dalam paparannya yang berjudul “Potensi Ekonomi Kelautan Menuju Indonesia Emas 2045”, Jumat (2/8) malam.
Dari 2005 – 2014, 10%, paparnya, orang terkaya Indonesia menambah tingkat konsumsi mereka sebesar 6% per tahun. Sementara, 40% rakyat termiskin, tingkat konsumsinya hanya tumbuh 1,6% per tahun. Bahkan menurut Bank Dunia, total konsumsi dari 10% penduduk terkaya setara dengan total konsumsi dari 54% penduduk termiskin. Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015).
"Sekarang, menurut Institute for Global Justice, 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing,” ungkapnya.
Tapi, lanjutnya, kita bersyukur dihimpun dalam satu wadah ESQ yang menurutnya Insya Allah jika ikhlas masuk surga semua. “Kenapa demikian? Karena kita sudah selesai dengan diri sendiri. Kita ingin sharing tidak hanya dengan sesama muslim tapi juga non muslim. Sebagaimana prinsip Islam rahmatan lil alamin,” terang Wakil Ketua Dewan Pakar FKA-ESQ itu.
Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, bahwa kalau ada seorang muslim dan muslimah lalu tetangganya 40 rumah di depan, belakang dan kiri kanan masih ada yang menganggur, masih ada yang lapar, masih ada yang miskin itu kata Rasulullah SAW bukan umatku.
Yang menarik, ungkapnya, temuan dari Monas University ternyata orang muslim di Indonesia yang melakukan shalat itu hanya 25% dan yang shalatnya khusu hanya 5%. "Itu yang menyebabkan Negara yang kaya raya ini masih lower middle income country dengan pendapatan rakyatnya US$ 3.870 per tahun,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Periode 2001-2004 itu.
Dia mengimbau, yang harus dilakukan alumninya ada dua. Yaitu Pertama kerja riil karena saudara kita banyak yang miskin, menganggur itu banyak. Kalau menurut garis kemiskinan versi BPS pada 2021 perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan yakni pengeluaran Rp 470.000/orang/bulan atau sudah mencapai 9,71%. Tapi kalau garis garis kemiskinan berdasarkan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 900.000)/orang/bulan).
Berikutnya kemiskinan tinggal 28 juta penduduk Indonesia. Tapi garis kemiskinan itu, menurutnya, sangat rendah sekali sekitar 470 Ribu per bulan. BPS menyebut garis kemiskinan sejumlah uang yang cukup bagi seorang memenuhi 5 kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan) dalam sebulan.
“Sedangkan garis kemiskinan yang tidak munafik digariskan oleh Bank Dunia, IMF dan UNDP, US$ 2 per hari atau US$ 60 per bulan atau Rp 900 Ribu. Maka orang Indonesia yang miskin itu masih 100 juta orang atau 36%, dan disitulah sebagian besar buruh, petani dan nelayan,” sebut Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2019-2024 itu.
Hal ini, kata Prof. Rokhmin Dahuri, yang membuat musuh-musuh Islam senang kalau Indonesia semua miskin dan bodoh. Karena buat orang Kapitalis kalau orang Indonesia pintar tidak mungkin menjual barang mentah lalu di proses di luar lalu dijual lagi ke kita.
Setelah 77 tahun merdeka, sudah banyak kemajuan. Tapi secara realita dari pendapatan per kapita, pengangguran dan kemiskinan masih banyak PR. Maka, untuk memperbaiki semua ada tiga resep: Pertama, bangsa ini harus punya konsep pembangunan yang komplit yakni benar dan tepat. Kemudian dilakukan secara kontinyu.
“Salah satu problem di era reformasi setiap ganti bupati, gubernur dan presiden ganti policy, ada semacam para pendahulu itu salah semua. Ini pun PR yang harus dirajuk oleh ESQ,” tutur Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024 itu..
Kedua, adalah menempatkan kerja rakyat. Kalau ESQ diterapkan di pemerintahan maupun swasta maka corporate culture di setiap kelembagaan itu akan positif, produkttif dan sifatnya di atas semua tidak ada tangan di bawah.
Ketiga, di Indonesia defisit negarawan yakni pemimpin yang tahu diri. “Kalau dia tidak mampu tidak usah ngotot jadi pemimpin. Pasti orientasinya ke dunia. Contohnya, Irjen Sambo hanya puncak gunung es. Di Kejaksaan, kepolisian jauh dari nilai-nilai ESQ,” tandas Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Pusat itu.
Lalu, Prof Rokhmin Dahuri memaparkan permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia. Antara lain, 1. Pertumbuhan ekonomi rendah (<7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing dan IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10. Volatilitas Global (Perubahan Iklim, China vs AS, Industry 4.0).
Konsep Pembangunan Yang Tepat
Prof. Rokhmin Dahuri berharap ESQ jadi oksigen nilai-nilai positif. Sehingga yang menjadi presiden, dan kepala daerah punya akhlak mulia yang membenamkan tentang hidup itu bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat. “Hidup di dunia itu paling haya 120 tahun, tapi yang abadi itu di akhirat, dan di akhirat hanya ada dua yaitu di neraka dan surga. Dipastikan orang yang masuk surga itu akhlaknya baik,” ujar Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.
Salah satu konsep pembangunan yang tepat, kata Prof Rokhmin Dahuri, bahwa suatu bangsa bisa maju kalau memiliki keunggulan kompetitif. Bisa ditempuh dengan dua cara, yakni pertama, bangsa yang masih miskin menengah melihat bangsa yang sudah maju. Lalu dia akan merebut dengan semangat ESQ 165.
Contohnya Jepang ketika sebelum tahun 1970 yang namanya industri otomotif rajanya USA dan Eropa. “Tetapi Jepang dengan semangat busido nya yakin dengan kerja keras bisa menggulung USA dan Eropa. Hampir sejak tahun 1990 otomotif dan elektronik bisa dikalahkan,” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia ini.
Tapi, lanjutnya, ada yang lebih mudah yaitu membangun kompetitif ekspansi berdasarkan kompertif ekspansi yang dimiliki oleh bangsa itu. Dan komperatif ekspansi bagi bangsa Indonesia tidak lain dan tidak bukan, secara 75% berupa laut.
Di laut dan pesisir potensi pembangunan sangat besar sekali ada 11 sektor kelautan nilai ekonominya sekitar US$ 1,4 Triliun per tahun. Padahal produk ekonomi bruto Indonesia saat ini sekitar US$ 1,1 Triliun. Meski demikian, Bank Dunia menempatkan Indonesia besaran ekonominya menduduki ranking ke 16 dari 200an Negara di dunia itu, dengan produk domestik bruto atau ukuran ekonomi Negara sekitar US$ 1,1 Triliun.
“Terlalu kecil kalau US$ 1,1 Triliun itu dibagi 276 juta penduduk Indonesia maka pendapatan per orang baru mencapai US$ 3870. Itu kalau dimasukkan kedalam table klasifikasi Negara miskin dan kaya, mencapai Negara berpendapatan menengah ke bawah (lower middle income country). Padahal cita-cita kemerdekaan kita high income atau Negara makmur,” jelasnya.
Sementara itu, sambungnya, negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura dengan potensi pembangunan yang jauh lebih kecil ketimbang Indonesia, tingkat kemakmurannya sudah jauh melampaui kita bangsa Indonesia.
Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri menyarankan ESQ untuk menyusun konsep pembangunan untuk masukan kepada presiden berikutnya. Misalnya, bisnis tambak udang jika rakyat patungan bisa mengumpulakn Rp8 Miliar untuk membeli 4 Ha lahan tambak dengan 60 kolam bundar, lebihnya untuk kolam tendon.
“Pengalaman kami di Cianjur dan Situbondo dari Rp 8 Miliar itu bisa menolong 60 kepala keluarga dengan income Rp7.5 juta per bulan. Padahal UMR kita paling tinggi di DKI Jakarta hanya Rp2,4 Juta perbulan,” ungkapnya.
Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan GNI per kapita sekitar 23.000 dolar AS dan PDB sebesar 7 trilyun dolar AS (ekonomi terbesar kelima di dunia) (Bappenas, 2019), Indonesia seyogyanya mengimplementasikan Peta Jalan Pembangunan Bangsa.
Ada 10 IKU (Indikator Kinerja Utama, Key Performance Indicators) yang menggambarkan Indonesia Emas pada 2045. Yaitu, Pertama adalah bahwa pada 2045 GNI perkapita mencapai 23.000 dolar AS. Target ini dapat tercapai, bila laju pertumbuhan ekonomi dari 2022 – 2045 rata-rata sebesar 6,5% per tahun (Bappenas, 2019).
Kedua, kapasitas teknologi mencapai kelas-1 (technologyinnovator country). Ketiga, seluruh rakyat Indonesia hidup sejahtera alias tidak ada yang miskin (zero poverty), dengan garis kemiskinan menurut standar internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari (Bank Dunia, 2021).
Keempat, seluruh penduduk usia kerja (15 – 64 tahun) harus dapat bekerja (punya mata pencaharian) dengan pendapatan yang mensejahterakan diri dan keluarganya (zero poverty). Kelima, pemerataan kesejahteraan harus adil, dengan koefisien GINI lebih kecil dari 0,3. Keenam, kedaulatan (ketahanan) pangan, energi, farmasi, dan air harus kuat.
Ketujuh, IPM mesti diatas 80. Kedelapan, kualitas lingkungan hidup tergolong baik sampai sangat baik. Kesembilan, Indonesia harus berdaulat secara politik. Kesepuluh, pembangunan sosialekonomi harus berkelanjutan (sustainable).
Maka, kata Prof. Rokhmin Dahuri yang juga Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman tersebut. untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan 10 IKU nya, di bidang ekonomi, kita harus mengimplementasikan tujuh kebijakan pembangunan ekonomi: (1) pemulihan ekonomi dari pandemi covid-19; (2) transformasi struktural ekonomi; (3) mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan;
(4) peningkatan kedaulatan/ketahanan pangan, energi, dan farmasi; (5) penguatan dan pengembangan infrastruktur dan konektivitas digital; (6) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif, dan atraktif; dan (7) kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Pengembangan Pariwisata Bahari
Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, potensi pariwisata bahari Indonesia sangat luar biasa. Namun pemanfaatannya belum maksimal. “Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia -- yang 77 persen wilayahnya berupa laut, dengan 17.504 jumlah pulau, 95.181 km panjang garis pantai, dan potensi mega marine biodiversity, serta ditambah keindahan alam (pantai, pulau kecil, panorama permukaan laut dan bawah laut) yang menakjubkan -- Indonesia sejatinya memiliki potensi pariwisata bahari yang luar biasa besar,” ungkapnya.
Walaupun memiliki potensi wisata bahari yang sedemikian besar, kata Prof. Rokhmin Dahuri, Indonesia masih dianggap kalah dengan negara-negara tetangga dalam hal mendatangkan wisatawan mancanegara. Hal ini diungkapkan oleh Ahli Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri.
“Kemampuan Indonesia mengemas obyek wisata masih kurang, prasarana juga masih kurang. Anda bisa lihat Wakatobi, di sana kapasitas toilet masih kurang, kebutuhan akomodasi dan penginapan juga seperti itu. Begitu juga dengan Raja Ampat, padahal kalau dilihat, Raja Ampat jauh lebih bagus daripada Halong Bay tapi kemasannya yang kurang, aksesibilitas mulai dari transportasi masih kurang memadai, ditambah lagi faktor biaya yang mahal,” terangnya.
Hingga kini, sambungnya, kontribusi sektor pariwisata bahari bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa masih kecil. Thailand dengan panjang garis pantai 6.675 km dan hanya 35 pulau, meraup devisa dari pariwisata bahari mencapai 46,5 miliar dolar AS pada 2015. “Sementara Indonesia, total devisa sektor pariwisata pada 2015 hanya 9 miliar dolar AS,” katanya mengutip data World Tourism Council, 2015.
Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan gagasan sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan pariwisata bahari Indonesia. Antara lain: Pertama, Revitalisasi obyek-obyek (destinasi) wisata bahari yang ada saat ini, sehingga lebih menarik bagi wisatawan, baik wisnu maupun wisman.
Kedua, Pengembangan destinasi wisata baru yang inovatif dan atraktif. Ketiga, Product development jenis-jenis wisata bahari baru yang inovatif dan atraktif. Keempat, Promosi dan pemasaran. Kelima, Peningkatan kualitas SDM yang ramah kepada wisatawan, dan Keenam, Peningkatan konektivitas dan aksesibilitas (termasuk bebas visa), prasarana dan sarana.
Dalam penjelasannya, Prof. Rokhmin Dahuri menyayangkan kalau kunjungan wisatawan mancanegara belum terlalu banyak padahal sudah banyak upaya yang dilakukan. Salah satunya dengan menggelar acara budaya.
“Selama ini, saya lihat, mentalitas mereka yang terkait dengan pariwisata masih terbatas pada ceremonial saja, setelahnya mereka cenderung cuek. Bahkan kini banyak gelaran budaya yang tak berkelanjutan akibat hal tersebut. Habis, gelaran budaya hanya dijadikan promosi diri untuk dapat jabatan. Manusia memang harus terus diingatkan biar tidak seperti itu, kalau salah beri teguran keras, sebaliknya yang bagus tarik saja dan beri penghargaan,” terang Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.
Komentar