Minggu, 12 Mei 2024 | 15:14
OPINI

Mataram Islam Pernah Sebagai Peradaban Islam Terbesar Di Jawa Dan Nusantara

Mataram Islam Pernah Sebagai Peradaban Islam Terbesar Di Jawa Dan Nusantara
Kanjeng Senopati

Oleh; Kanjeng Senopati *)

Dulu Negara Mataram Kuno atau kerajaan Mataram Hindu erat hubungannya dengan konsep raja yang bersifat dewa, yaitu anggapan bahwa raja adalah titisan dewa atau keturunan dewa. Makanya terkenal dengan konsep Ratu-Binathara.

Maka dengan berakhirnya periode masa peradaban klasik beralih masuknya ke masa peradaban Islam di Nusantara yaitu sekitar abad ke 15. Maka konsep dewa-raja atau disebut ratu-binathara ini pada periode kerajaan Islam pada masa Panembahan Senopati pemahaman tersebut "disapu" dihapus kemudian dimasa Sultan Agung Hanyokrokusumo pemahaman tersebut "disucikan" diluruskan. Yaitu tidak menempatkan raja pada kedudukan yang sama dengan Tuhan, melainkan raja sebagai Kalifatullah fil ard, atau Wakil Allaah di dunia.

Peradaban Islam ditanah Jawa pernah mencapai kejayaan gemilang pada masa Mataram Islam dengan sebelumnya peradaban Islam pernah jaya di Jawa pada masa Kesultanan Demak, kemudian runtuh dan disusul Kesultanan Pajang dan kemudian runtuh dan munculnya Kerajaan Mataram Islam sampai saat ini

Panembahan Senopati, Sultan Agung Hanyokrokusumo, Pakubuwono III, Mangkunegaran I, Pakubuwono IV dan Pakubuwono X adalah raja-raja Mataram Islam yang berani dan komitmen dengan menerapkan warisan adiluhung leluhur para Nabi yaitu ajaran kearifan Islam. Sehingga telah berhasil mengantarkan Kerajaan Mataram kepada kejayaan dan kegemilangannya.

Pada masa raja-raja Mataram yang komitmen menerapkan ajaran luhur kearifan Islam itulah Kerajaan Mataram sangat dicintai oleh rakyatnya dan disegani oleh musuh-musuhnya. Dimana saat itu sebagai pusat peradaban Islam dan pusat peradaban  budaya Jawa memiliki pamornya.

Meraka telah menerapkan konsep ratu-binathara sebagai Khalifah fil ard atau Ulil Amri Atau konsep Manunggaling Pandhito- Ratu, yaitu bersatunya antara Pandhito (ulama) dan Ratu (raja).

Dimana konsep Manunggaling Pandhito- -Ratu oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo melahirkani Tiga  konsep Strategis kedudukan seorang raja yaitu raja memiliki TIGA macam WAHYU, yaitu Wahyu Nubuwah, Wahyu Hukumah dan Wahyu Wilayah sbb :

1.Wahyu Nubuwah adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil Tuhan atau Khalifatulloh.

2. Wahyu Hukumah menempatkan raja sebagai sumber hukum dengan wenang murba wasesa, artinya berkuasa dan bertindak dengan kekuasaan.

3. Wahyu Wilayah, yang melengkapi dua wahyu yang telah disebutkan di atas, memberi pandam

pangauban, artinya memberi penerangan dan perlindungan kepada rakyatnya.

Kemudian pada masa pemerintahan Kesultanan Mataram Islam Sultan Agung menjadikan kedudukan Kerajaan sebagai Tiga Fungsi :

1. Kerajaan Mataram sebagai pusat punjer Peradaban Islam di Tanah Jawa.

2. Kerajaan Mataram sebagai pusat punjer kiblat khazanah Budaya Jawa.

3. Kerajaan Mataram sebagai pemilik dan pengelola seluruh tanah Ulayat dan seluruh sumber daya alam di tanah Jawa digunakan untuk kemakmuran seluruh rakyat.

Sikap keagamaan Sinuwun Pakubuwono IV yang dihayati kemudian berpengaruh pada sikap keagamaan masyarakat keraton lainnya. Suasana perubahan sikap keagamaan di keraton Surakarta tampak dengan jelas pada karya sastra yang lahir saat itu, seperti Serat Centini, Serat Cabolek, dan Serat Wulang reh.

Ketiga serat tersebut memang dapat memberikan gambaran mengenai realitas sejarah awal abad 19 (perpaduan antara dua komponen utama yaitu priyayi Bangsawan dan priyayi Ulama telah terjalin harmonis dan dinamis dalam menghayati dan mengamalkan ajaran luhur Islam.

Pakubuwono IV sebagai penguasa Surakarta Mataram Islam ketika itu menginginkan keraton Kasunanan Surakarta terbebas dari pengaruh hukum kolonialis penjajahan Belanda.

Pakubuwono IV akhirnya menetapkan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebagai penerus Dinasti Mataram Islam menjadikan Kraton kiblat khazanah kebudayaan jawa yang berlaku di Tanah Jawa.

Selain itu Sunan ingin menyatukan kembali Mataram yang terpecah akibat perjanjian Giyanti. Maka Pakubuwono IV melakukan perubahan–perubahan, seperti sbb :

1. Abdi dalem yang tidak patuh pada tatanan hukum agama sebagai kearifan Islam akan diperingatkan atau ditindak tegas, kalau tidak mau digeser dan bahkan ada yang dipecat seperti yang dialami Tumenggung Pringgalaya dan Tumenggung Mangkuyuda.

2. Sunan Pakubuwono IV juga mengharamkan tradisi masyarakat lokal berupa kemaksiatan seperti, minuman keras, candu opium, berjudi dan berzina sebagaimana yang bertentangan dengan ajaran kearifan Islam.

3. Setiap hari Jumat dan tepat sholat Jum'at Sunan memerintahkan  yang pria untuk pergi ke masjid-masjid besar meninggalkan aktivitas dunia untuk melaksanakan shalat Jum’at. Kadang beliau Sinuwun PB IV sering bertindak sebagai khatib atau pemberi khutbah Jumat.

4. Setiap hari Sabtu diadakan latihan perang kepada seluruh Sentono Dalem, Abdi Dalem dan Kawulo Dalem. Dan latihan menunggang kuda, memanah dan belajar pedang.

5. Pakaian prajurit yang semula seperti pakaian berbau-bau prajurit kolonial Belanda diubah

dengan pakaian prajurit Jawa semi Islam.

Peristiwa Pengepungan Kraton Kasunanan Surakarta

Kebijakan dan Perintah Raja Paku Buwono IV ini membuat penguasa penjajah Belanda tidak senang dan para penghianat pun tidak senang. Mereka lalu menyusun rencana untuk menghentikan kebijakan Raja tersebut.

Pada Pelaksanaan Rencana itulah yang populer dengan terjadilah peristiwa "Pakepung", Yaitu pengepungan Keraton Kasunanan Surakarta dari semua penjuru yang dilakukan oleh pasukan koalisi dari militer penjajah Belanda, Prajurit Kasultanan Ngayogyakarta dan Prajurit Mangkunegaran.

"Pakepungan" ini terjadi pada tahun 1790. Adalah peran besar atas masukan saran dari Radèn Ngabèhi Yosodipuro I (Kakèk Buyut Radèn Ngabèhi Ronggowarsito) agar PB IV menyerah saja TUJUH Ulama Kraton tersebut.

Entah kenapa saat itu tiba-tiba beliau Sinuhun Paku Buwono IV berubah menjadi lemah karena diintimidasi dan tekanan dari berbagai koalisi tersebut dan akhirnya menyerah mau menerima saran tersebut dan bersedia menyerahkan para Santri Pitu atau Penasehat utama Kerajaan (Tujuh Ulama Kraton) kepada pengepung "Pengeroyok".

Pengepungan ini dikenal dalam sejarah Surakarta sebagai Peristiwa 'Pakepung'. Itu terjadi pada 26 November 1790, Pakubuwono IV kalah dan menyerahkan para penasehatnya para ulama Kraton tersebut untuk dibawa dan diasingkan oleh VOC.

Maka para Ulama "Santri Pitu" yang telah lama berjasa kepada kebesaran dan kejayaan marwah keraton Kasunanan Surakarta, tapi mereka semua di penjara oleh penjajah.

Namun atas permintaan Sinuhun Paku Buwono IV agar Kanjeng Bagus Murtoyo karena masih saudara angkat sinuhun dibebaskan dari penahanan meski dengan syarat hanya boleh mengajar dipondok pesantren Kyai Abdul Jalil saja di Kaliyoso.

Sedangkan 1. Raden Santri, 2. Pangeran Panengah, 3. Raden Wirodigdo, 4. Raden Kandhuruhan, 5. Kyai Bahman dan 6. Kyai Nur Shaleh, mereka berenam dibawa ke Semarang, lalu ke Batavia untuk menjalani hukuman lalu dibuang keluar Negeri.

Sejak Peristiwa "Pakepungan" tahun 1790 itu seluruh ajaran luhur kearifan Islam, kitab-kitab Ulama Islam dan tradisi nyantri kraton yaitu kajian-kajian keislaman di dalam keluarga keraton dan kawulo keraton DIHILANGKAN dan DIHAPUS, kitab - kitab hadist para Ulama diberangus dibakar oleh para penghianat londo² Ireng kaki tangan perintah Belanda.

Dan penerapan Hukum Syariat Islam di Kasunanan Surakarta ditiadakan dan dihapus diganti dengan ajaran feodalisme Belanda dan dimasukkan ajaran-ajaran paganisme atau kepercayaan.

Mereka yang melakukan perlawanan terhadap Paku Buwono IV adalah dari Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I Kenapa seperti itu? Karena dengar issue yang dikembangkan oleh para penghianat kraton bahwa Pakubuwono IV telah melindungi para tokoh aliran sesat yang masuk kedalam keraton. Mereka meminta tolong kepada VOC untuk mengepung istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Setelah Santri Pitu dihilangkan dan ajaran syariah Islam di hapus oleh Belanda Paku Buwono IV mengalami degradasi (penurunan dan kemerosotan) mutu kepemimpinan dan hilangnya marwah keraton Kasunanan Surakarta.

Setelah Paku Buwono ditinggal oleh para ulama atau setelah peristiwa Pakepung pihak pengeroyok menyatakan bahwa tidak boleh ada aksi balas atau saling serang yang dinyatakan oleh Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I.

Tapi pihak Pakubuwono IV diam-diam masih berjuang untuk menyatukan Mataram Islam wilayah Yogyakarta dan Surakarta dalam satu dinasti kerajaan Mataram, membuat sejarah Surakarta Hadiningrat baru.

Pada tahun 1814, Pakubuwono IV bekerjasama dengan tentara Sepoy yang dibawa Inggris untuk melawan Inggris sekaligus menduduki Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Aksi ini gagal namun Pakubuwono bisa lolos dari serangan Inggris menurut sejarah Surakarta.

Pakubuwono IV akhirnya meninggal pada Oktober 1820 dan digantikan oleh putranya Raden Mas Sugandi. Akan tetapi, usia pemerintahan Raden Mas Sugandi pun yaitu sebagai Pakubuwono V di sejarah Surakarta sangat sebentar hanya berlangsung selama 3 tahun. Ia wafat pada September 1823.

Lalu pada masa Pakubuwono VI dan Pakubuwono X tradisi ajaran luhur Kearifan Islam mulai dibangkitkan kembali. Mencapai puncaknya pada masa Pakubuwono X kajian² keislaman dan kitab² para Ulama seperti masa Pakubuwono IV mulai ditradisikan kembali kedalam keluarga Sentono Dalem Kraton Kasunanan.

Pamor dan keagungan keraton Kasunanan Surakarta mengalami kejayaannya kembali seperti masa Pakubuwono IV yaitu dimasa Pakubuwono X. Karena Sunan ke X sangat pintar beliau dapat menerapkan dan memadukan antara dua komponen yaitu Agama dan Budaya beliau memadukan kearifan Islam dengan kearifan lokal dengan tetap memiliki eksistensi masing-masing.

Dan Sunan ke X beliau ahli Geostrategi dan ke intelijenan kraton sehingga dijamannya adalah masa paling kondusif antara kerajaan dan rakyat dan antara kerajaan dengan pemerintah Belanda. Karena beliau kokoh dalam mengelola sistem pemerintahan politik kerajaan tidak pernah meninggalkan peranan para Ulama sebagai Pandhito raja menerapkan kaidah syariat Islam didalam kraton.

Namun pada pasca Pakubuwono X berakhirnya Sunan ke X tradisi kajian keislaman mempelajari kitab-kitab kuning di dalam lingkungan Senton dalem dan abdi dalem kraton mulai surut kembali. Karena yang tahta kerajaan jatuh ke tangan salah satu putranya non permaisuri sebagai Pakubuwono XI yang saat itu masih beragama Kristen. Dan masuk Islam saat di jumenengan dalem (pengukuhan raja).

Sejak berakhirnya PB X atau wafatnya Sunan ke X Kraton Kasunanan Hadiningrat pamornya mulai surut karena mengalami degradasi politic and social culture kerajaan akibat masuknya budaya-budaya dan paham² asing dari luar masuk kedalam kraton. Seperti paham western orentalis barat (ajaran Kristen) dan masuknya paham pluralisme (ajaran kepercayaan) kedalam kraton.Dua paham tersebut telah berhasil memberangus eksistensi kearifan Islam didalam kraton sebagai punjer kraton Mataram Islam dan pusat peradaban Islam ditanah Jawa.

Akhirnya Kraton Kasunanan mengalami degradasi besar-besaran (penurunan mutu, kualitas dan pamor) akibatnya adanya  radikalisasi pluralisme dan orentalis sekulerisme yang menjamur didalam lingkungan keluarga Sentono dalem kraton. Yang dua paham tersebut dibungkus dengan yang namanya "BUDAYA" sebagai framing dengan kedok "melestarikan warisan  budaya adiluhung leluhur.."

Disaat Kraton Kasunanan meninggalkan pijakan kearifan Islam dan menjauhi kaidah para Ulama Kraton Kasunanan berubah 180 derajat mejadi identik  berpaham kejawenisme, pluralisme dan orentalis (anti Islam).

Mulai saat itu Kraton tidak memiliki pamor dan hilang Marwah (kewibawaannya) sebagai kraton yang berkarakter Mataram Islam. Raja dan keluarga kerajaan mayoritas mulai sengaja di jauhi dari bimbingan agama para ulama dan raja jauh dari para Kawulo rakyat. Kraton benar-benar rapuh mengalami penurunan drastis.

Disaat itu mulailah muncul ontran-ontran dan gonjang ganjing didalam internal keluarga kraton menjadi jumut dan benar² mengalami degradasi kepemimpinan hingga sekarang. Karena memang benar Raden Ngabehi Ronggowarsito (Yoshodipuro ke II) Pujangga Islam Kraton menyatakan,"Kelak Kerajaan Mataram Islam (kraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogjakarta "pamornya" hanya sampai kepada Sunan atau Sultan yang ke X."

Artinya setelah ratu Mataram yang ke X dua Kraton tersebut hakekatnya sudah By Expired ! Maksudnya sudah hilang pamornya.

*) Penulis adalah Buyut Dalem PB X Kasunanan Surakarta Hadiningrat, (Pengamat Spiritual Geopolitik Geostrategi & Pengamat Peradaban Kerajaan Nusantara)

Komentar