Kamis, 18 April 2024 | 22:01
NEWS

Webinar KKP dan ISPIKANI

Prof. Rokhmin Dahuri: Sektor Kelautan dan Perikanan Berkontribusi Wujudkan Indonesia Emas 2045

Prof. Rokhmin Dahuri: Sektor Kelautan dan Perikanan Berkontribusi Wujudkan Indonesia Emas 2045
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA – Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), melalui Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBRSEKP) dan Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI) menggelar webinar bertema “Menuju Perikanan Emas 2045: Aspek Sosial Ekonomi dan Kesejahteraan dalam Tata Kelola SDM Perikanan yang Berkelanjutan”, Jumat, 26 Agustus 2022. Webinar yang dilaksanakan secara daring untuk menghasilkan suatu rumusan sebagai sumbangsih pemikiran bagi kesuksesan pembangunan nasional di sektor.

Dalam kesempatan tersebut, Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS memaparkan, bahwa sektor Kelautan dan Perikanan berperan dan berkontribusi untuk mewujudkan cita-cita bersama untuk Indonesia Emas 2045. Maka, untuk mengatasi segenap permasalahan dan tantangan pembangunan Sektor KP pada khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya, maka sektor KP harus melakukan konstribusi dalam tiga hal.

“Dengan menggunakan inovasi teknologi dan manajemen profesional (modern), meningkatkan pendayagunaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan daya saing, pertumbuhan ekonomi inklusif (7% pertahun), dan kesejahteraan rakyat secara ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable) menuju Indonesia Emas, paling lambat pada 2045,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

Berikutnya, kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University itu, bahwa satu sektor dikatakan punya peran atau konstribusi kalau melakukan dua hal, yaitu pertama, turut membantu mengatasi permasalahan dan tantangan khususnya di sektor Kelautan dan Perikanan, dan masalah bangsa Indonesia pada umumnya.

Kedua, kalau kita mampu mendayagunakan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan daya saing, pertumbuhan ekonomi inklusif, kesejahteraan rakyat ramah lingkungan dan berkelanjutan. “Permasalahan yang sekarang, orang-orang cerdas terombang ambing,” kata Prof. Rokhmin Dahuri mengangkat tema “Pembangunan Kelautan Dan Perikanan Untuk Meningkatkan Daya Saing, Pertumbuhan Ekonomi, Dan Kesejahteraan Rakyat Secara Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045”.

Tantangan pembangunan utama Indonesia, kata Prof. Rokhmin Dahuri, adalah bahwa sudah 77 tahun merdeka, tetapi status (pencapaian) pembangunannya baru sebagai negara berpendapatan-menengah bawah (lower-middle income country), dengan GNI (Gross National Income) per kapita hanya US$ 3.870 pada 2021 (Bank Dunia, 2021).

Hal ini jauh dibawah Malaysia yang mencapai 10.580 dan Thailand yang mencapai 7.050. “Itu sangat memalukan, karena Negara-negara lain seperti Thailand sudah menengah ke atas, Brunei sudah maju, dst. Kita ketahui bersama sebuah Negara dikatakan maju kalau GNI minimal US$ 12.695. Berarti, cita-cita kemerdekaan kita ambyar, rakyat pada miskin dan menganggur,” tandasnya.

Hal ini, katanya, harus segera diatasi, sebab dari sekitar 194 negara anggota PBB, sampai sekarang baru 55 negara (28%) yang telah mencapai status negara maju dan makmur. Namun, sayangnya, saat ini Indonesia terus terjebak dalam negara dengan pendapatan menengah kebawah (Trap Middle Income Country) yaitu Klasifikasi Negara menurut Tingkat Pendapatan Versi Bank Dunia (dolar AS) dimana data terbaru.  “Padahal pada 2019 kita sudah on the track menjadi negara dengan pendapatan menengah keatas,” terangnya.

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045 mau tidak mau harus menggunakan Pendekatan Sistem untuk Mewujudkan Indonesia Yang Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat seperti di sektor ekonomi.

Meliputi Pemulihan Ekonomi dari Covid-19, Transformasi Struktur Ekonomi, Kedaulatan pangan, air, farmasi, dan energi, Pembangunan infrastuktur, Iklim investasi dan Ease of Doing Business yang kondusif, Moneter dan fiscal; Sektor Sosial Budaya meliputi Peningkatan Kesehatan dan Gizi, Pendidikan, Mendorong Penelitian dan Pengembangan untuk inovasi, Revolusi Mental, dan Peningkatan Iman dan Taqwa;

Kemudian, Sektor Lingkungan meliputi rencana tata ruang wilaya (RTRW), Optimal & Sustainable Utilization of Nat. Res, Pengendalian pencemaran, Konservasi biodiversity, dan Mitigasi  & Adaptasi BencanaAlam. Sementara untuk sektor Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) meliputi Good Governance, Masyarakat Meritokrasi, dan Berdaulat politik.

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri membahas klasifikasi negara berdasarkan indeks pencapaian teknologi, Indonesia juga masih berada di kelas ketiga atau kategori Technology Adoptor Countries menduduki peringkat-99 dari 167 negara.

Pada periode pertama kepemerintahan Jokowi hanya mampu tumbuh rata-rata 5%. Namun, karena Covid-19 menjadi minus 2,7% dan tahun lalu hanya 3,69%. Parahnya, Indonesia juga menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Di mana 1% (satu persen) penduduk terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 45% total kekayaan negara.

“Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6 persen kue kemakmuran secara nasional, sementara 10 persen orang terkaya menguasai 74,1 persen,” katanya.

Indonesia pun dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan pembangunan. Mulai dari masih tingginya angka kemiskinan, ketimpangan kelompok penduduk kaya vs miskin, disparitas pembangunan antar wilayah, deindustrialisasi, kerusakan SDA (Sumber Daya Alam) dan lingkungan, sampai stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia).

Kalau menurut garis kemiskinan versi BPS pada 2021 perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan yakni pengeluaran Rp 470.000/orang/bulan atau sudah mencapai 9,71%. Tapi kalau garis garis kemiskinan berdasarkan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000)/orang/bulan). “Jadi sekitar 100 juta jiwa orang Indonesia atau 37% masih tergolong miskin, dan disitulah sebagian besar buruh, petani dan nelayan,” ungkap Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

Berikutnya pembangunan disparitas sebuah wilayah dimana hampir 60% ekonomi Indonesia disumbangkan hanya 5%. “Harusnya sektor perikanan menjadi champion untuk mengoreksi disparity ini, karena sebagaian besar kelautan dan perikanan seharusnya di luar Pulau Jawa,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, kita juga saat ini menghadapi deindustrilisasi dimana hal tersebut terjadi di suatu negara, manakala kontribusi sektor manufakturnya menurun, sebelum GNI  (Gross National Income) perkapita nya mencapai US$ 12.536. Hal tersebut salah satunya ditandai dengan tren naiknya proporsi angkatan kerja di sektor informal.

“Kalau orang-orang cerdas dan baik hati seharusnya tidak bisa tidur, terutama orang pemerintahan dan elit politik. Karena kalau sudah deindustrialisasi kalau kita tidak bangkit bisa terjebak di middle income country,” tandasnya.

Yang cukup serius, ungkapnya, kondisi stunting atau masalah kurang gizi kronis di Indonesia adalah sangat ironis, mengingat potensi sumber gizi yang melimpah yaitu sektor perikanan dan kelautan. Anak-anak kita mengalami stunting yang parah 30%, yang seharusnya tidak boleh lebih dari 20%. Kemudian resustante dari semua masalah yang tercermin pada indek pembangunan manusia (IDM) yang hanya mencapai 0,7. Padahal syarat untuk menjadi Negara maju itu seharusnya lebih besar dari 0,8.

Ironisnya, kata Prof. Rokhmin Dahuri, dengan status masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah, tingginya angka kemiskinan, besarnya angka stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM; berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, batubara, tembaga, dan hutan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi atau terkuras habis. Indonesia pun merupakan salah satu negara yang mengalami kerusakan SDA dan lingkungan terparah di dunia (UNEP, WWF; 2020).

“Saya sudah mengingatkan bahwa Negara kita dalam potensi produksi perikanan terbesar di dunia sekitar 115 juta ton pertahun, hanya bisa kita manfaatkan sekitar 20% atau 24 juta ton. Artinya ruang untuk sektor kita membantu Negara ini menjadi maju, adil dan makmur kalau dikelola oleh orang yang cerdas dan ikhlas, bukan orang yang tidak tahu bidang kelautan,” jelasnya.

Dalam hal kemanfaatan, terangnya, masih 95% dalam bentuk industri pengolahan perikanan. Sementara dalam industri teknologi baru memanfaatkan 5% nya. Bahwa hampir US$ 1,5 Triliun pertahun nilai ekonomi kelautan baru bisa dimanfaatkan sekitar 20%. “Seharusnya kalau kita memanage dengan baik bisa kita ciptakan lapangan kerja sekitar 25 juta orang,” ungkap Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Prof Rokhmin Dahuri memaparkan sejumlah permasalahan  dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan.  Antara lain, sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional (low technology) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro. Sehingga, tingkat pemanfaatan SDI, produktivitas, dan efisiensi usaha perikanan pada umumnya rendah. Nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah.

Lalu, ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale)  Sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari US$ 300 (Rp 4,5 juta)/orang/bulan, alias miskin. “Sebagian besar pembudidaya ikan belum menerapkan Best Aquaculture Practices (BAP = Cara Budidaya Ikan Terbaik), sehingga sering terjadi serangan wabah penyakit yang menyebabkan gagal panen,” tuturnya.

Kemudian, kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu, pasokan pakan ikan berkualitas yang selama ini mengandalkan sumber proteinnya dari fishmeal (tepung ikan) semakin terbatas, sehingga mengakibatkan harganya terus naik. “Padahal, sekitar 60% biaya produksi untuk pakan ikan,” ujarnya.

Di samping itu, lanjutnya, pasokan induk (broodstocks) dan benih berkualitas unggul (SPF, SPR, dan fast growing) masih terbatas.  Padahal, benih menentukan 50% keberhasilan usaha budidaya (FAO, 2018).

Pada umumnya lokasi industri (pabrik) pengolahan hasil perikanan jauh dari sentra produksi (penangkapan dan budidaya) komoditas ikan, dan tidak ada kerjasama antara unit industri pengolahan hasil perikanan dengan produsen komoditas ikan (pembudidaya dan nelayan). Sehingga, kepastian dan kontinuitas pasokan (supply) komoditas (raw materials) ikan ke pabrik pengolahan ikan menjadi rendah.

Permasalahan dan tantangan lainnya, kata Prof. Rokhmin Dahuri, inovasi produk olahan dan kemasan ikan yang bernilai tambah tinggi masih relatif rendah, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, kemampuan pemasaran komoditas dan produk olahan ikan Indonesia masih kalah dengan negara-negara pesaing, seperti Thailand, Vietnam, dan China.

Sebagian besar usaha perikanan belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System), yang meliputi subsistem Produksi – Industri Pasca Panen – Pemasaran. “Sehingga, tidak ada kepastian pasar komoditas ikan bagi nelayan dan pembudidaya, kontinuitas pasokan bahan baku bagi industri hilir tidak terjamin, dan risiko usaha menjadi tinggi,” katanya.

Pada umumnya, menurut Prof. Rokhmin Dahuri, tingkat pemanfaatan Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, Bioteknologi Perairan, SD Non-Perikanan, dan jasa-jasa lingkungan kelautan belum optimal (underutilized).

Akibatnya, karena cuaca buruk atau musim paceklik ikan, pada umumnya nelayan sekitar 4 bulan tidak melaut, dan menganggur (tidak ada pekerjaan lain).  “Banyak nelayan yang terjerat utang kepada rentenir dengan bunga sangat tinggi, sekitar 5-10 persen per bulan. Hal ini menjadi salah satu penyebab banyak nelayan terus terjerat kemiskinan structural,” ujarnya.

Di sisi lain, katanya, Indonesia masih menjadi Negara pemberi suku buka pinjaman tinggi, yaitu sebesar 9,5 persen. Sementara beberapa Negara Asia, seperti Vietnam (7,6 persen), Filipina (7,1 persen), Brunei Darussalam (5,5 persen), Singapura (5,3 persen), Malaysia (3,9 persen), dan Thailand (3,3 persen).

Untuk itu, Prof. Rokhmin Dahuri berharap pemerintah, Bank Indonesia, dan penyedia jasa keuangan perbankan untuk memikirkan bagaimanba bisa menurunkan suku bunga pinjaman sehingga ramah terhadap para nelayan dan pembudidaya skala kecil.

Sementara itu, posisi nelayan dan pembudidaya ikan dalam Sistem Tata Niaga sangat tidak diuntungkan.  Ketika membeli sarana produksi, harganya jauh lebih mahal ketimbang harga di pabrik.  Sebaliknya, pada saat mereka menjual ikan hasil tangkapan atau budidaya, harganya jauh lebih murah dari pada harga di konsumen (pasar) terakhir. 

“Ini karena banyaknya pedagang perantara (panjangnya rantai tata niaga), dan mereka mengambil untung besar,” tandas Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.

Pada umumnya, lanjut Prof. Rokhmin Dahuri, pemukiman nelayan kurang higienis dan sehat, sehingga para nelayan dan keluarganya rentan terhadap penyakit (ISPA, kulit, dan waterborne deases), menurunkan produktivitas dan meningkatkan pengeluaran rumah tangga.

Prof. Rokhmin Dahuri juga menyoroti asupan gizi makanan keluarga nelayan kurang sehat dan kurang berimbang, terlalu banyak nasi dan ikan, tetapi sangat kurang buah dan sayuran. Prevalensi penyakit gula dan stroke cukup tinggi menurunkan produktivitas dan menaikkan pengeluaran keluarga (Kemenkes, 2014).

Menurutnya, kebanyakan nelayan kurang mampu mengelola keuangan keluarga secara bijakana (“lebih besar pasak dari pada tihang”). Serta, overfishing di beberapa wilayah perairan, sedangkan di sejumlah wilayah perairan lain mengalami underfishing.

Lalu, pencemaran, degradasi fisik ekosistem (pesisir, danau, dan sungai), dan kerusakan lingkungan lain. Serta kecelakaan dan perampokan di laut. Lalu, dampak negatip Perubahan Iklim Global (seperti peningkatan suhu dan permukaan laut, cuaca ekstrem, pemasaman perairan), tsunami, dan bencan alam lain.

Prof. Rokhmin Dahuri juga mengemukakan, rendahnya akses nelayan dan pembudidaya ikan kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya.

“Kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) nelayan dan pembudidaya ikan pada umumnya masih relatif rendah. Serta kebijakan politik ekonomi (moneter, fiskal, RTRW, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis) kurang kondusif,” terang Ketua Dewan Pakar ASPEKSINDO itu.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan strategi tujuan pembangunan Kelautan dan Perikanan, antara lain: Pertama, Meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat KP lainnya.

Kedua, Menghasilkan produk dan jasa KP yang bernilai tambah dan berdaya saing tinggi untuk memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor. Ketiga, Meningkatkan kontribusi EKONOMI KP bagi perekonomian bangsa (seperti PDB, Nilai Ekspor, dan PAD) secara signifikan.

Keempat, Menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Kelima, Meningkatkan kesehatan dan kecerdasan rakyat melalui peningkatan konsumsi ikan, seafood, produk perikanan, dan functional food dari laut.

Keenam, Memelihara daya dukung lingkungan dan kelestarian SDA KP. Dan Ketujuh, Meningkatkan budaya maritim bangsa dan memperkokoh kedaulatan wilayah NKRI.

Komentar