Kamis, 18 April 2024 | 12:59
JAYA SUPRANA

Bukan Yunani Tetapi Singosari

Bukan Yunani Tetapi Singosari
Jaya Suprana (Dok Pribadi)

Meski saya memang kerap sepaham namun bukan berarti senantiasa apalagi niscaya sepaham dengan sahabat merangkap mahaguru akal sehat saya, Rocky Gerung. 

Misalnya saya tidak sepaham dalam hal hobi olahraga naik-turun gunung akibat kondisi berat badan saya secara langsung berdampak negatif atas daya gravitas yang mempersulit upaya saya naik mau pun turun gunung. 

Di sisi lain, saya memang sepaham dengan Rocky Gerung dalam hal mencalonkan Luhut Binsar Panjaitan sebagai capres pada pilpres 2024. Alasan saya sepaham cukup kuat yaitu sejak 2014 tokoh terkemuka di panggung politik masa kini Indonesia itu memang sudah berperan sebagai de facto presiden Republik Indonesia. Dalam hal pengalaman berperan sebagai presiden dapat diyakini tidak ada capres lain mampu menandingi Luhut Binsar Panjaitan. Kecuali presiden SBY kembali nyapres atau presiden Jokowi tiga periode.

Namun saya tidak sepaham dalam hal analisa mahaguru akal sehat saya terhadap amarah Ketua Umum PDIP tersirat pada pidato pembukaan Rakernas II PDIP untuk Pemilu 2024 yang dibahas oleh Karni Ilyas bersama para tokoh politisi dalam secara Indonesian Lawyers Club. Dalam analisa tajam tersebut, Rocky Gerung eksplisit menyamakan apa yang terjadi di atas panggung politik Indonesia masa kini dengan tragedi Yunani kuno meski tanpa spesifik menegaskan tragedi Yunani yang mana sementara tragedi Yunani kuno diciptakan oleh beberapa dramawan seperti Aechylus, Sofokles dan Euripides. 

Saya tidak sepaham dengan Rocky Gerung terbatas pada penyamaan sandiwara politik Indonesia dengan tragedi Yunani kuno. Saya akan lebih sepaham apabila Rocky Gerung menyamakan kemelut politik Indonesia dengan bukan tragedi Yunani namun dengan tragedi Nusantara khususnya tragedi Singosari versi Pararaton yang menampilkan tokoh legendaris bernama Ken Arok. 

Berdasar selera maka jelas subyektif, saya menafsirkan kisah Ken Arok versi Pararaton lebih dramatis ketimbang Negarakretagama. Tafsir komparatif saya berdasar Negarakretagama sama sekali tidak eksplisit menampilkan kisah Ken Arok yang penuh kemelut intrik serta muslihat politik seperti yang terkisah di dalam Pararaton. 

Menurut pendapat saya, kisah yang dikisahkan oleh Pararaton tidak kalah dramatis ketimbang Antigone mahakarya Sofokles mau pun Il Principe yang dikisahkan oleh Machiavelli tentang kemelut akal-muslihat serta intrik politik yang dilakukan oleh dinasti Borgia di Italia. 

Maka pendapat saya beda dengan pendapat Rocky Gerung. 

Menurut pendapat saya kisah tragedi Singosari versi Pararaton lebih tepat untuk disamakan dengan kemelut politik Indonesia masa kini ketimbang tragedi Yunani versi Sofokles, Aechylus mau pun Euripides. Juga mengingat kenyataan bahwa pada hakikatnya peradaban politik Yunani memang beda dengan peradaban politik Singhasari yang secara geokultural memang relatif lebih dekat maka lebih mirip dengan peradaban politik Indonesia masa kini.

Komentar