Kamis, 25 April 2024 | 14:13
NEWS

Migrasi TV Analog ke Digital Peluang Wartawan Mengekspresikan Diri

Migrasi TV Analog ke Digital Peluang Wartawan Mengekspresikan Diri
Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat, Nurjaman Mochtar

ASKARA – Pemerintah menargetkan penyelesaian akhir program migrasi penyiaran televisi analog ke digital melalui Analog-Switch-Off (ASO) paling lambat 2 November 2022. Implementasi dari program ini tentu membutuhkan dukungan dari berbagai pihak.

ASO harus gencar disosialisasikan kepada publik. Agar publik paham dan siap menerima program migrasi menuju siaran TV digital ini. Salah satu cara yang paling efektif untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui pemberitaan.

Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat, Nurjaman Mochtar mengatakan, saat ini platform media digital berkembang sangat pesat seiring berkembangnya teknologi dan juga dengan kehadiran platform lain yang semakin banyak sehingga mengharuskan media harus tampil kreatif dan inovatif.

“Salah satu kunci untuk tetap bertahan adalah beradaptasi dengan mengikuti kemajuan dunia digital. Apalagi saat era teknologi 5G telah mulai diaplikasikan,” ujar Nurjaman disela-sela acara halal bihalal pengurus PWI Pusat, Kamis (2/6) sore.

Ibaratnya, tambahnya, seperti nyamuk yang merupakan makhluk purba tapi dia mampu hidup bertahan sampai sekarang karena dia mampu beradaptasi. Maka, katanya, transformasi analog ke digital merupakan suatu keharusan. Karena , menurutnya, analog tidak efisien, bahkan frekwensi analog itu sangat boros.

“Sebagai perbandingan, misalnya kalau dipakai untuk digital yang sekarang frekuensi dipakai satu tv bisa 6 tv minimal, ini sangat efisien digital itu,” ujar Nurjaman  Oleh sebab itu, lanjutnya, tidak ada pilihan harus kesana, karena kalau tidak bisa terlambat. “Kalau terlambat kita susah bergaul di dunia digital, karena barang-barang kita masih analog,” sambungnya.

Dia mengatakan, ASO merupakan perjalanan lama kapan analog berhenti. Karena TV-TV besar yang ada sekarang yang sudah investasi di analog mahal. “Dulu, ada perdebatan mereka minta ganti rugi ke pemerintah. Tapi ternyata dengan UU Omniguslow diantaranya UU Penyiaran keluarlah ASO, tidak bisa tidak harus diikuti,” ungkapnya.

ASO, jelasnya, artinya ketika masuk ke TV digital maka jumlah TV akan semakin banyak. Misalnya di Jakarta ada 15 tv dikalikan 6 jumlahnya bisa ada sekian TV. Bahwa nanti yang hidup dua atau tiga itu lain urusan. Tetapi izin frekuensinya bisa sampai segitu jumlahnya.

Apa artinya buat wartawan? Dengan banyaknya TV membuka peluang semakin banyak channel untuk mengekpresikan diri, untuk membuat konten. “Ini merupakan tantangan ke depan, bahwa dengan digitalisasi peluang buat teman-teman untuk mendapatkan channel-channel makin terbuka,” tuturnya.

Tetapi, Nurjaman mengingatkan, tantangan kedepan konsep berita itu multi platform (sistem teknologi informasi dalam sebuah perangkat lunak). Jadi, tidak bisa lagi membuat khusus media cetak. Karena kedepan multitasking (merupakan suatu kemampuan dalam mengerjakan dua atau lebih pekerjaan secara sekaligus). Ujung server nya nanti antara video, audio dan teks bisa jadi satu server.

“Tidak efisien, kalau dia reporter tulis saja. Yang efisien itu ketika reporternya multitasking. Itu tantangannya. Dalam rangka mempersiapkan TV digital itu, teman-teman harus banyak belajar agar multitasking,” kata Nurjaman.

PWI, ungkapnya, sudah melakukan lama lewat Safari Jurnalistik. Di Safari Jurnalistik mendidik wartawan meningkatkan wawasan dan profesionalisme khususnya untuk bisa multitasking. Sehingga dengan sebuah handphone bisa mengambil gambar, mengedit gambar, caption sampai membroadcast berita sendiri.

Karena broadcast sekarang, katanya, bukan hanya di virtual saja di sosial media juga bisa. Menurutnya, ini merupakan tantangan sekaligus peluang dari digitalisasi televisi. Begitupula dengan TV-TV besar harus bisa menyesuaikan. Dia melakukan dua hal, pertama researching the bisnis. Artinya ukuran bisnisnya harus diubah.

“Tidak bisa seperti sekarang, dia menayangkan sinetron harganya 200 juta per episode. Sekarang tv beli sinetron 1 jam hargnya bisa 300 juta. Nanti kedepan tidak bisa lagi, bisnis seperti itu karena pemainnya banyak,” sebutnya.

Bahkan, jelasnya, kedepan TV-TV itu karena banyak pemainnya semakin segmentif. Ada tv hiburan saja, TV musik, TV sinetron, TVekonomi, dst. “Arahnya kedepan kesitu, karena banyak pemainnya. Masa semua sama, tidak mungkin. Karena persaingannya tidak efisien. Ini peluang bagi teman-teman wartawan agar bisa multitasking, sehingga bisa mengekpresikan diri di era digital,” imbuhnya.

Kedepan, di era digital nanti bikin TV bisa murah. Dengan Rp100 miliar bisa membikin tv. Bahkan cara membikin tv tidak langsung, bisa mulai dari dotcom dulu. “Model bisnisnya harus diubah, tidak bisa virtual saja. Padahal dulu membuat tv besar untuk dapat frekuensinya  bisa triliunan,” jelasnya.

Dia berharap, kedepan TV-TV itu mesti lebih efisien dan harganya bisa lebih murah. Apalagi sekarang sudah jarang yang tidak menonton TV.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Kominfo Rosarita Niken Widiastuti menyampaikan bahwa ASO adalah satu dari sekian upaya pemerintah dalam percepatan digitalisasi khususnya di sektor pertelevisian Indonesia.

“Sosialisasi telah dilakukan dengan cukup masif agar secara bertahap warga beralih dari TV analog ke digital. Namun nyatanya tidak semua warga mengerti dan sadar akan pentingnya migrasi analog ke digital ini. Survei pada Maret 2022 menunjukkan baru 60 persen warga yang mengerti soal peralihan dari TV analog ke digital,” ungkapnya  saat menyampaikan bimbingan teknis (bimtek) Journalist Fellowship, Senin (23/5/2022).

Indonesia, katanya, menjadi salah satu negara yang tergolong lambat dalam peralihan tv analog ke digital bila dibandingkan negara-negara di Asia Pasifik lainnya, sehingga berbagai terobosan dilakukan sebagai upaya percepatan. “Di Jerman pada 2009 sudah beralih ke digital. Singapura, Malaysia dan Brunei pada 2019 lalu. Indonesia dan Timor Leste memang yang terlambat untuk kawasan Asia Pasifik,” papar Niken.

Menurutnya, keuntungan siaran TVdigital ketimbang analog adalah tayangan TV digital lebih bersih, suaranya tanpa noise, lebih banyak kanal dan tentu perangkatnya juga terjangkau.

“Masyarakat, mengira bahwa TV digital berbayar, pakai kuota internet. Tidak. Bahkan untuk keluarga miskin tidak perlu membeli Set Top Box atau penangkap siaran tv digital, tapi Set Top Box atau STB akan diberikan secara gratis by name by adress sesuai data yang ada,” tegas Niken.

Komentar