Sabtu, 20 April 2024 | 17:58
NEWS

Komite Pembela Hak Konstitusional Kawal Putusan MK dalam Uji Formil UU Cipta Kerja

Komite Pembela Hak Konstitusional Kawal Putusan MK dalam Uji Formil UU Cipta Kerja
Komite Pembela Hak Konstitusional

ASKARA - Melihat sikap Pemerintah yang memandang UU Cipta Kerja (UUCK) masih berlaku, yang ditandai dengan tiadanya penundaan kebijakan strategis dan penundaan pembentukan peraturan pelaksana terkait UUCK, diperlukan sebuah penyikapan melalui pelurusan makna putusan MK dan pemantauan pelanggaran putusan MK uji formil UU Cipta Kerja, demikian tegas Gunawan, mewakili pemohon uji formil UUCK dari Indonesian Human Rights Committee for Social Juctice (IHCS).

Pada Rabu, 23 Februari 2022 lalu, Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) mengadakan sebuah agenda bertajuk Eksaminasi Publik Terhadap Putusan MK Uji Formil UU Cipta Kerja Nomor 107/PUU-XVIII/2020 jo Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. 

Bagi Nur Lodji dari Bina Desa selaku koordinator Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL), Eksaminasi Publik dipergunakan untuk mengkonsolidasi kembali para pemohon uji formil UUCK guna mengawal putusan MK. Eksaminasi Publik Putusan MK dalam uji formil UU Cipta Kerja diperlukan agar publik tidak bingung dengan makna putusan MK, demikian jelas Achmad Surambo dari Sawit Watch selaku Ketua Panitia Eksaminasi Publik. 

Adapun menurut Janses E Sihaloho, selaku Koordinator Tim Kuasa Hukum Kepal, Eksaminasi Publik ini akan menjelaskan makna dari inkonstitusional secara bersyarat, kebijakan strategis apa saja yang harus ditunda ? dan apakah aturan turunan UUCK juga menjadi tidak berlaku?

Anggota Majelis Eksaminator Prof. Dr. H.Lauddin Marsuni, S.H., M.H., menjelaskan bahwa ketika UUCK belum diperbaiki, maka UUCK tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dan pelanggaran pemerintah terhadap putusan MK akan menciptakan kekacuan hukum.

“Kalau kalimat ini (bersyarat) kita pahami dalam pendekatan hukum, tidak ada peraturan perundang-undangan yang dinyatakan mengikat tanpa terpenuhinya syarat. Artinya adalah putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UUCK bertentangan dengan UUD itu hanya dapat mengikat apabila pemerintah telah melakukan perbaikan dengan jangka waktu 2 tahun. Sehingga sebelum UUCK itu diperbaiki, maka belum memiliki kekuatan hukum mengikat. Semua produk perundang-undangan yang lahir berdasarkan UUCK adalah batal demi hukum. Dan ini akibatnya adalah menimbulkan kekacauan hukum di Indonesia karena kebijakan hukum itu sendiri berakibat kekacauan rasa keadilan hukum di masyarakat,” terang Prof. Lauddin.

Anggota Majelis Eksaminator Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, S.H., M.C.L., M.P.A., mengungkapkan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga UUCK tidak punya lagi daya laku dan daya ikat. Buktinya uji materi setelah putusan uji formi UUCK semua ditolak MK karena menurut MK objek UUCK sudah tidak ada. 

“MK juga sudah menunjukkan sikap bahwa UUCK tidak berlaku selama masa perbaikan. Sikap ini ditunjukkan saat MK menolak permohonan uji materi UU Cipta Kerja pada 15 Desember 2021 tentang peleburan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan permohonan uji materi oleh Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dengan alasan objek pengujian (UUCK) sudah tidak ada. Dan MK kembali menegaskan bahwa selama masa perbaikan, UUCK Kerja secara formil tidak sah berlaku karena dalam masa perbaikan formil tidak menutup kemungkinan ada perubahan atau perbaikan substansi dalam UU Cipta Kerja. Terkait partisipasi publik yang bermakna harus memenuhi hak untuk didengarkan pendapatnya, dipertimbangkan, dan untuk diberikan jawaban terhadap pandangannya. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan partisipasi publik yang bermakna itu dapat terpenuhi.” ungkap Prof. Maria. 

Anggota Majelis Eksaminator, Prof. Dr. H.Achmad Sodiki, S.H., menilai bahwa pengertian inkonstitusional bersyarat adalah UUCK tidak berlaku. Undang-undang yang diubah oleh UUCK berlaku supaya tidak terjadi kekosongan hukum. 

“Jika suatu undang-undang dinyatakan inkonstitusional, baik bersyarat atau tidak artinya bahwa itu (undang-undang) sudah tidak berlaku lagi. Hal ini dikarenakan sudah kehilangan daya untuk dipatuhi serta daya untuk mengikat. Saya berpikir bahwa agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, maka ketentuan-ketentuan yang lama itu bagi saya masih tetap berlaku untuk tidak menimbulkan ketidakpastian. Itu saya kira merupakan sesuatu hal yang sudah jelas. Oleh sebab itu, maka turunan dari hal-hal yang sudah tidak berlaku (UUCK) tentunya sudah tidak ada lagi. “Kalau batangnya sudah tidak berlaku, maka rantingnya juga tidak berlaku,” ujar Prof. Achmad Sodiki. 

Eksaminasi Publik putusan MK uji formil UUCK menyimpulkan putusan MK jelas bahwa UUCK tidak berlaku, dan jika tetap diberlakukan akan menimbulkan akibat hukum. Tafsir berbeda dari pemerintah akibat dipergunakannya ruang kekuasaan dan produk hukum yang elitis yang menimbulkan gugatan atas moralitas dan integritas hukum penguasa, simpul Gunawan dari IHCS selaku fasilitator Majelis Eksaminasi.Rahmat Maulana, dari IGJ (Indonesia Global Justice), menegaskan perlu dirumuskan tindakan hukum terkait pelanggaran putusan MK secara litigasi maupun non litigasi. Henry Saragih, Ketua Umum SPI, (Serikat Petani Indonesia), menyatakan kesimpulan Eksaminasi Publik ini selaras dengan sikap politik-hukum Kepal. Adapun Dewi Kartika, Sekjen KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) menyatakan akan terus menyuarakan kebenaran-kebenaran dari putusan MK agar hak konstitusional rakyat terlindungi agar konsep negara hukum tidak dilanggar oleh praktik negara kekuasaan.

Said Abdullah, Koordinator KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan) menyatakan hasil Eksaminasi Publik ini meneguhkan untuk kembali kepada pembatasan impor pangan yang sempat dibuka selebar-lebarnya oleh UUCK. Manseutus Darto, Sekjend SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit), punya harapan serupa, akan tumbuh kembali peluang untuk membela petani pekebun sawit dari diskriminasi yang diciptakan oleh UUCK.

Komite Pembela Hak Konstitusional Rakyat terdiri dari: Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Yayasan Bina Desa, Sawit Watch (SW), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS),  Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Indonesia for Global Justice (IGJ), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), FIELD Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Aliansi Organis Indonesia (AOI), Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (JAMTANI), dan  Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB).

Komentar